Carlo Ancelotti resmi diberhentikan oleh Bayern Munich bulan lalu. Kekalahan 0-3 dari Paris Saint-Germain di Liga Champions menjadi puncak dari rentetan hasil tidak memuaskan yang dialami Bayern. Lantas, apakah ini pertanda dari hilangnya sosok pemimpin di Bayern Munich musim ini?
Saat tiba di Allianz Arena, Ancelotti diharapkan mampu mengembalikan superioritas Bayern di Eropa. Ia dianggap mampu untuk menggabungkan pemain muda dan pemain yang sudah matang untuk bersaing. Kenyataannya, Ancelotti terbilang jarang memainkan para pemain muda. Mantan pelatih Real Madrid tersebut cenderung memainkan pemain “tim utama”.
Hal ini dipandang oleh sebagian orang sebagai keengganan Ancelotti dalam membangun dan mengembangkan regenerasi skuat. Pemain muda seperti Kingsley Coman, Joshua Kimmich, dan Renato Sanches, sebagai pilar utama untuk regenerasi pemain justru berakhir tak menyenangkan. Sanches bahkan dipinjamkan ke kesebelasan Premier League, Swansea City.
Setelah Ancelotti pergi, Bayern ditangani oleh asisten pelatih yang juga mantan pemain, Willy Sagnol dan Hasan Salihamidzic. Nama terakhir merangkap juga sebagai direktur olahraga.
Kehadiran Sagnol juga belum memberikan perubahan pada hasil akhir pertandingan. Sempat unggul 2-0, Herta Berlin justru bisa memaksakan hasil imbang 2-2. Inkonsistensi pun menyeruak sebagai kelemahan utama Bayern musim ini. Hal ini juga ditegaskan lagi oleh Sagnol di mana ia mengungkapkan bahwa Bayern tengah mengalami fase transisi di mana perubahan ini terjadi karena tidak adanya sosok pemimpin di dalam tim.
Selepas pensiunnya Philipp Lahm, dan cederanya kiper utama mereka, Manuel Neuer, Munich memang kesulitan mencari sosok pemimpin di lapangan. Hal senada diungkapkan Uli Hoeness. Menurut Hoeness Munich kekurangan sosok “Alpha-Male” dalam skuat maupun staf kepelatihan. Bahkan dalam Sabener Strasse (kompleks latihan Bayern Munich) Hoeness merasa tidak melihat sosok seorang pemimpin selepas Lahm pergi. Cedera yang dialami oleh Manuer Neuer juga berpengaruh, karena selain menjadi kapten pasca pensiunnya Lahm, Neuer merupakan sosok yang vokal di lapangan.
Lalu, bagaimana dengan Matt Hummels? Mantan kapten Borussia Dortmund ini juga memiliki kapasitas menjadi kapten. Namun Hummels baru bergabung selama dua musim di Munich. Ia dianggap belum terlalu mampu untuk menjadi kapten tim. Cederanya pemain senior lain seperti Ribery juga membuat hilangnya sosok kapten di lapangan. Padahal, Munich terkenal sebagai tim yang terkenal akan keseimbangan antara sosok pemain tua-muda.
Sosok Ancelotti pun dianggap segarang Pep Guardiola maupun Jupp Heynckes di touchline. Menurut Raphael Honigstein, jurnalis Jerman, Munich butuh sosok yang bisa merubah situasi dan keputusan di saat yang tepat.
Honigstein mencontohkan bagaimana ketika 2015 lalu Munich menghadapi Wolfsburg. Pertandingan buntu sepanjang babak pertama, hingga Guardiola melakukan keputusan memasukkan Lewandowski di pertengahan babak kedua. Hasilnya Lewandowski sukses mencetak 5 gol dalam kurun waktu 9 menit. Ini merupakan sebuah keberanian dan kemampuan mengubah situasi yang mestinya dimiliki oleh pelatih Bayern Munich kelak. Kritik juga diutarakan kepada Ancelotti yang jarang memberikan komando secara langsung, karena lebih sering duduk dan mengamati dari bench.
Sebelum menunjuk Jupp Heynckes sebagai pelatih pengganti, ada nama Julian Nagelsmann yang juga masuk radar. Meski usianya baru 30 tahun, tapi sepak terjangnya bersama TSG 1899 Hoffenheim, membuatnya disebut-sebut sebagai pelatih berbakat. Apalagi Hoffenheim mampu bersaing di papan atas dan mampu meloloskan mereka ke kompetisi Eropa.
Namun, jam terbang Nagelsmann dipertanyakan. Apakah ia mampu memimpin dan membawa tim sekelas Bayern Munich yang diisi pemain papan atas, sekaligus meredam ego dari pemain-pemain tersebut. Beberapa pemain Bayern Munich bahkan lebih tua dari Nagelsmann, seperti Arjen Robben dan Franck Ribery. Selain itu ada juga juga tekanan dari internal di Sabener Strasse, yang dikenal pedas dalam megkritik apapun hasil minor yang diraih Bayern Munich. Jangan-jangan, kehadiran Nagelsmann justru tak bisa membenahi hilangnya sosok pemimpin di tubuh Bayern.
Di sisi lain, Heynckes sudah menyatakan pensiun selamanya dari dunia sepakbola pasca membawa Bayer Munich juara Liga Champions 2013 lalu. Godaan dari tim sekelas Munich bukanlah hal yang bisa diabaikan. Kedekatannya dengan Karl-Heinz Rummenigge bisa membuatnya turun gunung.
Kini, ketiadaan pelatih yang punya kemampuan melatih Bayern membuat Heynckes turun gunung. Apalagi hilangnya sosok pemimpin membuat Heynckes perlu waktu untuk membenahinya. Ia diharapkan bisa mengembalikan Bayern ke jalur yang semestinya, dan tentu saja, mengembalikan kedigdayaan Bayern di Eropa.