Akademi Perusak Dominasi Boca Juniors

Foto: Elprimergrande.com

Bicara soal sepakbola Argentina, tentu akan ada dua kesebelasan yang langsung muncul di kepala: Boca Juniors dan River Plate. Rivalitas antara dua kesebelasan utama Argentina itu bahkan disebut lebih panas dibanding partai ‘El Clasico’ di Spanyol. Jika partai Real Madrid kontra Barcelona hanya mendapat label ‘El Clasico’, Boca Juniors lawan River Plate disebut sebagai ‘Superclasico’.

Pertemuan kedua kesebelasan di final Copa Libertadores 2018 kian mempertegas aroma rivalitas antara mereka. Pertandingan beberapa kali harus ditunda karena bentrok kedua suporter. Sampai akhirnya suporter River Plate tidak bisa menyaksikan kemenangan paling besar dalam sejarah klub kesayangan mereka.

Boca Juniors kalah dari River Plate di final Copa Libertadores akan jadi luka yang dibawa seumur hidup. Padahal mereka lebih mendominasi di Superliga Argentina. Bahkan jauh sebelum nama Superliga diresmikan pada 2017/2018, Boca mendominasi raihan piala di Argentina.

Meraih empat gelar juara dalam periode 2008-2017. Mengalahkan River Plate yang hanya dua kali menjadi juara. Memasuki era Superliga, Boca seperti akan semakin mendominasi. Menjadi juara pertama Superliga (2017/2018). Menyingkirkan River hingga ke peringkat delapan klasemen akhir.

Namun dominasi yang diharapkan tidak terjadi. Boca terlempar ke peringkat tiga klasemen akhir Superliga 2018/2019, selisih enam poin dari Sang Juara. Bukan River Plate juga yang jadi juara. Melainkan La Academia: Racing Club.

La Academia

Foto: Twitter / @RacingClub

Berdiri di daerah pelabuhan Buenos Aires, Avellaneda, Racing Club terdengar sebagai klub otomotif. Bukan sepakbola. Kenyataannya, pendiri Racing yang merupakan anggota dari dua rival sekota, FC Barracas dan  Colorados Unidos, memang terinspirasi dari otomotif. Lebih tepatnya majalah otomotif Prancis.

Sepakbola di Barracas Sud -nama daerah tersebut sebelum jadi Avelaneda- hanya bergerak di bawah kendali perusahaan. Independiente adalah kesebelasan perusahaan di Barracas Sud. FC Barracas dan Colarados Unidos yang tidak ingin bermain dengan nama perusahaan akhirnya melupakan rivalitas mereka untuk membuat Racing, menyaingi Independiente.

Keputusan itupun berbuah manis. Racing mendominasi sepakbola Argentina pada periode 1950-an. Tampil seakan mengajarkan kesebelasan lain cara bermain sepakbola yang baik dan benar, mereka dijuluki sebagai La Academia. Julukan itu semakin pas lagi mengingat pemain andalan mereka ketika itu, Ezra Sued, adalah produk asli Racing.

Keberhasilan Racing mengorbitkan talenta-talenta akademi mereka terus berlangsung selepas masa kejayaan. Carlos Arano (eks-Siena dan Perugia) dan mantan punggawa Espanyol, Adrian Bastia adalah pemain jebolan akademi Racing.

Bangkit dari Kubur

Foto: Fanpop

Sayangnya, masalah finansial mengakhiri kiprah Racing di akhir milenium kedua. Mereka memiliki hutang sampai 66,5 juta dollar Amerika Serikat dan resmi dinyatakan bankrut pada 1998. Suporter Racing masih tidak bisa menerima kenyataan. Seorang suporter pun turun ke lapangan dan berlutut, berdoa, meluapkan kesedihannya.

Mungkin doa suporter itu terkabul. Pasalnya, tidak lama setelah dinyatakan bankrut, Racing diambil alih oleh Blanquiceleste. Dipimpin pengusaha Fernando Martin dan de Tomasso, La Academia diproyeksikan kembali stabil dalam 10 tahun. Dimulai dari 29 Desember 2000.

