Bebalnya Serie A Soal Rasisme

Foto: Watson.ch

Romelu Lukaku menjadi korban rasisme ketika Inter Milan bertandang ke Cagliari. Setelah mencetak gol pada menit ke-72 lewat sepakan penalti, mantan striker Manchester United tersebut hanya berdiri dan menatap penonton di belakang gawang. Di sana, nyanyian rasis berasal.

Usai  pertandingan, Lukaku menyebut kalau apa yang terjadi kepadanya seolah menunjukkan kalau sepakbola kini tengah berjalan mundur. Apalagi, kejadian ini masih beriringan dengan rasis yang juga menimpa Tammy Abraham dan Paul Pogba di Premier League.

“Banyak pemain pada bulan lalu yang mendapatkan serangan rasial. Aku juga mendapatkannya kemarin,” kata Lukaku. “Sepakbola adalah permain yang harusnya dinikmati dan kita tak menerima jenis diskriminasi apapun yang akan membikin malu sepakbola.”

“Saudara-saudara, ini 2019. Ketimbang maju ke depan, tampaknya kita tengah alami kemunduran. Aku berharap federasi sepakbola di seluruh dunia bereaksi kelas dalam segala macam kasus diskriminasi.”

“Platform media sosial (Instagram, Twitter, Facebook) harus bekerja lebih baik juga dengan klub sepakbola, karena setiap hari Anda melihat setidaknya satu komen rasis dalam postingan seseorang dengan kulit berwarna. Kami telah mengatakan ini selama bertahun-tahun tapi tetap tak ada tindakan,” tulis Lukaku di akun Instagramnya.

Perlakuan rasis fans Cagliari justru didukung oleh kelompok suporter Inter Milan. Dalam pernyataannya, Curva Nord, menyatakan kalau fans sepakbola Italia tidaklah rasis, karena pelecehan verbal itu adalah bagian dari pertandingan.

Isi Surat Fans Inter Milan untuk Romelu Lukaku

Hi Romelu. Kami tengah menulis ini untuk Anda atas nama Curva Nord, ya kelompok yang menyambutmu saat kedatanganmu di Milan. Kami benar-benar meminta maaf kamu berpikir apa yang terjadi di Cagliari adalah perlakuan rasis.

Anda harus mengerti bahwa Italia tak seperti negara di Erupa Utara lain di mana rasisme adalah masalah SERIUS. Kami mengerti kalau itu terlihat seperti rasis buatmu, tapi itu tak seperti yang terlihat.

Di Italia, kemu menggunakan sejumlah “cara” untuk “membantu tim kami” dan untuk mencoba membuat lawan kami gugut, bukan untuk rasis tapi untuk mengacaukan mereka. Kami adalah organisasi fans yang multietnik dan kami selalu menyambut pemain dari manapun. Meskipun demikian, kami selalu menggunakan “cara itu” dengan pemain tim lawan di masa lalu, dan mungkin juga melakukannya di masa depan.

Kami tidak rasis dan begitu pula dengan fans Cagliari.

Anda harus mengerti bahwa di semua stadion di Italia, orang-orang mendukung tim mereka tapi di waktu yang sama, mereka juga bersorak ke lawan mereka, bukan untuk rasis tapi untuk “membantu” tim mereka sendiri.

Tolong pertimbangkan perilaku fans Italia ini sebagai bentuk rasa hormat karena faktanya mereka takut padamu atas gol yang mungkin Anda cetak ke gawang tim mereka, dan bukan karena mereka membencimu, atau karena mereka rasis.

Rasisme betulan adalah cerita yang benar-benar berbeda dan semua fans sepakbola Italia tahu benar.

Saat Anda mendeklarasikan kalau rasisme adalah masalah yang harus dilawan di Italia, Anda hanya membantu penindasang melawan semua fans sepakbola termasuk kami, dan Anda berkontribusi untuk membuat sebuah masalah yang sebenarnya tak ada di sini, tidak seperti yang terjadi di negara lain.

Kami amat sensitif dan inklusif dengan semua orang. Kami menggaransi Anda bahwa dalam organisasi kami di sini, banyak penggemar dengan ras berbeda atau penggemar yang datang dari bagian lain di Italia juga menggunakan cara ini untuk memprovokasi lawan, bahkan ketika ras mereka sama atau berasal dari area yang sama.

Tolong bantu kami mengklarifikasi apa itu rasisme dan fans Italia tidaklah rasis.

