Alasan Dennis Bergkamp Tak Mau Terbang dengan Pesawat

Dennis Bergkamp adalah salah satu penyerang terbaik dunia. Ia tak pernah takut menghadapi bek macam apapun. Namun, ada satu hal yang membuatnya memilih menyerah: berpergian lewat udara.

Kisah Bergkamp yang takut terbang sudah menjadi rahasia umum. Ia bahkan mengubah julukan populer untuk orang-orang Belanda menjadi “The Non-Flying Dutchman”. Ketakutannya untuk terbang bukan cuma gimmick. Karena hingga saat ini pun, ia lebih memilih tinggal di rumah, ketimbang terbang jauh kalau tak penting-penting amat.

Dulu, Arsenal sering mendapatkan hasil buruk di pertandingan tandang Liga Champions. Alasannya? Karena absennya Bergkamp. Meski ia berusaha sebisa mungkin untuk menghadiri pertandingan lewat jalur darat.

Meski takut untuk terbang, pria kelahiran 10 Mei 1969 ini terbilang jarang membicarakan soal ketakutannya itu. Bisa jadi karena ia tak ingin mengingat trauma yang begitu menempel di kepalanya saat naik pesawat.

Awal Cerita Bergkamp Takut Terbang

Sebenarnya ada dua momen yang membuat Bergkamp begitu trauma untuk terbang dengan pesawat. Orang-orang merasa kalau keputusan Bergkamp untuk tak lagi berpergian lewat jalur udara karena insiden pada Piala Dunia 1994 silam. Namun, kenyataannya ada momen mengerikan yang terjadi lima tahun sebelumnya.

Insiden tersebut terjadi pada 1989 saat usianya 20 tahun. Ketika itu, Ajax Amsterdam terbang menuju Suriname untuk pertandingan amal. Namun, Bergkamp, bersama dengan Ruud Gullit dan Frank Rijkaard tak mendapatkan izin dari klub untuk ikut ke sana.

Naas, pesawat Surinam Airways jatuh di Paramaribo. Sebanyak 176 orang tewas, yang sebagian besar merupakan pesepakbola di Liga Belanda. Dua di antaranya adalah sahabat Bergkamp di Ajax, Lloyd Doesburg dan Virgall Joemankhan.

Karena kejadian itu, Bergkamp selalu was-was setiap naik pesawat. Ia begitu membencinya. Saat pesawat akan terbang, ia gemetaran dan keringat dingin membasahi tubuhnya.

Puncaknya terjadi pada Piala Dunia 1994 di Amerika Serikat. Jarak antar venue yang jauh membuat timnas Belanda harus terbang menggunakan pesawat.

Ada kepanikan besar di penerbangan timnas Belanda ketika mesin pesawat tiba-tiba mati. Namun, hal ini bisa diatasi kemudian. Tak berselang lama, masih di Piala Dunia, penerbangan timnas Belanda harus ditunda setelah salah seorang jurnalis Belanda bercanda kalau dia bawa bom di tasnya.

Gara-gara penerbangan ini, konsentrasi Bergkamp di Piala Dunia 1994 menjadi terganggu. Untungnya, ia masih bisa mengeluarkan penampilan terbaik dan menjadi top skorer Belanda.

Timnas Belanda pulang lebih cepat di perempat final. Klub Bergkamp, Inter Milan, memintanya untuk kembali ke klub maksimal 10 hari kemudian. Kembalinya Bergkamp ke Inter diiringi dengan cedera dan kelelahan. Ini yang bikin ia menjalani musim buruk di musim 1994/1995 dengan hanya mencetak lima gol dari 26 penampilan. Hal ini pula yang membuatnya dijual ke Arsenal.

Di Arsenal, Bergkamp menyertakan klausul kalau ia tak akan terbang lagi. Sebuah klausul yang membuatnya harus kehilangan 100 ribu paun.

Butuh Bantuan Psikiater

Ketakutan Bergkamp soal terbang baru dikeluarkan secara publik saat ia debut buat Arsenal. Ia bahkan menyebut kalau dirinya butuh bantuan psikiater untuk masalahnya ini.

“Aku punya masalah ini dan aku harus hidup dengannya. Aku tak bisa melakukan apapun, ini adalah soal psikologis dan aku tak bisa menjelaskannya. Aku belum terbang dengan pesawat selama dua tahun,” kata Bergkamp.

“Federasi Belanda menunjukkan rasa simpatinya, begitu pula dengan Arsenal sejauh ini. Aku mempertimbangkan bantuan psikiater. Aku tak bsia terbang. Aku hanya diam membeku. Aku juga panik. Gangguan ini dimulai sehari sebelumnya saat aku tak bisa tidur,” ucap pemain dengan 79 caps buat timnas Belanda ini.

Pada 2013, dalam otobiografinya, Bergkamp juga menceritakan kondisinya ini. Ia menyebutkan kalau terbang dengan pesawat kecil saat bersama Inter adalah alasan utama di balik fobianya ini.

“Adalah pesawat kecil yang menjijikkan yang tetap berada di awan dan bergoyang sepanjang waktu. Saat melihat keluar, yang Anda lihat hanyalah putih atau abu. Dan tak ada ruang di sana. Di dalam pesawat begitu penuh dan membuatku klaustrophobik,” tulis Bergkamp.

“Anda tak punya ruang untuk pindah dan anda hanya duduk di sana, gemetaran sepanjang jalan. Itu membuatku merasa begitu mengerikan dan aku mulai membangun semacam keengganan untuk terbang yang membuatku sadar: ‘Aku tak ingin melakukan ini lagi.”

“Ini menjadi sangat buruk. Aku akan melihat ke langit selama pertandingan tandang untuk melihat seperti apa cuacanya. Apakah ada awan yang datang? Kadang-kadang aku disibukkan oleh penerbangan pulang saat aku bermain bola. Kondisi itu macam neraka.”

Takut terbang bukan berarti Bergkamp baru terbang sesekali. Ia sudah mengalami terbang dengan berbagai macam pesawat. Mau yang besar, sedang, atau yang kecil sekali. Ia pun sudah mengalami berbagai macam turbulensi. Dan karena itu, ia tak ingin terbang lagi. Selamanya.