Sebuah skenario gila terjadi di La Liga pada musim 2018/2019. FC Barcelona mungkin tengah nyaman di puncak klasemen. Hingga pekan ke-26, mereka memiliki keunggulan tujuh poin dari pesaing terdekatnya, Atletico Madrid.
Namun, perebutan gelar juara bukanlah perbincangan utama di sepakbola Spanyol saat ini. Melihat pemandangan di papan atas La Liga, ada dua kesebelasan yang sejatinya bukanlah penghuni zona kompetisi Eropa.
Ketika Athletic Club, Villarreal, dan Real Sociedad, kesulitan mendapatkan jatah kompetisi Eropa yang biasa mereka raih, dua kesebelasan muncul sebagai pengganti. Mereka adalah Alaves dan Getafe.
Getafe tengah berusaha mencatat sejarah dengan lolos ke Liga Champions 2019/2020. Sementara Alaves berpeluang besar untuk mengulang prestasi mereka pada 2000/2001 dengan lolos ke Liga Europa.
Terakhir kali kesebelasan berjuluk Babazorros itu tampil sebagai wakil Spanyol di kancah antar klub Eropa, kompetisi Liga Europa masih bernama Piala UEFA. Itu adalah pengalaman pertama mereka tampil di kompetisi antar klub Benua Biru. Namun, Jordi Cruyff dan kolega sukses melangkah hingga partai puncak sebelum ditekuk Liverpool dengan skor tipis 4-5.
Dalam perjalanannya, mereka berhasil mengalahkan kesebelasan-kesebelasan yang lebih berpengalaman seperti Inter Milan dan Kaiserslautern sampai dijuluki sebagai ‘El Glorioso Matagigantes’ atau Sang Agung Pembunuh Raksasa.
Mental tersebut masih tertanam dalam diri pemain-pemain Alaves meski sudah bertahun-tahun berlalu. Menurut data Transfermarkt, Alaves bahkan lebih ditakuti Atletico Madrid dibandingkan Athletic Club dan Real Sociedad yang sama-sama berstatus perusak tatanan La Liga.
Atleti hanya berhasil delapan kemenangan dari 17 pertemuannya dengan Alaves (47,1%). Sementara ketika bertemu Real Sociedad, Atleti berhasil memenangkan 50% pertemuan mereka.
Setelah lolos ke final Piala UEFA 2000/2001, El Glorioso Matagigantes ingin melanjutkan momentum. Mengubah status tim mereka dari penghuni papan tengah ke bawah La Liga menjadi wakil tetap Spanyol di kancah Eropa. Hal tersebut dapat dilihat dari pergerakkan transfer Alaves di musim-musim selanjutnya.
Masih mengandalkan kreasi Jordi Cruyff dan ketajaman Ivan Alonso yang didatangkan pada musim sebelumnya, Jose Manuel Pardo atau Mane, pelatih Alaves ketika itu menggunakan masa jual-beli pemain untuk memperkokoh lini pertahanannya.
Bek muda asal Argentina, Fabricio Coloccini didatangkan dari AC Milan dengan status pinjaman. Begitu juga dengan Chris Kanu dari Ajax Amsterdam yang masih berusia 21 tahun. Tenaga-tenaga pemain muda itu kemudian dikombinasikan dengan pengalaman mantan bek Middlesbrough, Gustavo Lombardi, serta bek senior Atletico Madrid, Carlos Llorens.
Dari sembilan pemain baru yang didatangkan Mane, lima diantaranya berposisi sebagai bek. Alhasil, Alaves menjadi salah satu kesebelasan dengan pertahanan terbaik di La Liga 2001/2002. Mereka hanya kebobolan 44 kali dari 38 pertandingan, sama dengan Real Madrid yang menduduki peringkat dua klasemen.
Sayangnya, Mane gagal mengantarkan Alaves kembali ke kompetisi Eropa. Mereka berakhir di peringkat tujuh klasemen, memiliki selisih lima poin dari Real Betis yang mendapat tiket terakhir Piala UEFA.
Pada musim berikutnya, 2002/2003, ambisi yang sama masih menjadi tuntutan utama publik Mendizorrotza. Mane menyanggupi tuntutan itu dan memboyong dua pemain Barcelona ke Kota Alava. Mereka adalah bek berpengalaman, Abelardo Fernandez dan penjaga gawang, Richard Dutruet. Penyerang Valencia asal Romania, Adrian Ilie juga menambah opsi Mane di lini depan.
Tapi bukannya mengalami peningkatan posisi, Alaves justru terdegradasi dari La Liga. Total 35 poin dari 38 pertandingan membuat mereka duduk di peringkat 19 klasemen akhir divisi tertinggi sepakbola Spanyol tersebut.
Kondisi Alaves semakin parah setelah Abelardo memutuskan pensiun dan tak melanjutkan kontraknya bersama klub. Abelardo menggantung sepatunya dengan perasaan sakit dan kecewa. Ia merasa tidak layak membela Alaves karena sering mengalami masalah lutut yang telah menghatuinya sejak di Barcelona.