Perlawanan terhadap rasisme yang betulan harusnya dimulai di sekolah, bukan di stadion. Fans hanyalah fans, dan mereka berlaku dengan cara berbeda ketika di dalam stadion, berbeda ketika mereka ada di kehidupan nyata.

Kami menggaransi Anda bahwa apa yang mereka lakukan atau katakan kepada pemain lawan dengan ras berbeda bukanlah sesuatu yang akan mereka katakan kepada seseorang yang mereka temui di kehidupan nyata.

Fans Italia mungkin tidaklah sempurna dan kami bisa mengerti rasa frustrasimu dengan perasaan ini, tapi mereka tidaklah benar-benar rasis.

Sekali lagi…

Selamat datang, Romelu.

Rasisme Bukan Hal Baru di Italia

Musim lalu, penyerang Everton, Moise Kean, juga mengalami situasi yang sama. Uniknya, ia mendapatkannya ketika Juventus bertandang ke Cagliari. Kala itu, pihak Serie A memutuskan untuk tak memberikan sanksi. Serie A hanya menyebut kalau perilaku fans Cagliari adalah tindakan tercela.

Setahun sebelum kasus yang menimpa Kean, fans Cagliari juga memberikan serangan rasial pada pemain Juventus lain, Blaise Matuidi. Akan tetapi, Ketua Serie A tidak melakukan tindakan apapun.

Pada 2017, gelandang Pescara, Sulley Muntari, memutuskan meninggalkan lapangan setelah diserang secara rasial, lagi-lagi oleh fans Cagliari. Anehnya, justru Muntari yang disanksi oleh Seria A untuk tak boleh bermain selama satu pertandingan. Muntari bahkan dikartu-kuning setelah meminta wasit menghentikan pertandingan.

Sementara itu, Cagliari menolak bahwa rasisme terjadi di Sardegna Arena tersebut. Cagliari pun tak punya niat untuk mengidentifikasi, mengisolasi, atau mencegah, para penggemar yang rasis karena itu bertentangan dengan nilai-nilai yang dipromosikan Cagliari.

Serie A Bukan Tempat yang Tepat untuk Pemain Non Kulit-Putih

Serangkaian hal yang terjadi di Italia, utamanya soal rasisme, memang membikin pesepakbola lain mestinya gentar. Kecuali, mereka memang siap dan menjadikan hal tersebut sebagai tantangan dalam karier sepakbola mereka. Namun, tentu semua ada batasnya, termasuk ajakan mantan striker Newcastle United, Demba Ba.

Demba Ba memberikan reaksi atas pernyataan para penggemar Inter Milan. Demba Ba menyatakan kalau pesepakbola berkulit hitam harus meninggalkan Liga Italia.

Demba Ba mencuit: “Dan inilah alasan mengapa aku memutuskan untuk tak bermain di sana meskipun aku bisa. Tentu saja, itu [pemain yang pergi] tak akan menghentikan kedunguan dan kebencian mereka, tapi setidaknya mereka tak akan memengaruhi ras lain.”

Striker Liverpool, Rhian Brewster, yang mengklaim kalau dirinya juga menjadi korban serangan rasial pada 2017, ikut mencuit: “Setiap hari ada kasus baru, sungguh memalukan melihat contoh lain dari serangan rasial. Tetap kuat Romelu Lukaku. Kami akan memenangi pertarungan ini suatu hari nanti.”

Rival Lukaku di Premier League, Vincent Kompany, menyatakan Lukaku adalah korban dari sesuatu yang memalukan, bukan cuma di sepakbola, tapi juga di masyarakat.

“Ini kembali pada siapa yang mestinya membuat keputusan terhadap isu tersebut dan yang ada di organisasi inilah terletak masalahnya. Rasisme yang sesungguhnya terletak apda fakta tak ada dari institusi itu yang punya perwakilan yang bisa benar-benar mengerti apa yang dialami Romelu,” kata Kompany.

“Anda berurusan dengan kumpulan orang-orang dan pembuat keputusan yang bilang padanya bagaima ia harus berpikir dan rasakan tentang ini ketika Anda tak punya pembuat keputusan yang pernah megalami hal serupa dalam hidupnya.”

“Itu adalah isu yang sebenarnya. Kalau Anda melihat dewan di UEFA atau FIFA, Liga Italia, atau Liga Inggris, ada kekurangan kebhinekaan yang sesungguhnya di sana. Kalau Anda tak memiliki keragaman di tempat yang punya kuasa seperti dewan klub, maka Anda tak akan bisa membuat keputusan yang tepat soal sanksi, sesederhana itu.”