Atlanta United, Klub Kemarin Sore yang Mengubah MLS

Foto: Dirty South Soccer.

Dalam beberapa tahun terakhir, peserta Major League Soccer (MLS) mulai sering mengirim talenta mereka ke Eropa. Miguel Almiron memecahkan rekor pembelian Newcastle United. Tyler Adams pindah dari New York ke Leipzig. Hingga Zack Steffen diboyong Manchester United dari Columbus Crew.

“Ini adalah bukti bahwa MLS punya pemain-pemain berkualitas,” kata Eksekutif MLS Todd Durbin. Ucapan Durbin itu tidak salah. Sejak dulu, MLS selalu memiliki pemain berkualitas. David Beckham, Thierry Henry, Frank Lampard, Steven Gerrard, Andrea Pirlo, siapa yang bisa meragukan kualitas mereka?

Namun kedatangan pemain seperti Robbie Keane, Wayne Rooney, dan Zlatan Ibrahimovic membuat MLS dicap sebagai liga pensiunan. Mereka yang sudah terlalu tua untuk bersaing di Eropa, mencari uang tambahan untuk menikmati masa tua mereka di Amerika Serikat.

Trend ini sudah mulai menurun sejak Sebastian Giovinco didatangkan Toronto FC. Tapi saat itu MLS masih menjadi pembeli. Bukan pihak penjual yang bisa mengirim penjaga gawang 23 tahun seperti Steffen ke Manchester City. Penjualan Steffen yang ditebus delapan juta euro oleh the Citizens bahkan berpengaruh besar untuk Columbus Crew.

https://twitter.com/City_Watch/status/1075181497047502848

“Lewat penjualan Steffen, kami percaya bahwa talenta-talenta di akademi Crew berguna buat tim ini. Entah itu sebagai pemain di tim utama atau untuk disodorkan ke luar negeri,” kata Direktur Teknis Columbus Crew Pat Onstad.

Padahal jika menarik kembali sejarah Steffen, ia bukanlah pemain binaan Crews. Pemain binaan terbaik Crews mungkin hanya John Stern yang berhasil jadi legenda Birmingham City setelah meninggalkan MLS.

Pasalnya, memiliki pemain yang bisa pergi ke Eropa adalah hal sulit untuk para peserta MLS. Apalagi di tengah asumsi publik yang melihat liga mereka sebagai tempat pensiun. Kecuali mereka memiliki hubungan dengan klub Eropa, seperti RedBull dan New York City FC, mengirim talenta ke Eropa adalah hal yang jarang terjadi.

Semua baru benar-benar diakui setelah Atlanta United masuk ke dalam daftar peserta liga. Didirikan pada April 2014, Atlanta United bisa disebut ‘anak kemarin sore’. Bahkan untuk level MLS sekalipun.

Pertimbangan Finansial

Foto: The Athletic

Klub baru di MLS, biasanya mencari nama lewat pemain bintang. Kaka ke Orlando City atau Didier Drogba didaratkan Montreal Impact. Semua untuk prestasi dan juga meningkatkan nilai jual klub. Mengingat sepakbola bukanlah yang utama di sana.

The Five Stripes justru mendatangkan pemain seperti Andrew Carleton yang sudah terbukti di tim nasional usia muda Amerika Serikat. Atau pemain berusia 20-23 tahun dari Amerika Selatan seperti Hector Villalba dan Miguel Almiron.

Sekalipun ada pemain veteran, misalnya, Kenwayne Jones, atau Carlos Carmona, mereka hanya untuk opsi sementara. Bukan jangka panjang. Lagipula Jones dan Carmona levelnya juga ada di bawah popularitas Rooney atau Ibrahimovic, jadi tak terlalu memakan bannyak uang.

