“Bal-balan opo iki kok pakai naik gunung segala,”
***
Ketika pertama kali diumumkan sebagai pelatih anyar tim nasional, Shin Tae-Yong langsung menunjukkan kalau dia adalah sosok yang begitu tegas dan menekankan pentingnya sikap disiplin. Siapa yang berani macam-macam dengannya, maka pintu tim nasional akan tertutup bagi si pemain tersebut.
Yang terbaru, dua pemain U-19 harus menerima kalau diri mereka dicoret oleh Shin. Serdy Ephy Fano dan Ahmad Afhridrizal harus mengakhiri langkah mereka untuk berseragam timnas karena dicoret dari skuad yang akan berangkat ke Kroasia. Keduanya ketiduran dan terlambat sekitar 10 menit.
Bukan kali ini saja ketegasan Shin terlihat. Soal nutrisi saja, ia menekankan larangan bagi para pemainnya untuk tidak makan gorengan. Selain itu, mereka juga diminta untuk melapor menu makanan apa yang mereka makan pada hari itu. Sesi latihan juga ditingkatkan menjadi sehari tiga kali. Ini semua untuk membuat para pemain timnas siap bermain 90 menit. Seringkali kita mengeluh kalau kekalahan timnas dikarenakan kelelahan fisik. Inilah yang ingin diselesaikan Shin serta para staf.
Sayangnya, ketegasan Shin masih kerap dipandang berbeda. Tidak sedikit yang menyebut kalau mantan pelatih timnas Korea Selatan ini berlebihan. Bahkan, sikap tegas Shin sempat membuat hubungannya dengan PSSI dan Indra Sjafri menjadi keruh.
Kehadiran seorang pelatih memang menghadirkan pro dan kontra. Ada yang bisa menerima, namun ada juga yang tidak. Akan tetapi, apa yang dilakukan Shin sebenarnya masih tergolong wajar jika dibandingkan dengan sosok Anatoli Polosin.
***
Kutipan di paragraf awal adalah reaksi dari mantan pemain tim nasional, Kas Hartadi yang dituturkan oleh rekan setimnya, Sudirman, ketika menyikapi latihan keras yang dilakukan Polosin terhadap mereka. Timnas saat itu digenjot fisiknya selama tiga bulan dan salah satunya adalah dengan mendaki gunung. Latihan timnas saat itu mirip dengan kegiatan militer.
Polosin memiliki keluhan yang sama dengan Shin yaitu fisik. Menurut dia, timnas hanyalah sekumpulan pemain yang bisa bermain satu babak saja. Begitulah reaksi jujur Polosin ketika melihat pertandingan Galatama. Karena sepakbola berlangsung 90 menit plus 30 jika ada perpanjangan waktu, maka Polosin ingin para pemain memiliki fisik yang prima untuk bisa bermain selama dua jam.
“Ada kenangan yang saya ingat. Ketika latihan naik gunung di Medan, kebetulan yang mimpin adalah beliau dan dia ada di belakang saya. Saat itu saya lelah dan treknya curam ke bawah, jadi saya lari cukup pelan. Lalu beliau bertanya, ‘kenapa kamu lari pelan Aji?’ saya jawab kalau saya takut jatuh. Beliau kemudian berkata, ‘Kalau kamu jatuh itu justru bagus.’ Saat itu dalam hati saya berkata, ‘O pelatih rawon,” kata Aji di Bola.com.
Naik gunung hanya sebagian kecil dari cara Polosin menggembleng fisik pemain timnas. Ia juga pernah meminta para pemainnya lari di jalan tol. Di lapangan, mereka diminta lari keliling hingga belasan kali. Bahkan sampai harus berlari dengan menggendong rekan setimnya. Selain itu, menu latihannya pun sama seperti Shin yaitu sehari tiga kali. Bahkan ketika pemain sudah selesai latihan, masih ada sesi tambahan lari 15 menit. Semuanya demi mengubah mentalitas pemain timnas menjadi pemain yang berkarakter dan punya mental baja.
Ada pula Shadow Football yang juga menjadi ciri khas Polosin ketika melatih. Menu latihan ini adalah meminta para pemain timnas untuk bermain bola tanpa menggunakan bola. Metode aneh sempat mengundang pro dan kontra. Namun Polosin tetap jalan terus dengan metodenya.
