Suporter kerap dianggap sebagai pemain keduabelas dari sebuah kesebelasan. Hal tersebut menandakan bahwa suporter memiliki peran yang begitu penting baik saat di dalam maupun di luar pertandingan.
Tak jarang para pesepakbola bertestimoni mengagungkan kehadiran suporter di stadion untuk membakar semangat. Begitu pun sebaliknya, pesepakbola akan merasa kehilangan rohnya saat bermain tanpa dukungan suporter di tribun.
Mungkin kita lebih akrab dan mengakui diri sebagai suporter klub seperti Paris St. Germain atau FC Qarabag sekalipun, lalu bergabung dengan komunitasnya yang ada di berbagai belahan dunia.
Lain halnya dengan suporter tim nasional di mana tidak banyak yang membentuk sebuah komunitas untuk sama-sama mendukung. Biasanya dukungan terhadap timnas hanya terjadi sewaktu-waktu. Meski tetap heboh dan menarik, mendukung timnas tidak begitu terorganisasi layaknya dukungan terhadap klub.
Katakanlah saat timnas Indonesia melangsungkan laga internasional di kandang. Suporter yang hadir seringkali masih membawa identitas klub. Upaya koreografi dan bentuk dukungan lainnya di tribun pun dikoordinasi oleh suporter klub lokal di mana pertandingan dilangsungkan.
Namun begitu, bukan berarti tidak ada sama sekali. Ide untuk menjaring dan membentuk komunitas suporter timnas sudah dilakukan di berbagai negara, salah satunya Korea Selatan. Red Devils menjadi nama yang dipilih sebagai identitas mereka.
Tentu tidak ada kaitannya dengan Manchester United yang juga dijuluki Red Devils. Hubungan keduanya mungkin sebatas Park Ji Sung pernah berkarir di klub Inggris tersebut selama tujuh tahun.
Peran Besar Internet
Red Devils merupakan suporter timnas Korea Selatan yang berkembang melalui komunitas dalam jaringan (daring/online). Pada awal pembentukannya tahun 1997, kelompok ini bernama Great Hankuk Supporters Club dengan tujuan mendukung timnas melaju ke Piala Dunia 1998. Melalui diskusi di forum daring tersebut tercetuslah Red Devils sebagai nama formal mereka.
Munculnya nama Red Devils sendiri jauh berawal dari keikutsertaan timnas Korea Selatan di FIFA World Youth Championship 1983. Media-media asing menjuluki Shin Yon-Ho, dkk. yang saat itu secara mengejutkan tembus semifinal dengan sebutan Red Furries. Kata tersebut diterjemahkan menjadi Bulgeun angma (Red Devils) dalam Bahasa Korea.
Hingga saat ini, Red Devils lebih lekat sebagai nama suporter dibanding timnas Korea Selatan yang memang memiliki julukan lain yang lebih populer yaitu Taeguk Warriors.
Jumlah anggota Red Devils membludak begitu memasuki gelaran Piala Dunia 2002 di mana Korea Selatan menjadi tuan rumah bersama Jepang. Selama satu bulan lebih penyelenggaraan Piala Dunia, lebih dari 45 ribu orang bergabung dengan Red Devils. Kebanyakan dari mereka mendaftar melalui situs resmi reddevils.or.kr.
Selama Piala Dunia 2002 berlangsung, Red Devils mengkoordinir seluruh dukungan dan perayaan yang dilakukan puluhan juta orang di berbagai wilayah Korea Selatan. Kemeriahaan yang terjadi saat itu membuat Kwak Byung Chan, editor surat kabar Hankyoreh bergidik. Baginya momen tersebut adalah tentang generasi muda yang memiliki gairah dan kreativitas dalam mendukung tim sepakbola.
Tidak hanya larut dalam perayaan, Red Devils juga membantu membersihkan jalanan setiap acara selesai berlangsung. Ronda Hauben seorang jurnalis dalam jurnalnya mengatakan segala pencapaian yang dilakukan Red Devils sekaligus menghapus stigma buruk tentang warna merah.
Sebelumnya, di Korea Selatan merah dilambangkan sebagai warna komunis dan memiliki nuansa kematian. Terbayang seperti apa stigma yang akan muncul ketika ribuan atau jutaan orang berpakaian merah berkumpul di jalanan. Namun nyatanya semua berjalan dengan lancar.
Keberhasilan Red Devils menjalankan agendanya untuk mendukung timnas Korea Selatan di tengah masyarakat menunjukkan bahwa komunikasi yang mereka lakukan melalui internet memiliki dampak yang signifikan.
