Tiki-taka khas Barcelona tentu sangat lekat dengan satu negara: Belanda. Mulai dari Rinus Michels, Johan Cruyff, Louis van Gaal, hingga Frank Rijkaard, kesemuanya adalah sosok yang berjasa membawa sepakbola tiki-taka ke Barcelona.
Tiki-taka dan Total Football adalah dua cara bermain yang sangat identik: Pressing tinggi, permainan bola pendek cepat dan penguasaan bola kelas wahid. Tidak ada yang lebih romantis dibandingkan hubungan antara Tiki-taka dan Total Football.
Namun bergeser 7.000 kilometer ke arah timur Spanyol, tepatnya di Uni soviet, ketika Anda bertanya tentang tiki-taka mereka akan mengingat satu nama legenda sepakbola Uni soviet: Boris Arkadiyev. Terdengar asing? Tentu saja. Namun kisahnya di sepakbola Uni Soviet kala itu sangat legendaris.
Fasisme Melawan Komunisme
Boris Arkadiyev lahir di Moscow pada 1899, karier sepakbolanya cukup lumayan, mengingat ia pernah bermain untuk Russkabel Moscow, Sakharniki Moscow, RkimA, dan Metallurg Moscow. Boris berkarir dari 1920 hingga memutuskan pensiun pada 1936.
Selama aktif bermain, Boris Arkaidyev berperan sebagai pengatur ritme serangan yang kelak akan membawa banyak pengaruh dalam perjalanan karier manajerialnya. Pada 1936 pecahlah perang saudara di Spanyol yang membuat mereka terpecah ke dalam dua kubu: Nasionalis dan Republikan. Nasionalis menjadi pendukung dari Jenderal Franco sedangkan Republikan adalah mereka yang ingin membentuk sebuah Negara Spanyol secara republik.
Nasionalis didukung kekuatan Fasisme Eropa seperti Jerman di bawah Hitler dan Italia di bawah Musollini, dan Portugal yang kala itu sedang mengalami revolusi. Di kubu Republikan, Spanyol terdiri dari Basque dan Catalunya dan didukung oleh Mexico, Uni Soviet, dan Brigade Komunis Internasional.
Di sinilah kemudian kedua belah pihak mencari simpati. Republikan diwakili oleh Basque melakukan pertandingan persahabatan di Uni Soviet yang kala itu sangat tertinggal dalam urusan sepakbola. Bayangkan mereka tidak memiliki timnas dan klub hanya berkompetisi di divisi amatir.
Sedikit cerita mengenai klub-klub Uni soviet yang dikuasai pemerintah mulai dari CSKA Moscow, Dynamo Moscow, hingga Torpedo Moscow, semuanya adalah klub yang didirikan oleh pemerintah untuk mengakomodasi kegiatan pekerja di akhir pekan daripada sekadar bermabuk-mabukan.
Warna jersey Dynamo Moscow yakni biru-putih disebut sebagai wujud dari udara dan laut di mana representasi hidup dari manusia yang tidak bisa hidup tanpa air dan udara. Namun di balik itu ternyata ada cerita bahwa sang pendiri Dynamo Moscow adalah fans dari klub asal Inggris, Blackburn Rovers, itulah yang membuat corak keduanya mirip.
Kembali ke Basque yang berkeliling Uni soviet untuk mencari simpati, Uni soviet dikejutkan dengan penampilan buruk kesebelasan mereka, Lokomotiv Moscow dibantai 5-1, Dynamo Moscow ditekuk 2-1, angin segar hadir ketika Leningard XI menahan imbang 2-2, namun Basque membantai habis Dynamo Central Council Select XI dengan skor telak 7-4.
Harapan terkahir ada pada Spartak Moscow yang dilatih oleh Nikolai Starostin, saat itu pola W-M ditinggalkan, semua menggunakan 2-3-5 di sepakbola yang saat itu dianggap modern. Namun Starostin mengubahnya dan memainkan pola klasik 2-3-5 melawan Basque benar saja, Spartak menang 6-2, pertandingan tersebut yang menjadi dasar dari Boris Arkadiyev melakukan evolusi taktik.
Setelahnya ketika Arkadiyev menangani Dynamo Moscow, pada musim 1938 dan 1939, ia menganalisis saat itu bahwa formasi W-M sangat efektif dalam memanfaatkan ruang namun buruk dalam membangun serangan.
