Dikenal sebagai tangan kanan Sir Alex Ferguson di Manchester United, Carlos Queiroz tampak kesulitan untuk melepaskan dirinya dari bayang-bayang manajer legendaris asal Skotlandia tersebut. Menangani Portugal selama dua tahun lebih (Juli 2008 – September 2010), bayang-bayang Ferguson masih melekat di punggung Queiroz.
Penampilan Cristiano Ronaldo dan kawan-kawan di Piala Dunia 2010 juga tidak membantu Queiroz. Selama di Afrika Selatan mereka hanya meraih kemenangan dari Korea Utara. 7-0 adalah skor terbesar dalam turnamen tersebut, tapi hasil imbang tanpa gol melawan Brasil dan Pantai Ganding tidak meyakinkan. Mereka lolos ke-16 besar hanya untuk dikalahkan tim rival, Spanyol, yang mengakhiri kompetisi sebagai juara.
Didepak dari kursi kepelatihan Portugal dan mendapat sanksi enam bulan karena masalah doping, Queiroz melanjutkan karirnya sebagai pelatih di Asia. Iran menjadi destinasi yang dipilihnya. Mendarat 4 April 2011, Carlos Queiroz bertahan di Team Melli selama delapan tahun.
Carlos Queiroz resmi mundur dari jabatan sebagai pelatih Tim Nasional Iran setelah gagal mengantar Serdar Azmoun dan kawan-kawan ke final Piala Asia 2019. Mereka ditekuk tiga gol tanpa balas oleh Jepang di semi-final. Peringkat tiga atau empat bukan lagi masalah, Queiroz sudah undur diri.
“And now, the end is here. I’m happy and proud to say, I did it my way,” ungkap Queiroz mengutip lagu dari penyanyi legendaris Frank Sinatra, ‘I did it my way’. 8 tahun adalah waktu yang lama, sama dengan masa Vicente del Bosque di Tim Nasional Spanyol (2008-2016). Marcelo Lippi yang identik dengan Tim Nasional Italia saja hanya menangani Azzuri dengan total empat tahun dalam dua periode berbeda.
Iran Kekuatan Asia
Team Melli sudah cukup dikenal sebelum Queiroz menginjakkan kakinya di sana. Terutama pada akhir tahun 90-an hingga awal 2000-an. Mereka sudah memiliki Ali Daei, salah satu jika bukan penyerang paling berbahaya di Asia. Daei pernah membela kesebelasan seperti Bayern Munchen dan Hertha Berlin serta menjadi pemain Asia pertama yang tampil di Liga Champions.
Kemudian Ali Karimi menyusul pada 2005. Sama seperti Daei, Jerman menjadi pelabuhan Karimi. Ia membela Bayern (2005-2007) dan Schalke (2011) di sana.
Pada 2006, giliran Javad Nekounam mencoba atmosfer sepakbola Eropa. Gelandang satu ini identik dengan kesebelasan dari Spanyol, CA Osasuna yang ia bela selama tujuh tahun dalam dua periode berbeda. Pertama pada 2006-2012, sebelum kembali ke El Sadar di 2014/15. Nekounam jadi salah satu pemain dengan penampilan terbanyak dalam sejarah klub (195). Hingga 30 Januari 2019, hanya tujuh pemain lain menggunakan kostum Los Rojillos lebih sering dari Nekounam.
Selama periode-periode ini, Iran selalu menjadi salah satu negara dengan peringkat FIFA tertinggi di Asia. Hanya Jepang, Korea Selatan, dan Arab Saudi yang berpeluang lebih baik dari mereka. Pada 2005, Iran bahkan menempati peringkat ke-19 FIFA. Lebih tinggi dari Kroasia, Belgia, Korea Selatan, hingga Cile.
Prestasi ini tidak lepas dari keberhasilan mereka meraih juara tiga di Piala Asia 1996 dan menembus Piala Dunia 1998. Piala Dunia pertama Iran sejak 1978. Absen di Korea-Jepang 2002, mereka kembali lagi pada 2006 setelah kembali menempati peringkat tiga di Piala Asia (2004). Dalam sela-sela 1998 hingga 2006, Iran juga dua kali dinobatkan sebagai tim terbaik Asia Barat (2000 & 2004).
Sayangnya, prestasi itu tidak bisa dipertahankan. Intervensi pemerintah pada akhir tahun 2006 dan isu politik di 2009 membuat prestasi Iran menurun. Untuk pertama kalinya sejak 1996, Iran keluar dari 50 besar FIFA.
Genarasi Emas Jilid II
Datang pada masa sulit, Queiroz harus berjuang sendirian untuk mengumpulkan talenta-talenta Iran. Pihak federasi tidak membantunya. Untungnya, Queiroz memang memiliki mata jeli untuk talenta sepakbola.
Memiliki resume sebagai dua kali juara Piala Eropa U20 (1989 & 1991), Queiroz merupakan sosok yang mengorbitkan Luis Figo, dan Rui Costa hingga dikenal dunia. Queiroz tak hanya mencari pemain di liga domestik, ia menyesuaikannya dengan peraturan FIFA: Lahir di Iran atau berdarah keturunan dan belum tampil di kompetisi resmi FIFA bersama negara lain.
