Jangan Salahkan Di Francesco untuk Takdir Roma

Foto: Ultimo Uomo

Setelah terdepak dari fase 16 besar Liga Champions 2018/2019, AS Roma resmi menendang Eusebio Di Francesco dari Olimpico. Roma kalah dari Porto setelah menjalani pertandingan selama 120 menit. Hadiah penalti yang diberikan video assistant referee (VAR) di menit ke-117 berhasil dimanfaatkan Alex Telles untuk memastikan tiket delapan besar untuk Porto.

Roma tersingkir dengan aggregat 3-4 meski sudah unggul 2-0 terlebih dulu di pertemuan pertama. VAR jelas menjadi kambing hitam kubu Giallorossi. “Ini memalukan. Kami sudah berjuang dengan sepenuh tenaga. Wasit memberikan penalti kepada Porto. Tapi saat kami dilanggar, mereka sama sekali tidak melihat VAR,” kata bek Roma, Kostas Manolas.

“Dia [wasit] mengatakan bahwa pihak VAR di ruang kontrol mengatakan tidak pelanggaran. Tapi jelas ada kontak. Musim lalu mereka memberikan penalti kepada Liverpool, kemudian meminta maaf kepada kami. Dengan keberadaan VAR seharusnya wasit dapat melihatnya sendiri dengan mata dia di layar,” lanjutnya.

“Peluang kami dicuri begitu saja. Musim lalu kami meminta VAR kepada UEFA karena telah dirugikan dalam pertandingan melawan Liverpool. Sekarang VAR diterapkan, namun kami tetap saja diperlakukan seperti ini,” kata Presiden AS Roma, James Pallotta.

“Patrick Schick juga dilanggar di kotak penalti, VAR memperlihatkan hal itu di layar. Tetapi wasit tidak memberikan penalti kepada kami. Saya lelah dengan semua ini,” aku Pallotta, geram.

Meski menyalahkan VAR dalam kegagalan mereka melangkah ke delapan besar, AS Roma tetap mendepak Di Francesco setelah kalah dari Porto. Kurang dari 10 bulan menangani AS Roma, Di Francesco mencatatkan 46 kemenangan dari 87 pertandingan. Termasuk menang dari Liverpool dan Barcelona di Liga Champions 2017/2018.

Sayangnya, tersingkir dari Liga Champions setelah dibantai rival sekota 0-3 memang tidak membantu kondisi Di Francesco. Sekalipun tidak semuanya merupakan salah dia.

Perusak Bukan Pesaing

Foto: ASR Talenti

Giallorossi mungkin memiliki sejarah panjang di sepakbola Italia. Mereka adalah tim utama di ibu kota, Roma. Lahir dari gabungan semua kesebelasan kota tersebut kecuali Lazio. Tim ini juga mengoleksi tiga gelar Serie-A dan sembilan piala Coppa Italia.

Diisi pemain-pemain ternama dari Rudi Voller hingga Francesco Totti, Giallorossi selalu dianggap sebagai kesebelasan yang berpeluang menyaingi Inter, AC Milan, dan Juventus. Padahal apabila dilihat lebih seksama, Roma hanyalah perusak persaingan. Bukan pesaing utama.

Koleksi tiga gelar Serie-A yang mereka miliki berjarak sangat jauh antara satu dan lainnya. Gelar pertama diraih 1942, status juara itu baru kembali pada 1983, atau 41 tahun setelah era Amedeo Amadei.

Nils Liedholm yang mengasuh tim juara Roma pada 1983 gagal mengulang kesuksesannya meski sudah diberi dua kali kesempatan untuk membawa Giallorossi ke tahta juara seperti periode pertamanya. Liedholm pertama pergi dari Roma setelah empat musim. Memberikan tiga piala Coppa Italia dan gelar juara Serie-A 1982/1983.

Ia kemudian kembali dipanggil ke Olimpico pada 1987 namun kemudian pergi lagi setelah AS Roma hanya duduk di peringkat tujuh klasemen akhir Serie-A 1988/1989. Sejak saat itu, Giallorossi tidak pernah masuk ke empat besar klasemen Serie-A hingga akhirnya Zdenek Zeman masuk pada 1997/1998.

Tapi satu musim sebelum Zeman datang ke Kota Roma, Liedholm sempat dicoba lagi untuk mengangkat status Abel Balbo dan kawan-kawan. Liedholm dipercaya untuk menggantikan Carlos Bianchi. Ia tidak bisa berbuat banyak dalam waktu singkat dan Roma berakhir di peringkat 12 pada 1996/1997.

Sejatinya Roma lebih sering duduk di papan tengah. Sering merusak peta persaingan papan atas, namun jarang berakhir di sana. Status mereka mungkin dapat disamakan dengan Everton atau Real Sociedad.

Mereka baru sering ada di atas setelah ditangani Fabio Capello. Capello juga yang memberi gelar Serie-A ketiga Giallorossi pada 2000/2001. Tetapi dia pun gagal mempertahankan Roma di sana dan akhirnya jatuh lagi ke papan tengah.

Masa Transisi

Foto: Twitter / @ASRomaEN

Kepergian Di Francesco dari AS Roma merupakan keputusan dari direktur olahraga mereka, Monchi. Pria yang terkenal dengan pencapaiannya bersama Sevilla ini awalnya memberikan nafas segar kepada publik pendukung Serigala Roma.

Melihat pencapaian Sevilla, Roma diharapkan bisa bicara banyak di kancah Eropa. Monchi terbukti bisa melakukan hal itu di Andalucia, sayangnya ada harga yang perlu dibayar oleh Romanisti jika ingin melihat hasil serupa.

Baca juga: Menakar Strategi Transfer AS Roma pada Musim Panas 2018

Pertama, melihat kesebelasan kesayangan mereka menjadi distributor talenta untuk tim lain. Mo Salah, Leandro Parades, Antonio Rudiger, Radja Nainggolan, Alisson Becker, Kevin Strootman, semua dilepas untuk memulai era baru bersama Monchi.

Era baru itu nantinya akan disokong oleh Lorenzo Pellegrini, Cengiz Under, Justin Kluivert, dan Nicolo Zaniolo. Per Maret 2019, mereka semua masih berusia di bawah 23 tahun. Perlu waktu untuk melihat mereka semua bisa membawa Roma meraih kejayaan.

Sialnya, jika Giallorossi gagal untuk setidaknya mempertahankan posisi di empat besar, pemain-pemain tersebut bisa saja hengkang sebelum performa terbaik mereka dirasakan publik Olimpico. Lebih parah lagi, Monchi ikut pergi dari AS Roma. Seakaan meninggalkan kapal yang siap tenggelam.

Giallorossi dihadapkan pada dua pilihan: Pasrah dan menerima takdir. Atau berusaha mempertahankan pemain-pemain masa depan yang mereka miliki dengan memastikan tiket Liga Champions tiap musimnya. Mendepak Di Francesco, Giallorossi yang masih di luar zona Liga Champions hingga pekan ke-26 Serie-A sepertinya jelas memilih opsi kedua.