Anomali Stade de Rennais

Paris Saint Germain harus menelan pil pahit. Klub megabintang asal Prancis ini memang telah meraih gelar Liga Prancis, namun mereka harus menelan kekalahan yang menyesakkan di Stade de France, usai kalah dari Rennes di babak adu penalti. Tentu hal yang ironis bagi PSG yang dijagokan menang mudah di laga tersebut.

Namun mestinya bukan sebuah kejutan apabila Rennes sukses mengalahkan PSG. Terlebih, mereka dalam dua musim terakhir mengalami musim yang sensasional. Pemain berkualitas, dukungan manajemen klub, dan supporter luar biasa, membuat tugas dari Julien Stéphan jauh lebih mudah bagi Rennes.

Anomali Manajemen Rennes

Rennes sudah menjadi kesebelasan yang menakutkan. Semua bermula dari penjualan Moussa Dembele ke Borussia Dortmund dengan nilai transfer mencapai 15 juta Euro pada 2016. Namun keputusan tersebut ditentang oleh suporter karena para pemain pengganti yang doboyong Rennes tidak memuaskan.

Yang lebih mengesalkan, Rennes kemudian menjual Kamil Grosicki, Paul-Georges Ntep, dan Pedro Henrique, di bulan Januari, yang notabanenya adalah pemain penting bagi klub. Dampaknya, Rennes finis di posisi kedelapan di klasemen akhir. Christian Gourcuff, manajer yang cukup senior di sepakbola Prancis, mengancam mengundurkan diri di tengah musim. Namun Gourcuff tetap bertahan sebagai manajer hingga akhir musim.

Di balik petaka finish di posisi kedelapan klasemen akhir 2016/2017 tidak lantas diratapi oleh jajaran manajemen. Musim selanjutnya Tomas Koubek dan Jérémy Gélin didatangkan untuk menambah kedalaman skuat. Rennes juga mendatangkan satu nama krusial yang menjadi andalan hingga musim ini, Benjamin Bourigeaud.

Di musim 2017/2018, Rennes menjelma menjadi kekuatan yang menakutkan. Racikan Gourcuff cukup moncer lewat formasi andalan 4-4-1-1, ditambah kedatangan Ismaïla Sarr, Faitout Maouassa dan Benjamin Bourigeaud. Rennes juga mendatangkan Diafra Sakho dari West Ham dan meminjam Wahbi Khazri dari Sunderland. Rennes untung total 40 juta Euro saat itu.

Mengawali liga dengan cukup lambat, perlahan tapi pasti Rennes bangkit dan mulai mencuri perhatian usai menang di tiga pertandingan di akhir bulan September hingga awal Oktober. Momentum mereka sedang apik hingga pada November 2017, Gourcuff dilengserkan oleh Manajemen.

Setelah Gourcuff Dipecat Rennes

Tentu saja protes bermunculan dengan performa Rennes yang membaik di tengah musim. Yang lebih membuat suporter bingung adalah langkah manajemen klub mendatangkan Sabri Lamouchi, sebuah keputusan yang sama sekali tidak membuat suporter puas. Lamouchi bukanlah nama mentereng. Ia baru memoles Pantai Gading dan klub asal Qatar, El Jaish, sebelum ditunjuk menjadi manajer Rennes.

Namun Sabri paham keinginan suporter yang ingin melihat Rennes tampil di Eropa. Sabri mengubah formasi menjadi 4-2-3-1. Rennes tampil impresif. Deretan pemain yang didatangkan oleh Rennes menjadi bagian penting dari klub. Khazri yang dipinjam dari Sunderland menunjukkan kualitasnya menjadi motor serangan. Tomas Koubek yang di awal kedatangannya sempat ditolak karena ucapan yang merendahkan wanita ketika bermain di Ceko, menunjukkan betapa gemilang aksinya di bawah mistar gawang Rennes.

Sabri kemudian membawa Rennes finish di posisi kelima klasemen akhir Liga Prancis. Suporter Rennes berpesta. Mereka ke Eropa musim depan. Lebih manis lagi, mereka sukses memberikan kekalahan perdana PSG di kandang sendiri. Rennes mencatatkan kemenangan meyakinkan 2-0. Namun masalah kembali hadir di awal musim ini. Lagi-lagi keputusan jajaran Manajemen Rennes membuat suporter bingung.

Rennes melepas Joris Gnagnon yang tampil konsisten dan menjadi andalan bersama dengan Jeremy Gellin di jantung pertahanan dan nyaris tidak tergantikan, dilepas ke Sevilla. Rennes justru mendatangkan nama-nama yang kurang popular dan dianggap tidak menambal kepergian Gnagnon.