Awalnya, skuat Iran arahan Carlos Queiroz sering mengalami perubahan. Pada dasarnya siapapun boleh akan diberi kesempatan untuk membela negara mereka oleh Queiroz. Ia bahkan pernah memanggil penjaga gawang yang tidak memiliki klub, Alireza Haghighi.
Tapi pada akhirnya nama-nama pemain yang merumput di Eropa tetap menjadi pilihan utama. Ashkan Dejagah, Reza Ghoochannejhad, Alireza Jahanbakhsh, dan Serdar Azmoun muncul dari pencarian bakat Queiroz.
Ghoochannejhad dipanggil pada 2012 saat masih berstatus pemain pinjaman Standard Liege untuk Saint-Truiden. Direbut dari Tim Nasional Belanda, Ghoochannejhad diboyong ke Inggris oleh Charlton Athletic setelah berstatus pemain Iran. Juli 2016, Heerenveen yang merupakan tempat Jahanbakhsh belajar sepakbola, kembali meminati jasa penyerang kelahiran September 1987 itu dan membawanya ke Eredivisie.
Sama seperti Jahanbakhsh, Dejagah juga direbut dari negara lain; Jerman. Sebelum debut dengan Iran, Dejagah membela Wolfsburg. Penampilannya di Bundesliga cukup impresif, ia terlibat dalam 13 gol Wolfsburg dari 26 penampilan di musim 2011/2012. Akan tetapi nama Dejagah baru populer setelah membela Fulham sekalipun setelah itu karirnya menurun.
Azmoun dipanggil Queiroz saat masih berstatus pemain rotasi Rubin Kazan. Setelah diberi kesempatan bersama Tim Nasional Iran, penampilannya di Liga Rusia ikut menanjak dan namanya mulai diincar berbagai klub tenar seperti Liverpool.
Sedangkan Jahanbakhsh dipanggil ketika masih berstatus pemain NEC Nijmegen. Aktif di tim nasional, karir Jahanbakhsh mencapai puncaknya setelah dinobatkan sebagai top skorer Eredivisie 2017/2018. Ia kini membela Brighton di Premier League.
Iran Penguasa Asia
Bermodalkan pemain-pemain tersebut, Iran berangkat ke Piala Dunia 2018 sebagai peringkat ke-37 dunia. Hanya Australia wakil AFC yang memiliki peringkat lebih tinggi ketika itu (36). Jepang dan Korea Selatan tidak terlihat di 50 besar dunia.
Tergabung dengan Maroko, Portugal, dan Spanyol, tim asuhan Queiroz bukan unggulan. Namun di pertandingan pertama, keberuntungan menyertai Queiroz. Penyerang Maroko, Aziz Bouhaddouz mencetak gol bunuh diri di menit akhir pertandingan dan memberikan tiga poin untuk Team Melli.
Bertemu dengan Spanyol, Iran juga tidak goyah. Mereka pada akhirnya kalah 0-1, namun penampilan gerilya anak-anak asuh Queiroz memikat hati. Saeid Ezatolahi bahkan sempat menyamakan kedudukan untuk Iran. Sayang gol tersebut dianulir video assistant referee (VAR).
Pada pertandingan lain, Portugal menang lawan Maroko. Artinya, masih ada peluang untuk Iran lolos ke fase gugur jika berhasil mengalahkan Cristiano Ronaldo dan kawan-kawan di laga pamungkas.
Mereka berhasil mengimbangi tekanan Portugal sejak menit pertama. Sialnya menjelang turun minum, tendangan spekulasi Ricardo Quaresma mengubah kedudukan menjadi 0-1. Iran terus berusaha mencari gol penyeimbang secepat mungkin. Tapi mereka baru dapat merealisasikan hal tersebut saat memasuki tambahan waktu babak kedua, lewat penalti Karim Ansarifard.
Hasil imbang Spanyol dengan Maroko tidak membantu karena pada akhirnya La Furia Roja dan Selecao lolos mengantongi lima poin. Satu lebih banyak dari raihan Iran (4).
Meski hanya tampil dalam tiga pertandingan di Piala Dunia, saat peringkat FIFA dirilis pada Agustus 2018, Iran naik ke posisi 32 dunia, tertinggi di zona Asia. Status penguasa masih dipegang Team Melli hingga saat ini. 4 kali FIFA merilis pembaharuan peringkat sejak Agustus 2018, tapi Iran arahan Queiroz masih tertinggi di Asia.
Lepas dari Bayang-Bayang Ferguson
Carlos Queiroz mungkin tidak berhasil menyumbangkan piala untuk Iran dalam delapan tahun menjabat sebagai kepala pelatih. Semi-final Piala Asia menjadi pencapaian terbaik dia dalam satu windu.
Akan tetapi Queiroz berhasil membawa Iran kembali menjadi kekuatan yang menakutkan di Asia. Setelah selama ini Jepang, Australia, dan Korea Selatan seperti mendapatkan tiket otomatis menjadi perwakilan Asia di turnamen antar negara, Iran ikut masuk dalam jajaran tersebut. Bukan sekedar alternatif belaka.
Queiroz tidak akan lagi diingat sebagai pelatih yang pernah menjadi tangan kanan Sir Alex Ferguson. Hal itu hanyalah catatan kaki. Kini Queiroz dikenal sebagai pelatih yang sukses menjadikan Iran penguasa Asia!