Ketika Neil Redfearn ditunjuk menjadi manajer permanen Leeds United menghadapi sisa kompetisi divisi Championship 2014/2015, ada sepercik optimisme di tubuh The Whites yang carut-marut. Di tengah kekacauan rezim Cellino yang menganti empat pelatih dalam musim yang sama, Redfearn adalah sosok mesiah di kubu Leeds. Bukan karena kemampuan taktikal yang brilian, melainkan kemampuannya menerka serta mengorbitkan bibit-bibit muda lulusan Thorp Arch, akademi Leeds yang mahsyur itu. Saat itu hampir sewindu Redfearn menempati posisi Head of Youth Development.
Musim itu ada 10 nama lulusan akademi yang bercokol di tim inti. Empat di antaranya ada nama Sam Byram, Lewis Cook, Charlie Taylor, Alex Mowatt, serta Kalvin Phillips. Ketiga nama ini memang benar-benar menyita perhatian klub lain di Inggris.
Lewis Cook yang menjadi maestro lini tengah dengan mudahnya pindah ke Bournemouth dengan harga yang lumayan mahal. Byram yang berposisi bek kanan akhirnya dilego ke West Ham United. Charlie Taylor yang awalnya berkomitmen tinggal lebih lama di Elland Road, akhirnya hijrah menuju Burnley untuk menggapai mimpi bermain di Premier League. Mowatt juga memutuskan hengkang ke Barnsley.
Hingga akhirnya, ada satu nama yang tersisa: Kalvin Phillips. Tersisanya satu nama yaitu Phillips sempat menimbulkan kesimpulan khalayak sepakbola kalau gelandang tersebut hanya memiliki kemampuan rata-rata alias tak laku di pasaran. Bergantinya pelatih dari Uwe Rosler, Steve Evans, Gary Monk, Thomas Christiansen, serta Paul Heckingbottom juga tak membuat nama Phillips muncul ke permukaan.
Kehadiran pelatih kawakan Marcelo Bielsa ke Leeds memunculkan harapan bangkitnya nama-nama pemain muda disana. Rekam jejak pelatih yang dipuja bak Tuhan di Argentina tersebut memang erat dengan pengembangan pemain muda. Plus, keterbatasan finansial Leeds yang terbentur Financial Fair Play membuat Biesla harus memutar otak untuk menjalankan tugasnya dengan baik di tanah Yorkshire.
Rupanya masuknya Bielsa membuat hampir semua anak didiknya bertransformasi menjadi lebih baik. Misalnya, gelandang Polandia, Mateusz Klich, yang musim lalu dibuang ke Twente, ternyata memberikan peran vital dengan bermain sebagai starter di setiap laga yang dilakoni Leeds. Striker mereka, Kemar Roofe yang sebelumnya diplot di posisi sayap, menjadi top scorer Leeds semenjak dimainkan sebagai penyerang tunggal. Berkatnya pula, muncul talenta baru seperti Jamie Shackleton, Jack Clarke, Bailey Peacock-Farell, atau Leif Davis.
Transformasi Phillips bersama Bielsa
Dalam skema Bielsa, Phillips memainkan peran deep lying midfielder atau yang dikenal dengan posisi Pirlo. Dengan posisi yang terkenal sejak dimainkan maestro lini tengah Italia, Andrea Pirlo. Memang banyak pemain dengan posisi ini: Xabi Alonso? Kurang stylish. Sergio Busquet? Coba tanyakan Coach Justin.
Bielsa yang memang memainkan formasi dasar 4-3-2-1 di Leeds yang seringkali bertransisi menjadi 3-3-1-3 yang identik dengannya sejak dulu. Phillips kerapkali turun menjadi sweeper sementara kedua bek tengah akan bertugas mengawal man-to-man marking.
Phillips sempat terkejut dengan keputusan Bielsa memainkannya agak bertahan dan menjadikannya apa yang dikenal dengan “pemain nomor 4”.
