Berbeda-beda tapi tetap satu, Bhinneka Tuggal Ika, itu semboyan Indonesia. Terpampang di kaki Sang Garuda yang menjadi lambang negara. Indonesia punya tempat khusus untuk semboyan itu mengingat tanah air diisi lebih dari 300 etnis. Namun, nilai itu tidak eksklusif untuk Indonesia saja. Luar negeri mengenalnya dengan istilah “Unity In Diversity”.
Istilah ini menjadi krusial dalam beberapa tahun terakhir. Mengingat beberapa kelompok ekstremis mulai bergerak memaksakan kehendak. Entah itu di Polandia, Amerika Serikat, Selandia Baru, ataupun Myanmar, semua punya kelompok ekstremis yang merasa golongan tertentu lebih tinggi dari lainnya.
Hal serupa juga terjadi di sepakbola. Piala Dunia 2018 misalnya, gelandang Jerman, Mesut Ozil, dipaksa gantung sepatu setelah berfoto dengan Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan menjelang pemilu di sana. Prancis juga mengalami hal serupa meski menjuarai turnamen sepakbola terbesar dunia tersebut.
Untuk mengurangi paham ekstrem sayap-kanan suporter Jerman melakukan kordinasi di setiap tribun stadion. “Ada perkembangan signifikan di sepakbola Jerman dalam masalah rasisme dan ekstremis sayap-kanan. Tentu masalah masih ada, namun upaya membangun solidaritas di tribun dan memerangi rasisme sudah terjadi di tribun,” tutur Michael Gabriel, kepala kordinator suporter di Frankfurt.
Frankfurt memiliki 13 kesebelasan sepakbola. Kesebelasan utama di sana adalah Eintracht Frankfurt, jawara DFB-Pokal 2017/2018 dan salah satu kuda hitam Eropa dalam beberapa tahun terakhir.
Kembali ke Kancah Eropa
https://www.youtube.com/watch?v=WShk31adaX4
Musim 2018/2019, Die Adler berpeluang mengakhiri musim dengan catatan sejarah dengan menjuarai Liga Europa. Per 2 Maret 2019, Eintracht masih harus menghadapi Chelsea pada partai semi-final sebelum bertemu Valencia atau Arsenal di partai puncak.
Jika lolos ke final dan menang, itu akan menjadi piala pertama Eintracht di kompetisi antar klub Eropa sejak 1979/1980. Saat itu mereka menjuarai Piala UEFA, mengandalkan Harald Karger di lini depan dan mengalahkan Aberdeen, Feyenoord, serta Bayern Munchen, dalam perjalanannya.
Kembalinya Eintracht menjadi salah satu kekuatan di sepakbola Jerman diawali oleh Niko Kovac yang hengkang ke Bayern setelah menyumbang piala DFB-Pokal untuk Die Adler. Akan tetapi, Kovac bukanlah alasan utama Eintracht berhasil menjuarai turnamen tersebut. Alasannya adalah multikulturalisme yang dianut oleh klub.
Eintracht hidup dalam nilai Bhinneka Tunggal Ika. Mereka bahkan merayakan keberagaman itu pada Maret 2018. Mengadakan acara bertajuk ‘Satu Dalam Warna Frankfurt’. “Klub ini hidup dalam perbedaan dan itu sudah jadi identitas kami sebagai tim sepakbola ataupun Kota Frankfurt. Kami selalu membuka tempat kami kepada dunia,” ungkap Wakil Presiden Eintracht Stefan Minden.
Pionir Pemain Asing di Jerman
Foto: Independent
Pihak klub bahkan membuat sikap ini sampai ke masalah personal. Saat pemilu di Jerman, Presiden Eintracht Frankfurt Peter Fischer memperingkatkan semua anggota klub untuk tak memilih perwakilan dari partai sayap-kanan, Alternative for German (AfD).
“Siapapun yang memilih mereka tidak memiliki tempat di Eintracht. Mendukung partai yang tak peduli pada hak asasi manusia dan juga bersikap rasis bukanlah nilai dari klub ini,” kata Fischer.
Beberapa pihak memprediksi Fischer akan kehilangan suara di kursi Presiden Eintracht karena ikut campur dalam urusan pribadi. Namun ternyata 99% suara didapatnya saat pemilihan presiden klub. “Semuanya ada bersama-sama mendungkung Fischer,” ungkap Minden.
Paham multikulturalisme itu juga diterapkan mereka di atas lapangan. Eintracht adalah salah satu kesebelasan yang pertama mendaratkan pemain asing di 1.Bundesliga. Willy Huberts mereka mendarat dari AS Roma pada 1963/1964, musim pertama Bundesliga.
Gelandang asal Austria itu membela Eintracht selama tujuh tahun sebelum pulang ke Austria. Setelah kepergian Huberts berbagai pemain asing lain mendarat di Kota Frankfurt. Sejak 2016/2017, Die Adler selalu menjadi kesebelasan 1.Bundesliga yang paling banyak dibela pemain asing. Setidaknya 20 pemain asing di Commerzbank-Arena tiap musimnya.
Fokus di Atas Lapangan
Foto: Bundesliga
Kovac memetik hasil dari paham Eintracht Frankfurt. Pada musim 2017/2018, mereka jadi kesebelasan pertama yang memainkan 11 pemain asing saat bertemu dengan 1.FC Koln.
“Fischer mungkin memiliki cara yang tidak biasa. Namun ia memiliki hasrat besar kepada klub. Namanya juga sering dinyanyikan di tribun suporter,” kata seorang suporter dan juga blogger Eintracht Frankfurt, Axel Hoffman.
Bhinneka Tunggal Ika jadi kunci Fischer memimpin Eintracht. “Kami diisi oleh orang-orang yang berasal dari latar belakang berbeda-beda. Eintracht Frankfurt harus menunjukkan hal itu. Mengedepankan perbedaan dan membuka pintu untuk semua orang,” kata Fischer.
Hasilnya, ketika AC Milan, Lazio, Chelsea, Arsenal, Tottenham, Liverpool, dan berbagai tim lain diselimuti kasus rasisme, fokus Eintract hanya ada di atas lapangan. Nama-nama Luka Jovic, Sebastien Haller, Ante Rebic, dan Evan N’Dicka pun menjadi perbincangan di dunia sepakbola.
“Kami membuktikan bahwa orang dari berbagai penjuru dunia bisa sama-sama hidup dan bekerja terlepas dari latar belakang mereka,” kata Fredi Bobic, anggota direksi sekaligus mantan penyerang tim nasional Jerman (1994-2004).