November 1997, tepatnya tanggal 16. Jamaika berhasil memastikan tiket Piala Dunia untuk pertama kalinya setelah menahan imbang Meksiko 0-0. Menduduki peringkat ketiga klasemen akhir kualifikasi, the Reggae Boyz berangkat ke Prancis untuk pesta sepakbola 1998.
Meraih kemenangan atas Jepang di fase grup, Ricardo Gardner (eks-Bolton) dan kawan-kawan gagal lolos ke babak 16 besar. Kekalahan 0-5 dari Argentina, dan ditekuk 1-3 oleh Kroasia menghentikan petualangan mereka di Prancis.
Meski demikian, keberhasilan Jamaika untuk lolos ke Piala Dunia 1998 sudah cukup untuk membantu kondisi negaranya yang tengah diselimuti konflik. “Kami menjadi satu sebagai sebuah bangsa. Semuanya merasakan kebahagiaan setelah kami berhasil meraih sesuatu yang banyak orang mimpikan,” kata kapten Jamaika saat itu, Warren Barrett.
“Piala Dunia Kriket bahkan tidak bisa melakukan hal seperti ini,” tambah seorang suporter kepada Jamaica Gleaner.
Angka kematian di Jamaika ketika itu sedang tinggi. Mencapai lebih dari 1.000 orang pada akhir 1997. Namun saat the Reggae Boyz tampil, 35.000 warga Jamaika menjadi satu. Baik langsung di stadion, restoran, ataupun jalanan.
Lebih dari dua dekade kemudian, Jamaika bersorak lagi. Prancis kembali menggelar Piala Dunia. Kali ini untuk sepakbola perempuan, dan Jamaika menjadi negara dari Kepulauan Karibia pertama yang lolos ke turnamen tersebut.
The Reggae Girlz mendepak Kosta Rika dan Kuba di fase grup untuk lolos ke semi-final kualifikasi. Mereka dibantai 0-6 oleh Amerika Serikat, namun tetap layak berangkat ke Prancis setelah menang melawan Panama lewat adu penalti.
“Semua pengorbanan yang telah kami lakukan selama ini akan mengubah persepsi masyarakat tentang perempuan di Jamaika. Ini merupakan momen historis yang tak mungkin saya utarakan dengan kata-kata. Tapi 20 pemain yang ada berhasil membuat perubahan. Mereka luar biasa,” ungkap Kepala Pelatih Jamaika Hue Menzies.
Tanpa Dukungan dan Kelaparan
Foto: Jamaica Gleaner
Pengorbanan yang dilakukan Khadija ‘Bunny’ Shaw dan kawan-kawan memang di luar akal sehat. Sepakbola perempuan seharusnya tidak berkembang di Jamaika. Pihak asosiasi, JFF, pernah membubarkan divisi sepakbola perempuan mereka. Membuat Jamaika tidak aktif di peringkat dunia FIFA.
Pada 2014, empat tahun setelah ditelantarkan, anak dari Bob Marley, Cedella gerah dengan perlakuan JFF. Dirinya meminta pihak asosiasi untuk kembali menghidupkan sepakbola bagi kaum hawa.
Lewat pengaruh yang dimiliki Cedella dan dukungan publik, the Reggae Girlz hidup lagi. Namun, JFF masih buta akan sepakbola perempuan. Mereka bingung, tidak tahu harus berbuat apa.
Pada akhirnya memilih untuk tak memberi alokasi dana untuk anak-anak asuh Menzies. Bahkan ketika sudah lolos ke Piala Dunia sekalipun, JFF tak memberikan uang ke Bunny Shaw beserta kolega. Masalahnya, JFF sendiri tidak memiliki banyak dana dan sejatinya, Piala Dunia 2019 bukan sesuatu yang telah ditargetkan.
“Sejujurkan kami tengah sekarat. Pemain-pemain kelaparan. Kami tidak tahu bagaimana program ini bisa terus berlanjut. Kami bukan hanya ke Piala Dunia karena lolos, nantinya akan ada negara lain yang harus dikalahkan,” kata Presiden JFF Michael Ricketts.
“Kami akan berusaha meminta sumbangan kepada warga Jamaika yang ada di luar negeri. Kami juga akan meminta ke pemerintah. Tapi sejauh ini tim pelatih yang membuat mereka tetap hidup. Pelatih yang mengeluarkan uang, menyediakan akomodasi,” lanjutnya.
Aliran Dana Pemerintah
Jangankan Jamaika, pada dasarnya apabila suatu olahraga kurang memberi kontribusi bagi negara, mustahil menjadi prioritas pemerintah. Sejarah pernah mencatat bagaiman sebuah asosiasi olahraga sampai harus berbuat curang agar mendapat dukungan pemerintah.
Paralimpik 2000, Asosiasi Olahraga Spanyol untuk Kaum Disabilitas Intelektual (FEDDI), merekrut 10 pemain basket untuk membela tim mereka. Dalam Paralimpik 2000, basket hanya diwakilkan oleh 12 pemain dan 10 orang di tim nasional Spanyol memiliki intelektual di atas kompetitor mereka.
