Menurut Laws of The Game, sebuah gol dinyatakan sah apabila bola telah sepenuhnya melewati garis gawang. Kata sepenuhnya ini mencakup seluruh bagian dari bola alias satu bulatan utuh. Gol tidak dinyatakan sah apabila masih ada bagian yang belum melewati garis gawang.
Akan tetapi, keterbatasan pandangan seorang wasit maupun hakim garis sudah sering melahirkan kontroversi tentang sah atau tidaknya sebuah gol dalam sebuah pertandingan. Terutama gol-gol yang terjadi saat bola tidak sampai menyentuh jaring atau hanya melewati garis gawang. Pada momen inilah timbul beberapa kontroversi yang membuat salah satu tim merasa sangat dirugikan.
Beberapa kontroversi tentang gol kerap terjadi pada beberapa ajang. Pada final Piala Dunia 1966, wasit Gottfried Dienst dan asisten wasit, Tofik Bakhramov mengesahkan gol Geoff Hurst saat bola hanya memantul tepat di garis gawang. 44 tahun kemudian, gol Frank Lampard tidak disahkan wasit Jorge Larrionda meski bola sudah benar-benar sempurna melewati garis gawang. Dua tahun kemudian, Ukrainan seharusnya bisa mendapat gol jika tidak dianulir meski bola juga sudah melewati garis gawang.
Kejadian di atas hanya sebagian kecil dari banyaknya kontroversi soal gol. Banyaknya insiden seperti ini kemudian membuat penggunaan teknologi dalam sepakbola dianggap menjadi sesuatu yang penting. Pada 5 Juli 2012, atau tepat delapan tahun lalu, International Football Association Board (IFAB) atau organsisai pembuat aturan sepakbola internasional, menyetujui penggunaan teknologi garis gawang atau yang akrab disebut dengan Goal Line Technology.
Setelah melakukan proses selama kurang lebih sembilan bulan di beberapa negara, IFAB akhirnya mengizinkan penggunaan teknologi garis gawang untuk menentukan apakah bola sudah sepenuhnya melewati garis gawang atau belum. Ada delapan perusahaan yang ikut serta untuk melakukan uji coba, namun kemudian hanya dua yang terpilih sebagai pemegang lisensi teknologi garis gawang FIFA yaitu GoalRef dan Hawk-Eye.
Butuh waktu kurang lebih selama enam tahun untuk FIFA bisa menerima penggunaan teknologi dalam sepakbola. Sebelumnya, organisasi tertinggi sepakbola dunia ini beberapa kali menolak adanya teknologi video atau jenis apa pun yang bisa memengaruhi hasil akhir pertandingan. Sepp Blatter, presiden FIFA saat itu, bahkan menyebut kalau teknologi justru bisa mengganggu permainan. Namun, banyaknya kontroversi seperti yang sudah diceritakan pada paragraf sebelumnya pelan-pelan mulai meluluhkan hati Blatter.
“Setelah semua yang terjadi, menjadi suatu yang tidak masuk akal jika berkas teknologi tidak kembali dibuka pada pertemuan IFAB pada bulan Juli nanti. Saya kecewa atas sikap wasit yang beberapa kali membuat kesalahan,” kata Sepp Blatter setelah melihat insiden gol Lampard dan gol offside Carlos Tevez yang disahkan wasit beberapa hari sebelumnya.
Cara kerja teknologi garis gawang sebenarnya cukup mudah. Bola yang digunakan tidak ada perbedaan dengan bola pada umumnya. Tapi, ada sebuah chip yang berada dalam bola tersebut untuk memberikan segala informasi mengenai keberadaan bola di atas lapangan. Jika bola sudah sepenuhnya melewati garis gawang, maka dia akan memberikan sinyal berupa tulisan “Goal” pada jam tangan yang dipakai oleh wasit. Jika pesan itu tidak muncul, maka bola belum sepenuhnya melewati garis gawang.
Piala Dunia Antarklub menjadi ajang internasional pertama yang menggunakan teknologi garis gawang. Disusul kemudian Piala Konfederasi pada 2013. Musim 2013/2014 menjadi musim pertama Premier League menggunakan teknologi garis gawang. Kesuksesan pada Piala Konfederasi 2013, membuat FIFA menggunakan teknologi garis gawang pada Piala Dunia 2014. Gol Karim Benzema saat Prancis menang 3-0 atas Honduras menjadi gol pertama yang ditentukan melalui teknologi garis gawang. Sejak saat itu, hampir seluruh kompetisi Eropa dan internasional menggunakan teknologi ini.
Meski begitu, penggunaan teknologi garis gawang ini tidak langsung bisa diterima semua pihak. Banyak yang menyayangkan kalau hadirnya teknologi ini membuat kenikmatan menonton sepakbola menjadi berkurang. Mereka tidak bisa lagi menikmati drama layaknya insiden gol Lampard tersebut. Harga teknologi garis gawang juga dianggap cukup mahal yaitu lebih dari 4 miliar rupiah. Selain itu, penggunaan teknologi ini juga tidak dilakukan setiap waktu. Meski begitu, akurasi teknologi ini yang cukup akurat membuat segala kontroversi hampir tidak terjadi.
Namun, ada kalanya teknologi tidak berjalan seperti yang kita kira. Beberapa waktu lalu, Sheffield kecewa dengan keputusan wasit Michael Oliver saat mereka bermain imbang tanpa gol melawan Aston Villa. Saat itu,mereka tidak mendapatkan gol meski bola tendangan bebas Oliver Norwood melewati gawang Villa. Yang menarik, Oliver mengatakan kalau jam tangannya tidak memberikan sinyal gol meski dalam tayangan ulang bola telah melewati garis.