El Burrito, begitulah julukannya. Tingginya hanya 5 kaki 7 inci, sekitar 170 cm. Dengan postur yang kecil itu, dia bisa bergerak lincah di lapangan hijau, bak seekor keledai. Ariel Ortega memang dikenal karena kecepatan, mobilitas, dan dribbling-nya. Tak hanya itu, keterampilan tipuan bolanya juga luar biasa, dengan gerakan dan liukan yang cerdas. Itulah mengapa dia dijuluki sebagai ‘Si Keledai Kecil’.
Bakat besar Ortega itu pun tersaji di Primera Division Argentina musim 1994/1995, tiga tahun setelah debut profesional bersama River Plate di usia 17 tahun. Sepanjang Torneo Apertura alias turnamen pembukaan musim itu, mereka tampil gemilang. Di antara kebintangan Enzo Francescoli yang mulai pudar, Ortega muncul mencuri perhatian, dan bahkan disebut-sebut jadi penerus Diego Maradona.
Dalam laga di markas Boca Juniors pada 11 Desember 1994, sebelum partai terakhir, bek lawan tak mampu lagi untuk tidak menjatuhkannya dalam kotak penalti. Francescoli sukses mengeksekusinya, dan lalu Ortega menegaskan dengan sebuah gol dari tendangan setengah voli. River Plate akhirnya sukses menjuarai turnamen tanpa sekalipun kalah, pertama kalinya dalam 93 tahun sejarah mereka.
Ditemukan Daniel Passarella
Lebih 20 tahun lalu sebelum rekor itu, Ortega lahir di kota kecil yang tandus dekat perbatasan Bolivia, Ledesma di Provinsi Jujuy, pada 4 Maret 1974. Ayahnya hanya seorang tukang las, tetapi dia tumbuh dengan meniru bintang River Plate, Ramon Diaz. Setiap hari, bocah kecil itu menggiring bola di tanah berbatu di luar rumahnya, hingga di usia 16 tahun dia mengikuti sebuah turnamen sepakbola lokal.
Turnamen itu rupanya digelar oleh River Plate untuk menemukan bakat-bakat muda. “Ada 500 orang (yang mengikutinya),” kenang Ortega dilansir These Football Times. “Saya mengambil bola dan tidak memberikannya kepada siapa pun. Saya bermain dengan baik dan disuruh untuk kembali.” Daniel Passarella yang saat itu melatih sepertinya telah melihat sesuatu yang istimewa dalam diri Ortega.
Ortega mengawali karier bersama Los Millonarios pada 1991, dan langsung membalas kepercayaan Passarella dengan mencetak gol kemenangan pada debutnya melawan Platense. Musim itu, dia ikut membawa River Plate menjuarai Apertura. Termasuk pada 1994, total ada empat trofi ini yang telah dimenangkannya, hingga menjadi bintang saat keluar sebagai jawara Copa Libertadores 1995/1996.
Dribbling-nya selalu berhasil memukau penonton di Estadio Mas Monumental, baik sebagai winger maupun gelandang serang. Banyak pemain lawan yang tak berdaya, setelah dikelabui pergerakan Ortega, dan dia kemudian melesat untuk mengirim umpan matang pada rekannya, atau langsung menyarangkan bola di gawang lawan. Sejak itu, hanya masalah waktu sebelum Eropa memanggilnya.
Kegagalan Besar di Eropa
Musim dingin 1997, Ortega pindah ke La Liga Spanyol, gabung dengan Valencia. Sayangnya, sosoknya yang ekspresionis kesulitan beradaptasi dengan pelatih Claudio Ranieri yang disiplin. Sebagai seorang playmaker yang mudah meledak-ledak, dia gagal mengikuti instruksi, dan membuat cepat dimusuhi manajer baru itu. Tak lama, bangku cadangan jadi akrab dengannya, dan lalu dikeluarkan dari skuat.
Saat berangkat ke Piala Dunia 1998 di Prancis, Ortega telah dianggap tidak lagi dibutuhkan oleh klub. Namun di usianya yang masih 24 tahun, dia membuktikan dirinya masih penting; berkontribusi dalam hampir 80 persen gol timnya. Hanya saja, penampilan luar biasanya itu dirusak selembar kartu merah dalam perempat final kontra Belanda, setelah Ortega melakukan diving dan menanduk kiper lawan.
Setelah dibuang Valencia, Ortega ditampung oleh Sampdoria di Serie A Italia. Lagi-lagi, kariernya tak berjalan mulus; mereka turun ke Serie B. Sang gelandang pun memilih untuk menyeberang ke Parma. Gelar Supercoppa Italia 1999 terlihat jadi awal yang baik baginya. Tapi, klub ketiganya dalam tiga tahun itu ternyata mendatangkan lebih banyak frustrasi, dan dia kembali angkat kaki di akhir musim.
Ortega sempat kembali ke Argentina selama dua musim dan menjuarai Torneo Clausura (turnamen penutup), sebelum balik lagi ke Eropa. Saat itu, Manchester United disebut-sebut berminat padanya. Tapi, Fenerbahce yang mendapatkannya, meski sebenarnya dia berharap tidak pernah pergi. “Sejak saat pertama saya menyadari bahwa negara ini bukan untuk saya,” tulis Ortega dalam otobiografi.
Perjalanannya di Eropa kali ini berakhir lebih rumit. Dia tak pernah balik ke Turki dan malah terbang ke Buenos Aires setelah membela timnas dalam uji coba pada 11 Februari 2003. Pada akhirnya, FIFA menjatuhkan denda 11 juta Dolar AS dan melarang Ortega bermain hingga Desember 2003. Seorang bintang yang dulunya diharapkan jadi penerus Maradona, kini di usia 29 tahun malah tak punya klub.
Kembali ke Argentina
Pelatih Americo Gallego, asisten Passarella di periode pertama Ortega bersama River Plate, kembali datang menyelamatkannya, setelah sebelumnya juga memulangkan sang playmaker setelah gagal di Italia. Kali ini, Gallego membawa Ortega ke Newell’s Old Boys, dan dia langsung membalas dengan trofi juara Apertura 2004. Dua tahun kemudian, Passarella datang memanggilnya pulang ke Belgrano.
Sayangnya, Ortega sudah terlanjur ‘rusak’. Meski sempat membantu River Plate merebut Clausura 2008, dia sudah terjebak dalam ketergantungan alkohol, dan beberapa kali menjalani rehabilitasi. Musim 2008/2009, klub meminjamkannya ke Independiente Rivadavia di Primera B Nacional. Lalu, sempat kembali tampil untuk La Banda dua musim, tapi dikirim lagi ke All Boys di Clausura 2011, dan Defensores de Belgrano di Primera B Metropolitana 2011/2012, sebelum pensiun di usia 38 tahun.
Sumber: These Football Times