Kecurangan ini dilakukan demi mendapatkan suntikan dana lebih dari pemerintah. Mereka juara, pelatihnya bahkan sempat harus menegur para pemain untuk berpura-pura bodoh agar tidak dicurigai. Tapi ternyata salah satu dari pemain yang direkrut FEDDI merupakan jurnalis investigasi, dan ia membongkar semuanya.
Reggae Girlz tak perlu melakukan kecurangan tapi mereka harus lolos Piala Dunia terlebih dahulu sebelum didukung pemerintah. “Mereka selalu bersatu dan bekerja keras. Tim ini menjadi pengingat bangsa, bahwa Jamaika selalu bisa melebihi ekspektasi. Wilayah yang kecil bukanlah halangan,” puji Perdana Menteri Jamaika Andrew Holness.
“Dukungan independen seperti yang dilakukan Cedella harus lebih sering dilakukan,” lanjut Holness. Per Maret 2019, pemerintah Jamaika sendiri disebut menyumbang dana 150 ribu dollar Amerika Serikat untuk the Reggae Girlz. Angka itu hanya sekitar 10% dari perkiraan kebutuhan tim. Sisanya, bantuan independen seperti Cedella dan sponsor jadi tumpuan.
Pengaruh Anak Tertua Bob Marley
Pengaruh Cedella Marley sudah dirasakan oleh Reggae Girlz sejak 2014. Hal ini dilakukan karena ia mengingat kecintaan Sang Ayah, Bob, kepada sepakbola. Sepakbola sudah jadi budaya, mendarah-daging di Keluarga Marley.
Kecintaan Cedella kepada Sang Ayah dan sepakbola membuatnya ingin terjun langsung ke dunia kulit bundar. Tapi bukan semata-mata karena rasa cinta, Cedella kagum dengan pada perjuangan para pemain, prihatin.
“Mereka tidak memiliki sarana, institusi, dan program. Hal mendasar yang diperlukan agar dapat menghasilkan pemain berkualitas. Begitu terbatasnya dana yang ada, para pemain bahkan belum tentu bisa melakukan uji coba ataupun pemusatan latihan,” katanya.
Cedella mengorbankan banyak hal untuk Reggae Girlz. Mulai dari menjual pernak-pernik yang ia miliki, membuka penggalangan dana, menggunakan yayasan Bob Marley untuk sepakbola, hingga membantu desain kostum tim.
Wajar apabila Menzies menyebut Cedella telah mempertaruhkan lehernya untuk para pemain yang ia asuh. Cedella melihat potensi dalam Reggae Girlz. Potensi mengubah budaya seperti yang disebutkan Menzies setelah lolos ke Piala Dunia.
“Jamaika lebih senang melihat perempuan menggunakan rok. Bukan menggunakan celana pendek, dan bermain sepakbola. Ada juga sebuah kultur untuk menghina bentuk tubuh di sini,” aku Cedella.
Masa Depan Cerah
Foto: Twitter / @ASRomaFemminile
Terlepas dari penampilan the Reggae Girlz di Prancis, sepakbola perempuan di Jamaika terlihat cerah. Kepedulian mulai tubuh, keseriusan asosiasi untuk menaungi talenta-talenta yang ada telah terlihat. Penampilan di atas lapangan juga membantu.
Anak-anak asuh Menzies berhasil menyapu bersih tiga uji coba yang mereka lakukan usai lolos ke Piala Dunia 2019. Pertama membantai Nottingham Forest, 3-0, kemudian mencatat dua kemenangan beruntun kontra Cili (1-0, 3-2).
Hasil itu tentu ikut membantu peringkat mereka di FIFA. Per Desember 2018, Jamaika menjadi negara dengan peningkatan paling signifikan kedua di peringkat FIFA (11 poin). Hanya kalah dari satu poin dari Panama (12).
Momentum ke Piala Dunia juga digunakan Michelle Adamolekun dan Lisa Quarrie, dua lulusan universitas di Amerika Serikat untuk membuat akademi sepakbola perempuan.
“Tujuan kami adalah untuk menyiapkan talenta-talenta masa depan agar Jamaika siap menghadapi Piala Dunia di masa depan. Akademi ini juga akan jadi sumber dana bagi pihak asosiasi. Mereka [JFF] nantinya juga bisa kedatangan pemain dari luar Jamaika,” jelas Quarrie kepada Gleaner.
Beberapa anggota Reggae Girlz juga berhasil mengamankan kontrak di luar wilayah Amerika Tengah setelah lolos ke Piala Dunia. Dominique Bond-Flasza diboyong PSV, Chinyelu Asher direkrut Stabaek, dan Allyson Swaby mendapat kontrak dari Roma.
Menzies masih memiliki beberapa pemain yang tidak memiliki kesebelasan. Piala Dunia 2019 pun menjadi panggung bagi mereka mencuri perhatian dan membanggakan negara.
“Para pemain tahu mereka tidak akan bisa hanya mengandalkan pemusatan latihan, perlu sebuah daya kompetitif, pengalaman bermain dengan talenta-talenta terbaik. Agen pemain akan mencarikan klub dan saya rasa itu membantu masa depan kami,” aku Menzies.