Jordan Siebatcheu, Clément Grenier, Souleyman Doumbia, Romain Del Castillo, Badiashile Loïc, Jakob Johansson, Damien Da Silva, M’Baye Niang, hingga Hatem Ben Arfa, didatangkan Rennes. Namun tidak membuat suporter puas mengingat Rennes berkompetisi di Eropa. Rennes juga harus fokus ke Ligue 1 untuk mempertahankan prestasi mereka.

Dan Rennes kembali kesulitan di pekan awal Ligue 1. Bahkan mereka menelan tiga kekalahan beruntun di Ligue 1. Di Liga Eropa pun setali tiga uang. mereka meraih hasil kurang memuaskan dengan takluk di tangan FC Astana, dan dua kali kalah atas Dynamo Kyiv yang nyaris membuat peluang Rennes lolos dari fase grup pupus.

Era Julien Stephan

Sabri Lamuochi kemudian dipecat dan digantikan oleh (lagi-lagi) sosok minim pengalaman, Julien Stéphan. Julien merupakan pelatih kepala tim Akademi Rennes yang dipromosikan ke tim utama. Perlahan namun pasti permainan Rennes membaik.

Momentum Rennes adalah dengan menang atas Lyon dengan skor 2-0 di kandang lawan. Setelahnya penampilan Rennes membaik dengan menang 2-0 atas FC Astana di Liga Eropa, sekaligus membawa mereka lolos ke babak 16 besar Liga Eropa.

Namun momentum tersebut tidak diikuti kedalaman skuat yang baik. Di Liga Eropa, Rennes memuaskan namun tidak di Ligue 1. Secara mengejutkan di Liga Eropa, Rennes lolos usai menyingkirkan Betis dengan aggregate 6-4. Di pertemuan perdana di kandang Rennes, skor imbang 3-3 membuat peluang Betis lolos lebih besar. Namun Adrien Hunou dan Mbaye Niang menjadi actor penting kemenangan tandang 1-3 di markas Betis dan membuat Rennes lolos ke babak Perempat Final.

Di Perempat Final, Rennes cukup heroic dengan menang 3-1 di kandang sendiri atas Arsenal sebelum kalah 2-0 di Emirates dan membuatRennes tersingkir. Namun Hatem Ben Arfa dan kawan-kawan gugur dengan kepala tegak karena permainan atraktif mereka.

Sayangnya tren di Liga Eropa tidak berlanjut di Ligue 1, merek kini terdampar di posisi 11 klasemen sementara. Hingga penampilan mereka di Coupe de France menghapus kekecewaan supporter Rennes yang melihat timnya tidak terlalu baik di liga.

Momentum bagi Rennes ketika mengalahkan Lille dan US Orleans sebelum menghadapi Lyon di babak semifinal. Lyon jelas diunggulkan di laga ini, namun Rennes menyimpan kejutan mereka. Formasi 4-2-3-1 Rennes benar-benar menyulitkan Lyon untuk menembus daerah pertahanan Rennes, hingga akhirnya Niang memberikan keunggulan di akhir babak pertama.

Di babak kedua, Lyon meningkatkan intensitas serangan, dan sukses menyamakan kedudukan melalui Bertrand Traore. Skor berubah menjadi 2-2 ketika Andre dan Moussa Dembele menjaringkan gol bagi masing-masing kesebelasan. Ketika Lyon menggempur pertahanan Rennes, Fullback Ramy Bensebaini menjaringkan satu gol bagi Rennes dan mengantarkan mereka ke final menghadapi PSG.

Menghadapi PSG, Rennes juga tidak diunggulkan, mereka bahkan tertinggal dua kali lewat sepakan Dani Alves dan Neymar di awal babak pertama, sebelum gol bunuh diri Pascal Kimpimbe sukses memperkecil ketertinggalan.

PSG nyaris mengurung pertahanan Rennes di sepanjang pertandingan, namun momentum berupa gol dari sundulan Sitoe membuat laga menjadi remis 2-2 Rennes lebih percaya diri ditambah penampilan gemilang Koubek menambah kepercayaan diri.

Kartu merah Mbappe menunjukkan rasa frustasi PSG yang berlanjut di babak adu penalti. Nkunku menjadi satu-satunya pemain yang gagal menyelesaikan tendangan usai tendangannya melambung di atas mistar, Rennes bersorak. Kerja keras dan jatuh bangun mereka selama tiga musim terbayar dengan gelar pertama mereka sejak 1971 di ajang yang sama Coupe de France.

Apakah tugas Rennes sudah selesai? Tentu saja belum. Mereka masih harus memperbaiki performa mereka di Ligue 1 dan memperbaiki posisi mereka. Lalu apakah mereka mampu? Hanya Rennes yang mampu menjawab dengan performa apik mereka.