Kompetisi Premier League musim 2019/2020 resmi berakhir. Siapa yang lolos ke Liga Champions dan terjun ke divisi Championship telah diketahui bersama akhir pekan lalu. Rasa duka menghampiri kubu Watford dan Bournemouth yang harus menemani Norwich turun divisi. Kedua tim ini sebenarnya cukup konsisten karena selalu bertahan selama lima musim beruntun.
Dua kesebelasan yaitu Leeds United dan West Bromwich Albion akan menggantikan tempat mereka musim depan. Satu tiket kemudian akan ditentukan melalui babak play off yang melibatkan empat tim. Dari empat kesebelasan tersebut, terselip satu nama yang berpotensi mengejutkan. Mereka adalah Brentford.
The Bees berpotensi menjadi debutan Premier League musim depan. Pasalnya, dari tiga tim lainnya hanya mereka yang belum pernah main di Premier League. Sisanya yaitu Fulham, Cardif, dan Swansea, pernah mentas pada kompetisi elite tersebut. Terakhir kali mereka merasakan bisa bermain di level tertinggi terjadi pada 1946/1947 atau pada 73 tahun yang lalu.
Sebenarnya, Brentford bisa lolos otomatis seandainya mereka bisa menang pada dua laga terakhir. Sayangnya, mereka kehilangan poin disaat WBA juga mengalami hal serupa. Meski begitu, pencapaian meraih posisi tiga sudah menjadi prestasi mengingat tradisi tim ini yang musim lalu hanya finis pada urutan ke-11. Selain itu, peluang untuk meraih satu tiket menuju Premier League juga masih terbuka andai bisa mengikis ketertinggalan 1-0 melawan Swansea pada leg kedua play off.
“Determinasi dan cara kami bermain sangat bagus. Mereka akan membalasnya pada hari Rabu nanti,” kata pelatih mereka, Thomas Frank.
Akan menjadi sebuah prestasi besar bagi Brentford apabila bisa kembali ke kompetisi tertinggi. Musim ini, penampilan mereka bisa dibilang cukup baik. Mereka adalah tim tersubur sepanjang kompetisi dengan raihan 80 gol. Selain itu, mereka hanya kebobolan 38 kali atau hanya kalah dari Leeds United sang pemuncak klasemen.
Yang lebih hebatnya lagi, Brentford melakukan itu semua dengan skuat yang mayoritas adalah pemain muda. Dari sebelas pemain yang memiliki jumlah penampilan di atas 30 musim ini, hanya empat nama yang usianya melebihi 23 tahun.
“Para pemain muda kami dipimpin dengan gemilang oleh mereka yang lebih tua terutama ketika melakukan kesalahan. Saya senang dengan ketenangan mereka (para pemain muda) ketika bertanding. Saya juga pernah meneliti kalau rata-rata usia kami adalah 20,1 tahun dan Stoke 24,5. Para pemain muda kami memiliki 2000 menit yang merupakan pencapaian luar biasa,” kata Frank saat timnya kalah dari Stoke beberapa waktu lalu.
Bisa Berprestasi Tanpa Akademi
Satu keunikan lain dari tim ini adalah mereka tidak punya tim akademi. Saat klub-klub mapan seperti Man United, Man City, Liverpool, dan Chelsea mengorbitkan beberapa bakat muda dari akademinya, maka Brentford menolak untuk melakukan itu. Sejak 2016, Brentford menutup akademi mereka yang berisi para pemain U-8 hingga U-21 dan menggantinya dengan tim Brentford B yang isinya adalah pemain rentang usia 17 hingga 21 tahun.
Pemilik Brentford, Matthew Benham, dan Co-Director mereka yaitu Rasmus Ankersen adalah otak dibalik perubahan yang mungkin tidak akan dilakukan tim elite sekalipun. Menurut mereka, akademi hanya sebuah beban baik itu dari segi perkembangan pemain maupun finansial.
“Adanya tim akademi itu hanya ada dua alasan. Pertama, Anda ingin menghasilkan pemain tim utama. Kedua, adalah Anda ingin mengeruk keuntungan. Kami tidak bisa melakukan kedua hal itu,” kata Ankersen.
“Saat pemain berusia 17 tahun dan menyelesaikan beasiswanya, dia akan menjadi pemain gratisan. Ketika kami memiliki pemain bagus seperti ini, maka klub besar akan datang dan hanya membayar dengan jumlah yang kami anggap sangat kecil. Pola pikir kita harus berbeda. Kita di London dengan banyak klub besar di sekitar Anda, jadi Anda tidak bisa melakukan cara yang sama dengan mereka,” tuturnya menambahkan.
Keduanya tidak mau terus mengucurkan dana jutaan paun untuk memfasilitasi tim akademi disaat mereka tidak bisa membina pemain tersebut dan mendapatkan keuntungan dari sana. Jadilah keduanya memakai cara baru yaitu dengan merekrut pemain-pemain berusia muda yang kehilangan tempat di klubnya masing-masing baik dengan transfer maupun gratisan. Nantinya, pemain-pemain ini akan berada di Brentford B.
“Jika kita mengambil orang-orang yang sudah disingkirkan ini, maka kita akan membuat keputusan strategis untuk membuat pemain ini bisa menjadi ladang bisnis di kemudian hari. Ini jauh lebih baik ketimbang menghabiskan dua juta paun setahun untuk sesuatu yang tidak berhasil,” kata Ankersen.
Cara yang dilakukan Brentford ini sudah membuahkan hasil. Chris Mepham adalah contohnya. Pemain ini dilepas Chelsea pada usia 15 tahun pada 2012. Brentford kemudian mengambilnya dan menempatkannya ke tim B. Pada Januari 2019, mereka melepas Mepham ke Bournemouth dengan nilai 12 juta paun. Sebuah transaksi yang sangat menguntungkan.
Striker Brighton saat ini yaitu Neil Maupay menjadi pemain yang menghasilkan banyak keuntungan bagi Brentford. Dibeli setelah tersingkir dari Saint-Etienne hanya dengan 1,6 juta paun, mereka sukses menjual Neil ke Brighton dengan harga 20 juta paun atau 20 kali lipat dari harga saat pertama kali dibeli.
Musim 2019/2020, Brentford menghasilkan keuntungan 15 juta paun dari penjualan Ezri Kounsa dan Romaine Sawyers. Mengingat mereka musim lalu melepas delapan pemain dengan transfer, maka keuntungan yang diraih bisa lebih dari jumlah tersebut. Cara ini juga membuat nilai skuad mereka juga pelan-pelan mulai meningkat.
Keunikan lain tidak berhenti sampai di sini. Brentford hanya menggunakan satu pelatih utama yaitu Thomas Frank. Untuk tim B, mereka akan ditangani oleh dua orang direktur olahraga. Untuk merekrut pemain sudah menjadi tugas duet Benham dan Ankersen.
Kini, Brentford berharap mereka bisa meraih tiket promosi ke Premier League. Mereka tinggal melewati dua laga saja sebelum memenuhi mimpinya tersebut. Akan sangat menarik jika Premier League musim depan akan diisi oleh satu tim yang tidak memiliki akademi sebagai struktur pembinaan mereka.