Hasilnya juga langsung terlihat. Racing menjadi juara Apertura 2001 dengan Diego Milito sebagai pemain andalan mereka. Raihan gol Milito saat itu tidaklah seberapa. Ia kalah dari Diego Forlan, yang mencetak 12 gol untuk Independiente. Namun Milito merupakan produk asli Racing Club. Membuat nama La Academia tetap relevan.

Masalahnya, Racing kembali terkena masalah finasial. Kali ini Blanquiceleste tidak dapat memenuhi kewajiban mereka untuk membayar gaji pemain dan juga pegawai klub. Padahal dalam delapan tahun menguasai Racing, mereka sudah menjual berbagai talenta ke Eropa.

Entah itu Maxi Moralez (eks-Atalanta), Mariano Gonzalez, Lisandro Lopez (mantan Porto), Leandro Grimi (AC Milan), hingga Diego Milito ke Genoa. Tapi uang penjualan dari mereka semua tidak bisa menyelamatkan klub. Blanquiceleste akhirnya lengser dari Racing.

Kepulangan Milito

 

Setelah menjelajah Eropa, memenangkan Serie-A, Coppa Italia, dan Liga Champions bersama Inter Milan, Milito akhirnya kembali ke Racing pada 2014. Ia membela Racing selama dua musim, memberi satu gelar juara lagi sebelum menggantung sepatu dan pindah ke balik layar.

Efek Milito di balik layar inilah yang jadi tanda kebangkitan Racing Club yang sebenarnya. “Misi Milito hanya satu. Ia ingin membuat Racing menjadi juara lagi,” kata Diego Huerta, tangan kanan Milito. Mantan penyerang Real Zaragoza itu tidak menjadi nakhoda Racing. Melainkan mengisi posisi direktur olahraga. Sementara Huerta ditunjuk sebagai sekretaris oleh Milito.

Sepakbola Argentina adalah pemandangan yang berantakan. Tidak ada konsep yang jelas. Selalu berganti-ganti. Tanpa kemajuan signifikan. Milito menyelematakan Racing dari kultur tersebut. Selain Huerta, ia juga menunjuk Javier Weiner yang dekat dengan ayahnya untuk menjadi operator pemandu bakat berbasiskan teknologi.

“Kami ingin menjadi klub yang berbeda dengan lainnya. Punya konsep dan struktur yang jelas dan harmonis. Dari level presiden hingga pelatih,” jelas Weiner. “Kami juga harus bisa berburu pemain. Mendatangkan mereka sebelum direbut kesebelasan Eropa atau Boca dan River,” lanjutnya.

Saatnya Panen!

Foto: Mundo Abiceleste

Milito seakan membentuk Racing dengan pengalamannya di Eropa. Untuk kesebelasan di Eropa, punya sistem pemandu bakat sesuai dengan teknologi atau direktur olahraga yang aktif mungkin sudah biasa. Namun hal itu bukan hal yang normal di sepakbola Argentina.

Racing akhirnya memetik hasil dari perubahan struktur mereka. Rodrigo de Paul,  Bruno Zuculini, Luciano Vietto, Ricardo Centurion, dan Lautaro Martínez adalah beberapa nama jebolan La Academia yang sudah diakui oleh Eropa. Melihat kestabilan yang mereka miliki, mungkin Boca Juniors dan River Plate harus mulai gigit jari.

Khusus untuk Martinez, dirinya memilih Inter Milan karena pengaruh Milito. “Diego [Milito] menceritakan pengalamannya bersama Inter Milan. Bagaimana ia berhasil memanangkan Liga Champions di sana. Dia adalah idola saya, tentu ada keinginan untuk mengikuti jejaknya,” aku Martinez.

“Tapi saya tidak berusaha melewati Milito. Bagi kami, apa yang sudah ia perbuat sangatlah penting. Ia juga masih sering memberi saran dan mendukung kami semua,” tambahnya.

Mengakhiri musim 2018/2019, gelandang serang Racing, Matias Zaracho juga sudah masuk radar kesebelasan Eropa. Terutama dari Serie-A yang pernah merasakan jasa Centurion, de Paul, Martinez, dan Milito.