Korea Selatan memang sejak lama memilih maju dengan perbaikan infrastruktur di bidang teknologi atau internet. Ronda menyebut netizen Korea Selatan dapat terus mengeksplorasi pontensi dari internet untuk berdemokrasi. Banyak contoh kasus di negara tersebut di mana internet memainkan peran sebagai wadah demokrasi, salah satunya pembentukan Red Devils ini.
Hingga sekarang Korea Selatan menjadi negara yang rata-rata kecepatan internetnya paling tinggi dengan 20.5 mbps. Sementara di Indonesia, suatu waktu (bekas) Menkominfonya malah pernah mencuit di akun Twitter, “Tweeps Budiman, memangnya kalau internetnya cepat mau dipakai buat apa?”
Meneguhkan Kontroversi “Chiwoo”
Tiongkok dan Korea sering memperdebatkan sejarah identitas nasional mereka, tidak jauh berbeda dengan Indonesia-Malaysia yang memperdebatkan dari negara mana cendol berasal.
Memang untuk memahami dan mendefinisikan kembali budaya dan identitas nasional, sejarah kuno menjadi arena perdebatan. Demi pembangunan sejarah nasional yang apik, elemen-elemen masa lalu dipilah dan dipilih. Para sejarawan mengabdikan diri untuk menafsirkan ulang gambar masa lalu yang diterima secara konvensional dan mempercantiknya.
Dalam buku Reconstructing Ancient Korean History, Stella Xu menjelaskan bahwa catatan sejarah Korea banyak diadopsi dari Tiongkok yang diproduksi pada zaman Dinasti Han (abad ketiga SM). Salah satunya adalah keberadaan sosok legendaris Chiwoo Cheonwang di mana sejarah Tiongkok mencatat sosok tersebut sebagai Chiyou.
Sosok Chiwoo inilah yang dijadikan Red Devils sebagai ciri khas atau maskot mereka pada 1999. Chiwoo dianggap dapat menjadi jimat untuk melindungi dan menghadirkan kejayaan untuk timnas Korea Selatan.
Red Devils mengklaim dalam situs resminya bahwa Chiwoo merupakan raja keempat belas Baedal, suksesor kerajaan Hwanguk. Interpretasi ini disinyalir didapat dari buku Hwandan Gogi. Buku berisi kompilasi teks sejarah Korea kuno ini sebenarnya dikritik dan diragukan keotentikannya.
Sumber dari Tiongkok mencatat Chiyou merupakan kepala dari Kerajaan Jiuli yang bertentangan dengan emigran Tiongkok. Pada akhirnya Chiyou secara tragis kalah dari rivalnya, Huangdi atau dikenal dengan Yellow Emperor yang kemudian lebih populer dalam legenda.
Dalam buku Hwandan Gogi inilah pertikaian antara Chiyou dan Yellow Emperor ditingkatkan statusnya menjadi konflik antara Tiongkok dan Korea. Keberanian Chiyou dalam menantang Yellow Emperor menjadi inspirasi bagi Korea. Chiyou dikategorikan sebagai leluhur heroik mereka meskipun namanya tidak tercantum dalam catatan sejarah Korea hingga menjelang abad ke-20.
Sosok Chiwoo oleh Red Devils diberi citra menyerupai sosok supranatural di kisah-kisah rakyat Korea, yaitu Dokkaebi. Jangan membayangkan figur Dokkaebi di drama Korea yang diperankan aktor Gong Yoo. Dokkaebi di cerita rakyat digambarkan berwajah menyeramkan. Ia merupakan ruh yang bisa menjelma jadi apa saja dan usil. Meski begitu ia memang penolong dan dianggap sebagai pelindung manusia.
Simbol Patriotisme
Lupakan kontroversi Chiwoo dan sejarah kuno Korea lainnya. Bagaimana pun Red Devils telah mengubah pandangan yang menyebut kaum muda kurang nasionalis dan egois. Sorakan “Dae-han-min-guk” (Republik Korea) dan nyanyian “Oh Pilseung Korea” (Jayalah Korea) di setiap sudut jalan seolah menahbiskan Red Devils menjadi wakil kebanggaan nasional dan semangat patriotisme selama Piala Dunia 2002.
Florence Lowe Lee dari Korea Economic Institute menganggap Red Devils telah memprakrasai gelombang baru patriotisme di Korea yang berbeda dari apa yang telah dipegang oleh generasi tua. Sebelumnya, nasionalisme berarti mencari pembebasan dari penjajahan asing.
“Red Devils membawa orang-orang bersatu. Ini merupakan gabungan dari kebanggaan dan martabat nasional,” tutur Florence.
Timnas Korea Selatan sendiri sudah dipastikan menjadi negara Asia ketiga yang lolos ke Piala Dunia 2018 setelah Iran dan Jepang. Menarik membayangkan pengabdian Red Devils pada timnas tahun depan di tengah hooligan Rusia yang memiliki sifat yang berbanding terbalik.