Bolton Wanderers Riwayatmu Kini

Kabar pemogokan pemain dan staf Bolton Wanderers selama 48 jam akibat gaji mereka yang tidak dibayarkan klub menjadi berita mengejutkan. Kiprah The Trotters setidaknya selama satu dekade lalu masih bisa kita jumpai di layar kaca. Berita ini juga seolah membawa ingatan kita kembali ke masa-masa eksistensi mereka di Premier League.

Sebagai klub yang berasal dari wilayah Greater Manchester, Bolton Wanderers seakan tenggelam bila dibandingkan dengan tetangganya, Manchester United dan Manchester City yang konsisten mengharumkan nama Manchester. Meskipun demikian, kiprah Bolton menarik untuk diingat para pecinta sepakbola.

Bolton dan Masa Kepelatihan Big Sam

Mungkin nama Samuel “Big Sam” Allardyce adalah nama yang terus melekat pada Bolton. Kesuksesan Allardyce untuk membawa Bolton rutin menjadi penghuni papan tengah Liga Inggris dan membawa klub yang bermarkas di University of Bolton (dahulu Reebok stadium) ke panggung Eropa adalah salah satu alasannya.

Bersama Bolton, Allardyce banyak meroketkan nama-nama yang belum pernah populer di kompetisi Inggris. Manajeman The Trotters juga cenderung royal masalah pembelian pemain di era Big Sam. Bayangkan, ketika itu mereka memiliki pemain sekaliber Youri Djorkaeff, Jay-Jay Okocha, dan Hidetoshi Nakata, di lini tengah, juga pemain sekaliber Gary Speed dan Kevin Nolan, serta Stelios Giannakopoulos, yang kelak memenangkan Piala Eropa bersama Yunani. Belum lagi nama-nama yang Allardyce roketkan seperti Joey O’Brien dan Abdoulaye Faye.

Di lini belakang, nama populer seperti Fernando Hierro dari Real Madrid, Bruno N’Gotty eks AC Milan, Vincent Candela (eks AS Roma), menghiasi daftar pemain belakang Bolton. Jangan lupakan juga nama Tal Ben Haim, bek timnas Israel yang kelak bergabung dengan Chelsea dan Manchester City.

Di lini depan, ada nama Kevin Davies yang menjadi pemain kunci dan mesin pencetak gol mereka. Nama seperti El-Hadji Diouf, Henrik Pedersen, dan Jared Borgetti, yang saat itu sedang meroket pun mengisi skuat Bolton.

Di bawah arahan Big Sam, Bolton menjadi tim yang mengedepankan efektifitas. Bolton dan Allardyce-nya tak lain adalah pengusung sepakbola tradisional Inggris yang jauh dari operan pendek ala Eropa daratan. Hasil di atas segalanya, persetan bermain indah!

Puncaknya, di musim 2004/2005 The Trotters mampu lolos ke Piala UEFA untuk pertama kalinya dan finis di posisi keenam di Premier League. Di musim berikutnya, Bolton juga mempertahankan konsistensinya untuk berlaga di Piala UEFA.

Sepeninggal Allardyce, momen yang paling diingat adalah ketika Bolton berhasil menahan imbang raksasa Bundesliga, FC Bayern di Allianz Arena dengan skor 2-2 di ajang Piala UEFA. Musim-musim berikutnya setelah itu, Bolton kepayahan di papan bawah hingga akhirnya harus terdegradasi dari Premier League musim 2011/2012.

Bolton: Contoh Lain Mismanajemen Keuangan Klub EPL

Kesulitan Bolton untuk mempertahankan statusnya sebagai salah satu peserta Premier League adalah persoalan klise, yakni kesulitan keuangan. Penerimaan finansial seperti hak siar televisi yang tak seimbang dengan pengeluaran gaji pemain, serta kegagalan mereka untuk memilih manajer yang tepat adalah pendukung kuat.

Hal tersebut dikatakan oleh Chris Mann, salah satu pemilik Sport Shield, konsorsium yang memiliki saham Bolton Wanderers. Utang yang ditinggalkan pemilik sebelumnya, Eddie Davies mencapai  200 juta paun. Sebuah kondisi yang tentunya sangat tidak sehat bagi siapapun yang akan menjalankan klub ini kelak.  Menurutnya, uang menjadi segalanya untuk menjalankan klub di era ini. Itulah mengapa alasan selalu ada klub-klub Ingris yang kesulitan bersaing atau sekadar mempertahankan eksistensinya di kompetisi teratas.

“Dengan uang yang menghancurkan sepakbola bagi semua kecuali setengah lusin klub top Liga Premier, kita mungkin tidak akan pernah kembali ke masa-masa di mana kita melihat sebuah klub seperti Bolton mencapai empat kali finis delapan besar berurutan dan melanjutkan untuk membuat marah beberapa elit Eropa,” ujar Mann mengutip interview FT.com

Hal tersebut juga menjadi alasan mengapa klub-klub seperti Leeds United, Portsmouth, dan Leicester City terjungkir dari persaingan Premier League saat itu. Beruntung, Leicester bangkit setelah akuisisi taipan asal Thailand. Pun dengan Leeds yang tengah bangkit usai akuisisi raja media asal Italia, Andrea Rarizzani. Sementara Portsmouth masih tertatih-tatih di League One.

Semakin Tenggelam di Kompetisi EFL

Dengan modal catatan baiknya saat bisa bertahan di papan tengah satu dekade lalu, seharusnya menjadi acuan bagi Bolton untuk sekadar menjadi tim penantang play-off tiap musimnya. Namun yang terjadi, Bolton malah semakin kesulitan bertaan dari gempuran tim-tim Championship yang merupakan sesama “macan tertidur” seperti mereka. Ditambah, suntikan dana dari pemodal asing di klub-klub peserta Championship semakin membuat Bolton kepayahan. Hal itu juga yang membuat klub langganan Premier League seperti Blackburn atau Wigan kini menjadi pesakitan di Championship.

Musim ini, Bolton harus rela berjuang untuk tidak terdegradasi ke League One, -divisi ketiga di Inggris musim depan. Skuat mereka hanya diisi nama-nama lokal, jauh dari kata ambisius. Jauh ketika harus membandungkan dengan skuat pada era Allardyce. Bolton Wanderers seakan harus “mengalah” pada keadaan.

Yang paling menyedihkan, Bolton pun kini terancam sanksi pengurangan 12 poin karena kesulitan keuangan yang mereka alami. Para pemain dan staf Bolton melakukan mogok berlatih karena gaji mereka yang belum dibayarkan selama 2 bulan.

Bagi klub penghuni papan tengah, kestabilan keuangan adalah di atas segala-galanya. Sehingga tak heran, pemain vital mereka harus dilepas, dan imbasnya kepada penampilan di lapangan, yang berujung penurunan performa. Bolton juga mengajarkan kita bahwa sepakbola tak melulu soal hasil di lapangan hijau. Lekas sembuh, Bolton!