“Last season I obviously played more attacking and when the manager came in and (he) said I want you to play as the number four, I was like ‘how come?’ but I took to it quite well and I just need to work on my defensive attributes more and hopefully I’ll keep getting better,” ujar Phillips saat itu.
Kalau anda menganggap penulis melebih-lebihkan seorang Kalvin Phillips, coba tengok catatan statistiknya musim lalu. Dihimpun dari LUFCDATA, sepanjang musim 2018/2019, ia mencatatkan rekor terbanyak dalam memenangkan defensive duel di divisi Championship yakni 372. Ia juga paling banyak melakukan ball recovery yakni sebanyak 321 dengan rataan 7,30 per laga juga 116 kali memenangkan tekel sepanjang musim dengan rataan 2,64 per laga. Catatan yang jelas membuat filosofi Bielsa tak mungkin berjalan baik tanpa kehadiran seorang Kalvin Phillips.
Karena penampilannya yang mengesankan pula lah yang menmbuat sejumlah klub ingin mendapatkannya. Klub promosi Aston Villa, Bournemouth, dan juga Wolves, ngotot ingin mendapatkan jasanya musim mendatang. Tottenham Hotspur juga baru-baru ini ingin menambah rekrutan dari Leeds pada musim ini seusai menebus Jack Clarke. Spurs rela menebus bandrol 30 juta paun untuk seorang Kalvin Phillips.
Phillips memang tak identik seperti Pirlo, bahkan jauh untuk mereplikasi pemain yang dilabeli seorang pundit kenamaan sebagai “Profesor Moriarty-nya sepakbola Italia”. Menurut hemat saya, Phillips adalah Pirlo versi tanah Yorkshire. Visi dan teknik operan yang mumpuni tak cukup. Untuk menjadi seorang born and bred of the Yorkshire, seorang pemain sepakbola dituntut memiliki kemampuan fisik yang tangguh untuk melakukan aksi kotor. Yang jelas, ia punya nilai plus dengan tampil berani membondol rambut ikalnya dan menjauhi gaya Joe Allen si Welsh Pirlo.
Pandai memberi umpan panjang, melakukan recovery, cerdas memutus serangan lawan, dan tak gentar melakukan tekel keras. Itulah Kalvin Phiilips di bawah asuhan Bielsa. Saya membayangkan seorang Pirlo yang bermain sangat elegan itu mungkin akan patah kaki bila berhadapan dengan klub yang memiliki catatan kartu melimpah seperti Preston North End atau Nottingham Forest di laga selasa malam yang berkabut.
Keliahaian Phillips dalam mengeluarkan jurus tekelnya membuat Bielsa memiliki opsi lain yakni membuatnya bermain menjadi bek tengah. Laman lokal LeedsLive.co.uk bahkan pernah membuat judul artikel yang cukup menohok: “Leeds United fans can’t decide if Kalvin Phillips is the new Maldini or Pirlo after Ipswich performance” usai penampilan memukaunya ketika Leeds menang atas Ipswich Oktober 2018 silam.
Melihat caranya bermain, seperti membayangkan dalam darahnya mengalir gen “Dirty Leeds”, sebuah julukan yang melabeli Leeds era Don Revie di dekade 70-an yang keras (baca: brutal) tapi dipadukan dengan filosofi cerdas Bielsaball yang lebih menekankan sisi taktis alias lebih mikir.
Dengan catatan istimewanya bersama Bielsa di musim lalu, sebuah pilihan bodoh bagi Phillips jika memilih hengkang di musim depan. Bisa jadi manajemen Leeds yang kepang bodoh apabila melepas salah satu talenta emasnya dalam beberapa dekade terakhir.
Mungkin Phillips harus belajar dari senior-seniornya seperti Fabian Delph, Lewis Cook, Sam Byram, atau Charlie Taylor yang juga pernah mendapat sorotan besar tapi gelap mata karena iming-iming poundsterling dan berakhir sebagai pemain semenjana.