“Kesebelasan ini sudah mengeluarkan banyak uang untuk mendatangkan ‘pemain bintang’ dari Barcelona. Mereka pantas mendapat pemain lain dibandingkan diri saya yang sudah tidak bisa lagi bermain di level tertingginya,” kata Abelardo.
“Saya sudah 14 tahun menjalani karir profesional. Ada masanya ketika saya meraih hal-hal prestisius seperti gelar dengan Barcelona dan panggilan ke tim nasional Spanyol. Namun di Alaves, dalam waktu singkat saya sudah dua kali mengalami cedera lutut,” tambahnya.
Kembali di Masa Sulit
Setelah pensiun, Abelardo kembali ke klub yang membesarkan namanya, Sporting Gijon. Mulai dari mengasuh talenta-talenta muda di tim B, hingga membawa Sporting promosi ke La Liga pada 2015.
Abelardo memang dikenal memiliki catatan positif mengasuh talenta muda. Memiliki status sebagai mantan punggawa Barcelona dan Sporting yang terkenal dengan akademi mereka ikut membantu Abelardo memoles nama-nama tenar seperti Rachid Aït-Atmane, Jony, dan Alen Halilovic.
Ketika Alaves yang memiliki rataan usia pemain 24,1 tahun terpuruk di dasar klasemen La Liga 2017/2018, Abelardo dipanggil Alaves untuk kembali ke Kota Alava. “Abelardo Fernandez resmi ditunjuk sebagai kepala pelatih Alaves. Dia kembali menjadi bagian dari klub setelah sempat jadi pemain di sini. Ia akan menangani tim hingga akhir musim,” tulis pihak Alaves.
Ketika itu, Abelardo merupakan pelatih ketiga yang ditunjuk Alaves dalam satu musim. Sebelumnya, pelatih asal Italia, Gianni De Biasi, didepak setelah dua bulan menggantikan Luis Zubeldia. Target Abelardo adalah meloloskan Alaves dari degradasi.
Nyatanya, bukan hanya meloloskan diri dari degradasi, Alaves berhasil bertengger di posisi 14 klasemen akhir La Liga 2017/18. Mengalahkan Sevilla dan Athletic dalam prosesnya. Ia pun akhirnya diberikan kontrak tambahan selama satu musim.
Abelardo Siap Membayar Utang
Kesempatan ini tak disia-siakan Abelardo. Sejak awal musim 2018/2019, Alaves main dengan lini belakang solid dan serangan balik yang mematikan. Begitu mematikan serangan balik mereka, Real Madrid, Villarreal, dan Valencia sampai mati kutu dibuatnya.
Sebelum libur musim dingin 2019, Alaves mengalahkan Real Sociedad dan mengakhiri putaran pertama 2018/2019 dengan duduk di peringkat lima klasemen La Liga. Namun, Abelardo tetap mengaku bahwa target mereka tak lebih dari lolos degradasi.
Seiring berjalannya waktu, performa Jony dan kawan-kawan memang menurun. Mereka bahkan hanya meraih satu kemenangan sepanjang Bulan Januari 2019. Namun setelah menelan tiga kekalahan beruntun pada pekan ke-20, 21, dan 22, Alaves kembali bangkit.
Pada pekan ke-26, mereka mengalahkan Villarreal dengan skor 2-1 dan memperkokoh posisi di zona Eropa dengan keunggulan empat poin dari kesebelasan-kesebelasan lain yang juga mengincar tiket Liga Europa, Valencia dan Real Betis.
Musim 2018/2019 hanya menyisakan 12 pertandingan lagi. Alaves masih harus bertemu Atleti, Sevilla, Barcelona, Athletic Club, Real Sociedad, dan Valencia sebelum menutup musim dengan menjamu Girona. Tetapi mereka sudah mulai bermimpi untuk main di kompetisi Eropa musim depan.
“Sejujurnya kami hanya berpikir untuk bertahan di liga. Namun performa musim ini jadi bukti bahwa ambisi bisa mengalami perubahan. Sekarang kami ada di zona Liga Europa, akan sangat menyenangkan jika mengakhiri musim di depan publik sendiri dan memberi tiket kompetisi Eropa kepada mereka,” aku gelandang Alaves, Mubarak Wakaso.
El Glorioso Matagigantes sebenarnya masih bisa terdepak dari zona Eropa. Apalagi lawan-lawan berat masih menunggu. Tapi, ini mungkin satu-satunya kesempatan bagi Abelardo membayar utangnya 16 tahun lalu. Tidak sebagai pemain, tapi kepala pelatih yang dapat membawa Alaves kembali ke kancah Eropa.
Dengan begitu, tak akan ada lagi anggapan bahwa dirinya tidak layak membela Alaves.