“Kekonyolan” Polosin dalam melatih tidak berhenti sampai di situ. Saat latihan sudah menggunakan bola, asistennya yaitu Vadimir Urin meminta para pemain setidaknya menyentuh bola sebanyak 150 kali selama 90 menit. Hal ini semata-mata agar semua pemain bisa lebih banyak terlibat dalam permainan di atas lapangan.
Tidak mungkin pemain timnas tidak tersiksa dengan gaya melatih Polosin. Fisik mereka benar-benar dibuat habis dengan metode latihan yang menurut Aji seperti Kopassus tersebut. Saking lelahnya, pemain tampak sulit untuk melakukan aktivitas lain seperti mandi. Mereka hanya mau langsung istirahat agar tenaganya bisa cepat pulih keesokan harinya.
Sudirman bahkan mengaku kesulitan menjalani metode latihan seperti ini. Ia sempat mencret saat menjalani sesi naik turun bukit. Ia bahkan sampai tidak bisa menahan diri hingga terpaksa buang air besar karena fisiknya sudah terkuras. Dua pemain lain yaitu Singgih Pitono dan Miki Tata kerap berada di belakang ketika berlari karena takut kentutnya terdengar. Ada juga pemain yang muntah karena tidak tahan lagi dengan metode latihan Polosin.
Tidak sedikit pula yang tidak tahan dan pergi meninggalkan pelatihan karena tidak tahan dengan Polosin. Ansyari Lubis, Fachri Husaini, Jaya Hartono, dan Eryono Kasiba adalah nama-nama yang pergi meski beberapa dari mereka memutuskan pergi bukan karena Polosin seperti yang dikatakan Fachri kalau saat itu dia ada masalah keluarga.
Belum lagi keputusan manajer timnas saat itu, IGK Manila yang menyetujui tidak dipanggilnya Ricky Yacobi meski alasannya bukan karena metode latihan Polosin. Nama-nama yang pergi ini digantikan oleh pemain muda seperti Rochi Putiray, dan Widodo C Putro. Menurut Polosin dan Urin saat itu, pemain muda Indonesia memiliki kemauan untuk berjuang bagi tim nasional.
“Yang dia butuhkan hanya pemain yang mau bekerja keras dan mengikuti program yang sudah dia buat. Dia tidak butuh pemain yang punya nama besar,” kata Sudirman.
Tekanan juga sempat mengarah ke Polosin setelah genjotan fisik pemain timnas tidak terlihat pada uji coba. Mereka babak belur. Bergantian timnas ketika itu kalah dari klub Austria, Cina U-23, Mesir, Korea Selatan, dan Malta. Mereka kebobolan 17 gol dan hanya bisa membuat satu gol. Namun saat itu hasil uji coba tidak penting karena yang penting adalah kiprah mereka di Sea Games nanti.
Hasil genjotan keras Polosin pelan-pelan mulai terlihat. Fisik pemain meningkat dengan pesat. VO2Max mereka langsung setara dengan orang-orang Eropa. Bahkan beberapa dari pemain ini bisa berlari 4 kilometer hanya dalam waktu 15 menit.
Puncaknya terjadi pada Sea Games 1991 di Manila. Indonesia membabat semua lawan di fase grup dengan kemenangan. Dua lawan di semifinal dan final yaitu Singapura dan Thailand kalah melalui adu penalti. Bahkan Thailand kaget melihat pemain timnas saat itu begitu kuat untuk bermain selama 120 menit.
“Kami disiksa sama Polosin. Terus terang kalau kami sebenarnya tidak punya pola dalam bermain, apalagi teknik. Yang kami punya hanyalah fisik,” kata Peri Sandria.
Semua berkat andil dari Polosin. Ketegasan dan kerja keras yang sudah ia lakukan berhasil membawa timnas Indonesia meraih medali emas keduanya. Rasa lelah, suka, duka, dan air mata yang keluar saat itu membuahkan hasil dalam wujud sekeping medali emas. Semoga saja sentuhan Shin Tae Yong juga bisa menghasilkan prestasi layaknya Polosin mengingat hingga saat ini timnas masih kering prestasi di level Asia termasuk belum pernah juara Piala AFF dan tidak pernah meraih emas sejak era kepelatihan Polosin.