Lagi-lagi Watford. Musim 2018/2019 ini seakan tak ada habisnya untuk membahas bagaimana impresifnya penampilan tim asuhan Javi Gracia. Tak hanya memikat hati publik karena menjadi giant killer pada kompetisi Premier League musim ini, konsistensi The Hornets juga melampui ekspektasi banyak pihak di musim ini.
Troy Deeney dkk., memastikan satu tempat di final Piala FA setelah mampu menumbangkan Wolverhampton Wanderers, klub yang juga banyak menyita perhatian pecinta sepakbola Inggris di musim ini.
Mentalitas sparta ditunjukkan para pemain Watford pada laga semifinal melawan Wolves (7/4). Dalam laga tersebut, Watford yang sempat tertinggal dua gol pada 10 menit awal, mampu membalikkan keadaan pada babak extra time. Mereka seakan tahu kalau bertarung habis-habisan di kompetisi berformat kejuaraan, seperti Piala FA akan lebih sebanding untuk diperjuangkan. Mengapa demikian?
Peruntungan Watford mengubah nasib
Kedatangan Gino Pozzo ke Watford pada 2012 silam tentu memiliki alasan kuat. Langkah pengusaha asal Udine tersebut untuk menetap di Inggris serta menjual bisnis keluarganya pada 2008 dan secara total menginvestasikannya kepada bisnis sepakbola adalah salah satu bukti totalitasnya membawa Watford ke level yang lebih tinggi.
Banyak yang menduga bahwa langkah klan Pozzo mengambil alih Watford sebagai langkah bisnis semata, tanpa ambisi untuk berprestasi. Namun agaknya publik lupa, keterlibatan Pozzo di Udinese dan Granada membawa perubahan besar.
Di era kepemilikan Pozzo sejak pertengahan 80-an, Udinese mampu bertransformasi dari klub Serie-B menjadi klub papan tengah Serie-A yang sesekali mewakili Italia di ajang Eropa. Begitupun dengan Granada yang tadinya berlaga di divisi ketiga Spanyol,Tercera, namun mampu berlaga di La Liga hingga akhirnya dijual Pozzo pada 2016.
Mimpi Watford untuk bertransformasi sebagai tim juara di era Gino Pozzo tentulah tidak mudah. Sejak didirikan pada 121 tahun lalu, tepatnya 1898, Watford bisa dikatakan klub yang nihil gelar. Selama setengah abad aktif berkompetisi, mereka betah bermain di kompetisi divisi dua kebawah di Inggris.
Reputasi Watford barulah mencuat ketika pada musim 1982/1983 berhasil menduduki posisi runner-up English First Division, kompetisi tertinggi di Inggris. Saat itu di bawah Watford tengah dimiliki oleh penyanyi kondang, Sir Elton John dan dibesut oleh Graham Taylor yang membawa Watford promosi setahun sebelumnya. Di era kepemilikan Elton John (1976-1987), Watford disulap dari tim divisi empat menjadi tim yang berlaga di kompetisi top Inggris.
Karena itulah, pendukung Watford setidaknya perlu optimis akan masa depan Watford bersama Gino Pozzo. Tak hanya itu, kini mereka berpeluang meraih trofi penting pertama sepanjang sejarah klub. Momentum yang tentunya dinantikan publik Watford sejak lama.
Hantu kegagalan tiga dekade silam
Usai berhasil berlaga di kompetisi Eropa melalui posisi dua di liga pada musim 1982/1983, pada musim berikutnya Watford hampir saja memenangi major trophy pertamanya andai tidak dikalahkan Everton dengan skor 0-2 pada partai final Piala FA 1983/1984. Pencapaian tersebut hingga kini masih menjadi pencapaian tertinggi bagi klub berseragam kuning-hitam.
Tiga dekade lebih berselang, Watford akhirnya memiliki kesempatan kedua untuk mengubah nasib. Kali ini lawan mereka adalah Manchester City, kesebelasan yang baru saja menjuarai Premier League dengan mencatatkan 98 poin.
Langkah Watford yang berhasil melaju ke babak final musim ini akhirnya melampui pencapaian mereka musim 2015/2016 silam tatkala berhasil melaju ke semifinal. Saat itu langkah mereka harus terhenti di Piala FA karena dikalahkan Crystal Palace dengan skor 2-1.
Laga final Piala FA melawan Manchester City terlihat seperi misi yang mustahil bagi Watford. Dalam 10 kali pertemuan Watford dengan City, mereka selalu kalah dari kesebelasan peraih 5 trofi Piala FA tersebut. Sejarah juga tak memihak mereka: Watford belum pernah mengalahkan Manchester City selama 30 tahun terakhir.
Kenyataan yang tentunya sulit bagi Watford. Bayang-bayang kegagalan final Piala FA pada tiga dekade silam sedikitnya memberikan tekanan kepada mereka. Selain faktor sejarah, lawannya nanti di atas kertas akan lebih diunggulkan.
Namun, sudah menjadi tugas sang pelatih, Javi Gracia untuk memotivasi anak asuhnya. Gracia adalah salah satu mastermind dari gemilangnya performa Watford di musim ini. Kini, Gracia dan anak asuhnya memiliki satu kesempatan lagi untuk mengubah nasib, mengubah sejarah tim kebanggaan masyarakat Hertfordshire.
Ujian kepemimpinan sosok Troy Deeney
Di lapangan hijau, ada satu nama yang krusial di tengah menanjaknya performa Watford: Troy Deeney. Seorang pemimpin di lapangan, andalan dalam mencetak gol, juga pemain paling senior bagi Watford. Deeney dan Watford sudah menjadi nama yang tak bisa dipisahkan. Pemain yang memperkuat Watford sejak 2010 ini akan diuji kepemimpinanya untuk membawa trofi bagi The Hornets.
Sepak terjang Deeney hingga saat ini juga membawa cerita menarik. Striker yang telah memperkuat Watford di 341 laga tersebut memiliki lika-liku panjang dalam kariernya. Pada 2012 silam, ia sempat masuk penjara selama dua setengah bulan akibat tindakan kekerasan di sebuah klub malam. Usai kejadian tersebut, performa Deeney melesat bagaikan roket. Sejak musim 2012/2013, Deeney selalu menjadi top scorer bagi Watford. Ia pun menjadi sosok pemimpin yang berkarakter tangguh di lapangan bagi rekannya di lapangan.
Lolosnya Watford ke final juga dikomentari Deeney dengan rendah hati.
“Kami bukan (tim) yang paling berbakat. Tapi semua tentang kerja keras,(dan) keinginan. Anda telah melihat kami – tertinggal 2-0 dan banyak tim akan menyerah. Tapi kami terus berjalan.”
Deeney adalah salah satu cerita from zero to hero. Dan musim ini waktu yang tepat baginya untuk membuktikan bahwa kerja keras dan keinginan seluruh elemen di klub untuk menjadi juara menjadi terwujud.
Pozzo, Gracia, dan Deeney berpeluang mencatatkan namanya dalam sejarah Watford. Mereka kelak akan dikenang sepanjang masa oleh publik Watford bila berhasil nantinya.
Watford banyak mencuri hati para penikmat sepakbola di musim ini, apalagi jikalau mereka mampu mencatatkan sejarah baru dengan mengangkat satu trofi sebagai penutup musim yang manis.