“Bayangkan sebuah klub MLS mendatangkan pemain dari Premier League yang tengah ada di penghujung karier. Mereka mengeluarkan enam juta dollar per tahun untuk membayar pemain itu. Dikontrak tiga tahun, sama saja 18 juta dollar. Tapi karena mereka sudah tua, klub tidak mendapat timbal balik,” buka Presiden Atlanta United Darren Eales.

Foto: Sky Sports

“Lebih baik kita mendatangkan pemain dari Amerika Selatan. Mungkin harus membayar mereka 10 juta dollar sebagai biaya transfer. Tapi kemudian diberi gaji dua juta dollar per tahun. Ia membela klub selama tiga tahun, kita mengeluarkan 16 juta dollar dan masih bisa menjualnya,” lanjut Eales.

Pemahaman inilah yang diterapkan Atlanta United sejak bergabung dengan MLS pada 2017. Hasilnya Miguel Almiron yang ditebus dengan harga 8,5 juta dollar dari Lanus, berhasil dipasarkan menjadi pembelian termahal Newcastle United. Almiron ditebus seharga 21,6 juta pauns (27,3 juta dollar).

Berawal dari sikap Atlanta United ini, kesebelasan MLS lainnya mulai mengikuti. “Peserta MLS lainnya pasti akan mulai mengikuti dan itu bukan masalah. Sebaliknya, itu baik untuk perkembangan sepakbola di negara ini. Saya sadar bahwa kita bisa menjual MLS sebagai liga berkembang,” kata Eales melihat pergerakan tim lain.

Pemikiran Jangka Panjang

Foto: Pro Soccer USA

Eales juga sadar bahwa Atlanta United tak akan bisa selalu mencuri talenta dari Amerika Selatan. Mereka perlu pemain asli dari akademi klub. Oleh karena itulah pelatih sekelas Tata Martino dan Frank de Boer ditunjuk olehnya.

Meski reputasi Martino sempat rusak di Argentina dan setidaknya kontroversial bersama Barcelona, ia juga bertanggungjawab atas kemunculan banyak talenta. Gabriel Heinze, Maxi Rodriguez, German Dennis, dan Juan Manuel Vargas semua debut bersamanya.

“Kami menunjuk pelatih sekelas Tata [Martino] untuk memaksimalkan fasilitas latihan yang ada. Kami baru membangun tempat latihan baru di Atlanta United,” kata Eales pada Juni 2018. Tata Martino pergi menangani Meksiko, Frank de Boer yang punya pengalaman di Ajax melanjutkan pekerjaannya.

Mantan nakhoda Crystal Palace itu mulai menerapkan gaya Ajax di akademi Atlanta United. “Semua harus mulai dari hal paling mendasar. Kemampuan teknis bukan untuk mengisi pos tertentu. Ada alasan mengapa di Ajax semua operan harus akurat. Mereka belajar untuk jadi seperti itu. Hasil dari pelajaran itulah yang kemudian disebut sebagai DNA,” kata de Boer.

Baru dibentuk pada 2017, akademi Atlanta United sudah menjadi raja kompetisi di kelompok umur U19 dan U17. Pada 28 Mei 2019, U-14 mengikuti jejak senior mereka dnegan menjuarai Piala Manchester City. Tim tuan rumah ikut menjadi korban Atlanta United dengan skor tipis 0-1.

Jebolan akademi biasanya akan bermain di United Soccer League (USL) bersama ATL2. Tetapi pada waktu yang tepat, mereka dapat naik ke tim senior. Mikey Ambrose, George Bello, dan Jon Gallagher bahkan sudah masuk dalam rancangan de Boer di musim 2019.

Kesebelasan lainnya mungkin bisa mengikuti. Columbus Crew mungkin bisa mengirim Zack Steffen ke Manchester City. Tapi Atlanta United adalah pihak yang memulai tradisi ini dan punya gambaran jelas untuk masa depan mereka. Jangan heran jika dalam waktu dekat pemain seperti Ezequiel Barco akan kembali dikirim ke Eropa dari Atlanta.