17 Oktober: Bola Pantai Pembawa Bencana

Foto: The Top Flight

Callum Campbell mungkin tidak menyangka kalau hidupnya yang sebelumnya hanya sebagai remaja biasa penggemar Liverpool bisa berubah begitu cepat menjadi sosok yang dibenci oleh sesama Liverpudlian. Aksi yang dilakukan sembari menunggu pertandingan dimulai berdampak dengan hilangnya tiga poin bagi tim pujaannya.

17 Oktober 2009, Liverpool bertandang ke markas Sunderland dalam lanjutan Premier League pekan ke-9. The Reds bertekad ingin mengambil poin penuh setelah pada pertandingan terakhir kalah 2-0 atas Chelsea.

Pertandingan itu juga dinantikan oleh Callum yang mendapat kesempatan untuk bertandang ke Stadium of Light. Sambil menunggu para pemain memasuki lapangan, ada sebuah bola pantai yang datang menghampiri Campbell. Dengan santai, bola tersebut ia pukul sehingga membuatnya berada di dalam lapangan.

Segalanya berjalan biasa saja hingga pada menit ke-5 Sunderland melakukan serangan balik. Andy Reid melepaskan umpan dari sayap kanan yang kemudian dibelokkan oleh rekannya, Steed Malbranque, ke arah Darren Bent. Yang mengherankan adalah bola pantai yang dipukul Callum tiba-tiba sudah berada di depan gawang Pepe Reina.

Bent kemudian menendang bola tersebut yang memantul karena terkena bola pantai merah dengan logo Liverpool tersebut. Apes bagi Reina karena pandangannya justru teralihkan kepada bola pantai tersebut dan melewatkan kesempatan untuk menghalau bola tendangan Bent. Gol yang kemudian menjadi penentu kemenangan The Black Cats pada pertandingan tersebut.

“Nasib buruk. Saya kehilangan pandangan saya kepada bola resmi dan justru melihat bola merah. Ketika dia menembak, saya langsung melihat bola merah karena bola itu yang paling dekat dengan saya dan yang lain melewati saya. Semuanya terjadi sangat cepat,” kata Reina.

Sebenarnya tidak ada yang tahu siapa yang mengakibatkan bola pantai itu bisa berada di dalam lapangan. Sampai pada menit ke-24, kamera televisi menayangkan replay ketika Callum memukul bola tersebut ke dalam lapangan. Sejak saat itu, semua orang sudah tahu siapa yang membuat Liverpool kebobolan.

“Itu adalah perbuatanku. Saya yang melakukannya dan saya yang tertangkap kamera. Saya minta maaf. Ini adalah mimpi buruk saya. Mimpi yang benar-benar buruk,” kata Campbell.

“Bola pantai itu sebenarnya bukan milik saya. Para penonton memantulkannya di atas kepala mereka hingga bola tersebut mengarah kepadaku. Kemudian saya memukulnya dengan keras dan setelah itu angin membawanya ke lapangan,” katanya menambahkan.

Yang membuat Callum heran adalah tidak ada satu pun yang menyingkirkan bola tersebut baik itu steward atau Reina sendiri. Namun, nasi sudah menjadi bubur. Apa yang dia lakukan mengakibatkan tim pujaannya kehilangan tiga angka. Perasaan bersalah terus menghantui pikiran Callum yang merasa kalau apa yang ia lakukan sebelum pertandingan tersebut seharusnya tidak memberi dampak apa-apa.

“Ketika sampai ke rumah, saya muntah. Secara fisik saya sakit dan itulah yang muncul sebelum adanya ancaman-ancaman pembunuhan yang muncul di internet sehari sebelumnya.”

Callum terus menonton pertandingan tersebut berulang kali dan dia masih tetap tidak bisa mempercayai apa yang sudah ia lakukan. Ibunya berupaya untuk membangkitkan kembali psikis anaknya dengan terus menyebut kalau itu bukan kesalahannya. Yang bisa dilakukan Callum hanya minta maaf dan mengurung diri di kamar dua hari.

Jika berkaca dari laws of the game, gol Bent tersebut sebenarnya tidak sah karena ketika ada benda asing yang masuk ke dalam lapangan, maka harus dilakukan drop ball. Akan tetapi, wasit Mike Jones justru mengesahkan gol tersebut. Keputusan yang dibuat Jones membawanya harus menerima hukuman untuk didegradasi ke divisi Championship.

Sederet ancaman pembunuhan dan hujatan terus datang untuk Campbell. Ia akhirnya berani untuk melawan. Setelah melihat kembali orang-orang yang menghujat dirinya tersebut, kebanyakan berasal dari luar Inggris. Sejak saat itu, percaya dirinya mulai kembali pulih karena ia yakin kalau pendukung asli Liverpool akan memaafkannya.

“Ketika saya melihatnya lebih dekat, ternyata orang-orang ini datang dari negara seperti Amerika, Australia, hingga seluruh dunia yang disebut fans tapi tidak pernah ke Liverpool. Setelah itu, saya bisa mengabaikannya. Saya tahu kalau penggemar sejati tidak akan mengancam saya seperti itu,” katanya.

Meski kejadian tersebut akan selalu membekas dalam sejarah Premier League, namun Callum beruntung karena dia tidak terpuruk dengan hadirnya ancaman pembunuhan yang mengarah kepadanya. Kini, ia pasti sedang bahagia karena tim favoritnya sudah kembali bertransformasi menjadi kesebelasan yang menantang gelar juara. Dia pasti sudah benar-benar melupakan insiden di Stadium of Light tersebut mengingat musim lalu Liverpool baru saja memutus puasa gelar Premier League yang sudah berlangsung 30 tahun.