Musim 2018/2019 akan jadi ajang pembuktian untuk Diego Simeone. Sejak menangani Atletico Madrid pada Desember 2011, Simeone harus rela melihat Rojiblancos kehilangan begitu banyak pemain kunci. Mulai dari Diego Godin hingga Antoine Griezmann semuanya pergi meninggalkan Wanda Metropolitano.
Tentu ini bukan pertama kalinya Atletico Madrid kehilangan pemain-pemain terbaik mereka. Bukan pertama kali juga Simeone melihat bintang utama timnya pergi. Tapi ia tidak pernah ditinggal pemain inti sebanyak ini.
Ketika David De Gea, Sergio Aguero, dan Diego Forlan pergi, Simeone masih punya Tiago, Antonio Lopez, Alvaro Dominguez serta Raul Garcia menetap di Ibu Kota Spanyol. Waktu Dominguez pergi, Diego Godin sudah siap memimpin tim.
Saat ditinggal Radamel Falcao, Diego Costa sudah beringas di depan gawang lawan bersama Arda Turan. Costa hengkang, Turan tidak kerepotan karena Mario Suarez dan Koke sudah matang menyokong lini tengah. Turan cabut, Simeone tinggal memaksimalkan Griezmann yang sudah didatangkan satu musim sebelumnya dari Real Sociedad.
Foto: Gianluca Di Marzio
Atletico Madrid di bawah arahan Simeone tidak pernah kehilangan begitu banyak pemain yang bisa merusak kestabilan tim. Tapi sekarang ia kehilangan Godin sebagai pemimpin, Juanfran dan Felipe Luis selaku penerjemah kepada pemain-pemain muda, dan tumpuan lini depan, Griezmann.
Biasanya, Simeone selalu satu langkah lebih cepat. Akan tetapi menjelang 2019/2020, dia hanya punya Jose Gimenez selaku pengganti Godin. Sisanya masih dalam buruan. Musim kompetisi 2019/2020 jelas akan menjadi tantangan terberat Simeone di Atletico Madrid.
Beruntung dirinya sudah memiliki pengalaman yang lebih berat lagi ketika menangani Catania di Serie-A. Begitu berprestasi dan setia Simeone bersama Rojiblancos, terkadang catatannya bersama Catania sering terlupakan.
Catania masuk tertahan di Serie C setelah kasus pengaturan skor yang menimpa mereka pada musim 2014/15. Namun sebelum turun jauh dari gemerlap sepakbola Italia, Gli Etnei mewarnai Serie-A selama delapan musim berturut-turut (2006-2014). Bukan kesebelasan papan atas, sering kali terancam degradasi. Tapi berkat ancaman degradasi itulah mereka berhasil mendatangkan Simeone ke Angelo Massimino.
Datang dengan Beban dan Ekspektasi
Foto: Zimbio
“Saya sangat berterimakasih kepada pihak klub yang telah memberikan saya kesempatan kembali ke Italia. Ini adalah tantangan yang menarik dan penting bagi karier manajerial saya. Saya akan memastikan tim ini bermain dengan baik,” kata mantan pemain Inter Milan dan Lazio itu.
“Kami mengganti Marco Giampaolo karena merasa 22 poin yang dikoleksi sejauh ini terlalu sedikit. Padahal kami percaya bahwa Catania diisi oleh pemain-pemain berkualitas. Paling kuat sepanjang sejarah klub. Melihat posisi kami ada di papan bawah dan harus berjuang meloloskan diri dari degradasi adalah sesuatu yang menyakitkan,” ungkap CEO Catania, Pietro Lo Monaco.
Simeone hanya sekali meraih kemenangan dalam lima pertandingan pertamanya bersama Gli Etnei. Tapi dirinya memang sudah dikenal sebagai sosok yang memiliki potensi sebagai kepala pelatih sejak masih ada di lapangan.
“Sejak dulu dia sudah terlihat seperti pelatih di atas lapangan. Saya tahu dia akan menjadi hebat,” kata Luigi Simoni yang menangani Simeone selama di Inter Milan. Simoni mungkin dapat disebut sebagai sosok yang memperkenalkan Simeone pada paham Catenaccio dan jadi panutan utamanya sebagai pelatih. Hal ini diperlihatkan Simeone di Catania.
Sebelumnya, Catania bermain dengan 4-3-3 di bawah asuhan Giampaolo. Namun Simeone mengubahnya menjadi 4-3-2-1. Tak jauh berbeda, tapi cukup memberikan dampak positif dalam permainan tim.
Memberi Kestabilan dalam Waktu Singkat
Foto: La Sicilia
Bersama Giampaolo, Catania terlalu terbuka. Jika mereka menang, kemenangan itu hanya diraih dengan hasil tipis. Waktu unggul, keunggulan itu sering gagal dipertahankan. Ketika kebobolan duluan, sangat sulit bagi Maxi Lopez dan kolega bangkit dari keterpurukan.
Dengan sistem 4-2-3-1 arahan Simeone, Catania main rapat, cepat dan memaksimalkan serangan balik. Kuncinya hanya satu: Tahu bahwa pertandingan belum berakhir dan terus bermain semaksimalkan mungkin.
Jika hal itu terus diterapkan, pada akhirnya Lopez dan kawan-kawan bisa mendapatkan konsistensi di atas lapangan. Sama seperti konsep utama Gigi Simoni waktu menangani Simeone. Pada akhirnya Catania yang ditinggal Giampaolo dengan 22 poin dari 20 laga, berhasil mengakhiri musim di papan tengah Serie-A (12).
Terakhir diasuh Giampaolo, Gli Etnei unggul tiga poin dari penghuni degradasi. Simeone berhasil membantu mereka unggul 10 poin dari para penghuni Serie-B 2011/2012.
“Bersama Catania saya mendapat pelajaran penting karena kita selalu berjuang. Berusaha agar kita tidak turun dari Serie-A. Hal itu tidak terjadi di Atletico Madrid. Berkat Catania, saya justru bisa mengembangkan tim ini [Atleti],” aku Simeone. “Saya seperti tak pernah meninggalkan Catania dan Serie-A. Saya berharap hubungan ini terjaga selama mungkin,” lanjutnya.
Musim 2019/2020 mungkin tantangan terberat Simeone selama mengasuh Atletico Madrid. Tapi jika dirinya bisa memberikan kestabilan kepada pemain-pemain Catania yang baru ia kenal di tengah situasi sulit, mustahil dirinya gagal menjaga hal itu di Atletico Madrid.