Ketika 1940 ia menciptakan formasi baru dengan skema tiga pemain belakang 3-4-3,dimana 4 gelandang berbentuk diamond dan satu half-back atau sekarang diaplikasikan sebagai gelandang bertahan, hal ini dikembangkan menjadi formasi 3-1-2-1-3.
Sayangnya Perang kedua pecah dan Arkadiyev digantikan oleh Mikhail Yakhushin pasca perang dunia, namun Yakhushin masih berpegang teguh dengan apa yang diajarkan oleh Arkadiyev dengan 3-4-3 yang diterakpkannya.
Tur Dynamo Moscow ke Inggris
Dynamo Moscow, tanpa Arkadyev dan dengan manajer baru Mikhail Yakushin, memulai tur merayakan perdamaian setelah Perang Dunia II. Laga pertama mereka melawan Chelsea, dan menunjukkan betapa Arkadyev telah mengubah W-M.
Dynamo tidak mengubah apa pun secara taktis setelah Arkadyev pergi mereka tetap menggunakan 3-1-2-1-3, para pemain lebih terbiasa dengan peran mereka, peran yang telah diberikan Arkadyev .
FA Inggris langsung berselisih dengan FA Soviet, karena perselisihan dikarenakan aturan permainan, seperti pergantian pemain dimana Uni soviet melakukan pergantian sebanyak empat kali sedangkan FA 3 kali
Frank Butler seorang jurnalis Inggris menyebut pertandingan antara Inggris yang diwakili oleh Chelsea dan Uni soviet yang diwakili Dynamo Moscow, merupakan “pertandingan antara tim sepakbola beradab dan tim sepakbola yang kotor dan kampung,” tulis Butler di Daily Mail.
Chelsea saat itu telah menghabiskan banyak uang, dalam upaya untuk menjadi tim terbaik di London. Surat kabar Uni soviet, Muscovite Izvestia mengklaim bahwa Chelsea, “Bertekad untuk mengalahkan Dynamo dengan segala cara, klub telah menghabiskan ribuan pound untuk mengamankan beberapa pemain terbaik Inggris. Misalnya membayar 14.000 Poundsterling untuk Tommy Lawton yang terkenal, hanya agar ia bisa bermain melawan Dynamo.”
Sebelum kick-off, Dynamo mengejutkan orang. Dynamo menggunakan dua bola dalam pemanasan, sangat kontras dengan Chelsea yang berlatih dengan satu bola seperti layaknya saat itu. Ketika wakil Uni soviet menyerahkan buket bunga kepada masing-masing pemain Chelsea, tepat sebelum kick-off, kerumunan menjadi liar.
Dynamo tidak beruntung di babak pertama, tertinggal dua gol terlebih dahulu. Mereka juga gagal mengeksekusi penalti di babak pertama, dan sepertinya keberuntungan tidak menyertai Dynamo Moscow.
Salah satu fitur kunci dari permainan mereka adalah sepak bola yang memanfaatkan lebar lapangan dan aliran bola: gaya sepakbola Arkadyev. Dynamo Moscow kembali menjadi tim yang lebih baik di babak kedua dan membuat pertandingan semakin seru dengan sekitar 20 menit tersisa.
Vasili Kartsev mencetak gol dengan tendangan mendatar yang membuat Stadion terdiam, tujuh menit kemudian, Kartsev memberi umpan cantik ke Evgeny Archangelskiy, yang membuat tuan rumah terdiam. Itu adalah gol penyeimbang oleh Dynamo, kemudian Tommy Lawton membawa Chelsea kembali unggul. Namun drama terjadi ketika pemain Dynamo, Vsyevolod Bobrov mendapatkan mencetak gol penyama meskipun dianggap berdiri pada posisi offside.
Jurnalis Inggris, Brian Glanville sangat memuji Dynamo, “(kesuksesan Dynamo) terletak pada kerja tim yang ada polanya, tidak ada individualis, mereka bermain sesuai arahan pelatih, mengulanginya berulang-ulang, dan mereka menunjukkan sedikit variasi, mungkin mereka tidak punya pemain bintang tapi kerjasama mereka luar biasa.”