Belajar Dari Degradasi, Fulham Kembali Promosi

Scott Parker, hanya butuh semusim untuk membawa fulham kembali ke Premier League (Foto: Yahoo)

Hanya permintaan maaf yang keluar dari mulut Scott Parker ketika Fulham kalah dengan skor telak 4-1 atas Watford pada 2 April 2019. Hasil yang membuat Fulham tidak hanya menderita kekalahan kesembilan secara beruntun namun juga mengakhiri kiprah mereka di Premier League yang hanya semusim setelah mereka kembali promosi.

“Saya sama sedihnnya seperti penggemar yang lain. Sudah 12 bulan sejak kami kembali dan tahun ini kami sangat mengecewakan semua orang. Mereka yang datang adalah mereka yang membayar untuk melihat kami bermain. Namun, tim belum pantas mengembalikan apa yang layak mereka (suporter) dapatkan. Saya minta maaf,” kata Parker.

Pensiunnya Fulham saat itu memang mengejutkan. Tidak ada yang memprediksi kalau mereka hanya bertahan semusim. Hal ini tidak lepas dari aktivitas mereka di bursa transfer yang cukup aktif. Mereka mempermanenkan Aleksandar Mitrovic. Sosok Jean Michael Seri yang diincar klub besar bahkan memilih untuk memperkuat The Cottagers. Mereka juga meminjam Andre Schurrle dan Sergio Rico. Amunisi yang seharusnya cukup untuk membawa mereka setidaknya bertahan di Premier League.

Parker memang tidak bisa disalahkan. Saat itu, ia baru saja memimpin tim yang sudah berantakan bersama Slavisa Jokanovic dan Claudio Ranieri. Namun Parker sebenarnya pasrah kalau dia akan dilengserkan lagi seperti dua manajer sebelumnya. Ia merasa ikut memiliki tanggung jawab karena tidak bisa memberikan awal yang bagus bagi karier kepelatihannya.

Wajar jika Parker merasa sedih. Sebelum menjadi pelatih mereka, Parker pernah merasakan pahitnya degradasi saat musim pertama bersama Fulham sebagai pemain. Itulah kali pertama mereka terdegradasi setelah 13 tahun bertahan di Premier League. Sebelumnya, ia juga pernah terdegradasi bersama West Ham pada 2011. Total sudah tiga kali ia merasakan pahitnya terdegradasi.

“Saya pernah terlibat dalam dua degradasi sebagai pemain dan itu memiliki kemiripan dengan apa yang saya lihat sekarang. Saya belajar dari pengalaman itu, dan itu akan membantu saya,” ujarnya saat pertama kali diangkat menjadi pelatih Fulham menggantikan Ranieri.

Tidak mudah memang bagi sebuah kesebelasan untuk kembali degradasi setelah sempat bermain di Premier League. Sebelum final, ia bercerita kalau pemainnya hancur ketika dipastikan turun divisi musim lalu. Ia menyebut Fulham saat itu seperti tidak memiliki gairah dan motivasi untuk bangkit.

“Apa yang membuat saya senang adalah bisa melihat para pemain berhasil bangkit. Satu tahun sebelumnya, kami berada dalam kondisi parah dan tidak punya mentalitas. Saya mendorong tim ini untuk bangkit setiap hari dan saya bangga melihat perkembangan selama 12 bulan terakhir,” kata Parker.

Inilah yang mungkin membuat Parker tidak bisa berkata-kata pada Rabu dini hari kemarin. Ia hanya bisa mematung sambil menahan haru yang terlihat jelas dari wajahnya. Ia hanya bisa pasrah ketika para stafnya memeluknya. Hasil belajar dari pengalaman pahitnya terdegradasi membuahkan hasil dengan kesuksesan mereka mengalahkan Brentford dalam perebutan satu tiket terakhir menuju Premier League. Kepercayaan dari pemilik berhasil dibayar tuntas. Fulham hanya bertahan satu musim di Championship Division.

Gemblengan Parker ini yang kemudian membawa Fulham finis pada posisi empat Championship Division musim ini dan berhak main di play off. Setelah berhasil menyingkirkan Cardiff pada semifinal, ia langsung meminta para pemainnya untuk memastikan bekas luka degradasi musim lalu bisa ditambal. Gairah itu kemudian terlihat ketika Fulham mendominasi pertandingan melawan Brentford yang harus ditentukan melalui perpanjangan waktu tersebut.

Keberhasilan Fulham meraih tiket promosi tidak lepas dari kebijakan yang dilakukan oleh Parker. Salah satunya adalah dengan melepas para pemain yang sebelumnya dibeli mahal. Michael Seri, Andre Schurrle, Zambo Anguissa, tidak masuk dalam skema Parker dan dilepas entah dipinjamkan atau tidak dipermanenkan. Gantinya, mereka merekrut pemain-pemain yang non bintang.

Permasalahan transfer ini yang menjadi kritik mantan pemain mereka, Danny Murphy, beberapa bulan lalu. Menurut pria botak ini, Fulham seharusnya bisa lebih selektif memilih pemain dan tidak boleh terpengaruh dengan nama si pemain. Selain itu, mayoritas rekrutan musim lalu memang tidak punya pengalaman bermain di kompetisi Inggris.

“Anda tidak boleh lagi membangun tim dengan pembelian drastis. Tim ini sekarang berada di sekitar saya dan selama 15 bulan memimpin kami semakin membaik. Kami butuh tambahan pemain karena kami masuk ke liga terbesar, tapi tidak akan ada pembelian yang mewah seperti sebelumnya,” katanya menambahkan.

Beruntung, manajemen Fulham saat itu percaya terhadap mantan pemain Charlton Athletic ini. Tidak adil rasanya menghakimi Parker hanya dari beberapa pertandingan. Oleh karena itu, sosok Parker dianggap paling tepat karena memiliki keberanian menerima tantangan.

“Scott adalah manajer yang berani. Sejak saat itu, hari demi hari, di sesi latihan hingga hari pertandingan, kami tampil semakin baik. Scott memiliki tantangan untuk mengembalikan Fulham ke Premier League. Saya percaya Scott bisa menyelesaikan tugasnya,” kata pemilik Fulham, Shahid Khan.

Satu dekade lalu, Fulham dikenal sebagai salah satu kuda hitam di Premier League. Mereka gemar mengganggu kemapanan tim-tim besar. Mereka bahkan bisa melangkah ke final Europa League pada 2009/2010 dan sempat finis di tujuh besar. Inilah tantangan yang harus ditaklukkan oleh Parker seandainya ia mendapat kesempatan melatih di Craven Cottage lebih lama lagi.

Namun untuk sampai ke sana perlu proses yang tidak sebentar. Tantangan awal yang harus dilakukan oleh Parker pada musim depan adalah mempertahankan eksistensi mereka di Premier League. Ia tentu tidak mau merasakan pahitnya terdegradasi keempat kalinya selama bekerja di sepakbola.