4 Juli 1954: Keajaiban di Kota Bern

Fritz Walter bersama trofi Jules Rimet pertama Jerman Barat. Foto: FIFA.com

Seandainya Jerman mengalahkan Hungaria pada final Euro 2021 atau final Piala Dunia 2022 misalnya, maka hal itu tampak tidak akan membuat banyak orang terkejut. Jerman adalah salah satu negara dengan kultur sepakbola yang kuat, sedangkan Hungaria bukan negara yang sepakbolanya bagus. Mereka pasti mendapat apresiasi karena bisa melangkah ke final meski pada kenyataannya Jerman akan dipandang lebih tinggi dibanding mereka.

Namun, situasi itu sangat berbeda hampir 70 tahun yang lalu. Saat itu, Hungaria lebih tinggi derajat sepakbolanya ketimbang Jerman yang saat itu masih memakai nama Jerman Barat. Hal itu terlihat ketika keduanya bertemu pada fase grup Piala Dunia 1954. Jerman Barat kalah dengan skor telak 8-3 yang menunjukkan betapa superiornya mereka atas Tim Panser.

Jika itu semua dirasa belum cukup untuk menyebut Hungaria adalah tim terbaik, maka kita bisa melihat kiprah Hungaria pada tahun-tahun sebelumnya. Pertama, mereka tidak pernah kalah selama empat tahun. Kedua, mereka mengalahkan si penemu sepakbola, Inggris, dengan skor 6-3 di Wembley. Berikutnya, Jerman Barat bukan negara kuat di sepakbola saat itu. Yang terakhir, Hungaria adalah pemilik mendali emas sepakbola Olimpiade dua tahun sebelumnya. Saat itu, medali emas cabang sepakbola di Olimpiade cukup bergengsi meski pamornya pelan-pelan tersingkir akibat Piala Dunia.

Jadi, ketika keduanya kembali bertemu pada final Piala Dunia 1954, maka sahih jika Hungaria diunggulkan untuk mengangkat trofi Jules Rimet pertamanya. Lagipula, mereka juga dikenal sebagai tim yang memiliki gaya main sepakbola yang menghibur dengan pola 3-2-2-3 dengan deretan nama-nama hebat seperti Ferenc Puskas, Sandor Koscsis, dan Nandor Hidegkuti, orang yang disebut mempertajam peran False Nine milik seniornya, Matthias Sindelar.

Sebenarnya, Jerman Barat juga merupakan kekuatan sepakbola Eropa. Pada 1934, mereka meraih posisi tiga Piala Dunia. Namun, sepakbola mereka pelan-pelan mengalami kemunduran dan baru mulai kembali saat mereka membentuk Asosiasi Sepakbola Jerman (DFB) dan masuk anggota resmi FIFA pada 1949.

Mereka lolos ke final dengan cara yang dramatis. Kekalahan 8-3 dari Hungaria membuat mereka harus melakukan laga play off melawan Turki. Beruntung, mereka menang dengan skor 7-2 sebelum berturut-turut mengalahkan Yugoslavia dan Austria. Kondisi Jerman Barat semakin sulit ketika andalan mereka, Fritz Walter kena malaria. Selain itu, banyak dari penggawa Der Panzer merupakan pemain paruh waktu.

Di lapangan, tanda-tanda kekalahan kedua kembali muncul ketika Ferenc Puskas mencetak gol pada menit keenam. Hanya berselang dua menit, Zoltan Czibor memperbesar keunggulan menjadi 2-0. Penonton kembali teringat memori skor 8-3 beberapa hari sebelumnya.

Akan tetapi, yang terjadi justru sebaliknya. Hanya dalam tempo delapan menit, Jerman menyamakan kedudukan melalui Maximillian Morlock dan Helmut Rahn. Pada babak kedua, Hungaria tidak bisa menunjukkan kalau mereka pantas dijuluki Magical Magyars. Mereka sulit mencetak gol. Apes, karena enam menit sebelum laga berakhir justru Rahn membawa Jerman Barat unggul. Skor bertahan hingga usai, Jerman Barat juara Piala Dunia untuk pertama kalinya.

Tuduhan Doping, Sepatu Baru, dan Lapangan Licin

Keajaiban, hanya itu yang bisa dikatakan untuk mendeskripsikan laga di Wankdorf Stadium tersebut. Itulah kenapa pertandingan ini dikenal juga dengan Miracle of Bern. Orang Jerman menyebutnya sebagai “Das Wunder von Bern”. Dengan segala kekurangan yang mereka miliki, Jerman Barat justru menjadi juara dengan mengalahkan deretan pemain terbaik milik Hungaria.

Banyak teori yang muncul tentang alasan mengapa Jerman bisa berbalik unggul dari tim sekelas Hungaria. Ada yang menyebut kalau Jerman memakai doping. Namun, ada pula yang menyebut kalau kunci kemenangan Jerman dibantu oleh cuaca dan sepatu mereka.

Sebelum berangkat ke stadion, pelatih mereka, Sepp Herberger, punya feeling kalau cuaca akan hujan. Jika itu terjadi, maka Jerman punya peluang untuk menang. Senyum mengembang saat di perjalanan, sopir bus mereka mengalami kesulitan berkendara akibat hujan deras hingga harus menyalakan wipernya.

Tidak sampai di situ, Sepp Herberger disebut-sebut sengaja tidak memainkan pilar utamanya saat kalah 8-3. Ia melakukannya agar Hungaria merasa berada di atas angin saat kembali berjumpa. Prediksinya tepat, karena setelah disamakan 2-2 pemain Hungaria terlihat tidak lagi percaya diri dan mulai kehilangan ritme.

Jerman juga ditopang oleh sosok lain bernama Adolf Dassler. Sosok yang dipanggil Adi ini membuat sepatu yang pulnya bisa dicopot untuk menyesuaikan kondisi di lapangan. Inilah yang membuat Jerman bisa bermain bola dengan baik karena teknologi seperti ini belum dikenal oleh kubu Hungaria.

Tidak ada satu hal yang pasti untuk menjelaskan apa yang terjadi pada laga tersebut. Bisa saja kalau taktik Jerman Barat saat itu jauh lebih bagus. Namun, pembahasan soal taktik saat itu tidak detail seperti sekarang. Namun satu hal, laga itu adalah keajaiban. Tim yang tidak diunggulkan berhasil membalikkan keadaan melawan tim terkuat di dunia yang berakhir dengan gelar juara Piala Dunia. Semua terjadi begitu saja.

Bagi Jerman, kemenangan itu menjadi sebuah momentum untuk sepakbola mereka yang semakin membaik setiap tahunnya. Mereka yang sebelumnya berantakan akibat perang, kini mulai kembali menata hidupnya berkat sepakbola. Kemenangan di Bern membuat seluruh Jerman tersenyum kalau masih ada masa depan yang cerah. Hasil pada Perang Dunia berhasil mereka tutup dengan kejayaan Piala Dunia. Selain itu, hasil di Bern dianggap sebagai awal dari munculnya ciri khas permainan Jerman yang lambat panas namun menggigit.

Bagi Hungaria, kekalahan tersebut sebenarnya tidak langsung melunturkan kekuatan sepakbola mereka. Hingga 1956, mereka tetap dipandang sebagai tim terkuat. 50 pertandingan mereka jalani sejak 1950 dengan catatan 42 kemenangan, tujuh hasil imbang, dan satu kekalahan. Ya, satu-satunya kekalahan itu terjadi atas Jerman Barat. Sejak saat itu, pelan-pelan mereka mulai menghilang dari statusnya sebagai tim terkuat.

Pada 2003, hampir empat ribu orang pergi ke bioskop untuk menyaksikan kejayaan 1954 yang diabadikan dalam sebuah film. Bukan film yang masuk dalam kategori nominasi Oscar, namun mereka setidaknya bisa bernostalgia karena bagi mereka film tersebut tidak hanya sebatas film sepakbola melainkan sebuah identitas untuk penduduk Jerman.