Keajaiban FC Girona di Pentas La Liga

Catalonia dalam peta persepakbolaan Spanyol selalu identik dengan dua kesebelasan: Barcelona dan Espanyol, Meskipun begitu, sempat ada nama Gimnastic de Tarragona yang pada musim 2006/2007 bertahan satu musim sebelum kembali degradasi.

Musim ini, Catalonia memiliki satu wakil tambahan yakni FC Girona yang baru pertama kali berkompetisi di La Liga. Awalnya, Girona diprediksi hanya numpang lewat. Namun, di luar dugaan, mereka mampu melangkah jauh dengan menempati peringkat ketujuh hingga pekan ke-28. Padahal target awal kesebelasan yang berdiri pada 23 Juli 1930 tersebut adalah sekadar bertahan di La Liga. Lantas, apa yang membuat Girona begitu hebat di La Liga?

Sebelum musim bergulir, Girona tidak jorjoran dalam belanja pemain, bahkan terkesan sangat hemat. Mereka hanya menghabiskan total tidak lebih dari 6 juta Paun. Angka ini terbilang sangat kecil untuk klub yang berkompetisi di La Liga. Transfer paling mahal mereka, Bernardo Espinosa, yang didatangkan dari Middlesbrough hanya seharga 4 juta Paun. Sisanya, Girona mendatangkan pemain secara pinjaman maupun free transfer.

Nama-nama seperti Cristhian Stuani dan Gorka Iraizoz, didatangkan dengan gratis, sedangkan Marc Muniesa dan Pablo Maffeo, masing-masing dipinjam dari Stoke City dan Manchester City.

Kunci kesuksesan Girona musim ini adalah minimnya perubahan skuat. Andalan Girona sejak berada di Divisi Segunda seperti Portu, Juanpe, hingga Borja Garcia, dipertahankan sebagai komposisi utama tim sejak promosi. Kedatangan pemain juga hanya untuk memperkuat beberapa sektor yang dianggap belum memuaskan.

Kedatangan striker gaek, Cristhian Stuani misalnya, dianggap perlu mengingat jam terbangnya di kompetisi teratas Spanyol tidak perlu diragukan. Ini sama halnya dengan Gorka Iraizoz yang didatangkan secara gratis dari Athletic Bilbao. Dengan usia menginjak 37 tahun dan telah berada di bawah mistar salah satu klub elite di Spanyol selama 10 tahun, pengalaman Iraizoz dibutuhkan untuk ditularkan kepada para pemain yang beru pertama kali berkompetisi di La Liga.

Selain skuat yang tidak mengalami banyak perubahan, jajaran staf manajerial juga tidak mengalami pergantian. Manajer Girona, Pablo Machín, sudah memegang klub yang bermarkas di Muncipal de Muntilivi sejak 2014. Machín sendiri berpegang teguh dengan formasi 3-5-2 yang ia terapkan sejak merintis karir manajerialnya pertama kali bersama CD Nurmancia.

Bersama Girona, 3-5-2 yang ia terapkan sejauh ini cukup solid. Memang, Girona sudah kebobolan 36 gol dari 27 pertandingan, tapi dari segi serangan, Girona cukup garang dengan mencetak 38 gol. Rataan gol ini bahkan diatas Sevilla dan Villareal yang mencetak 36 gol dalam 27 pekan musim ini.

Sosok Machín sendiri cerdas dalam mengembalikan permainan beberapa pemainnya yang dianggap tidak mampu bersaing di La Liga. Stuani misalnya sempat mengalami fase suram bersama Middlesbrough dalam dua musim terakhir, kini menjelma sebagai monster haus gol di depan gawang dengan total 14 gol musim ini.

Selain Stuani, nama Portu juga kembali menjadi sosok yang menakutkan, jebolan akademi Valencia ini seolah terlahir kembali bersama Girona. Awalnya, karier pemain asal Murcia ini tidak begitu mulus. Valencia sempat menganggap Portu sebagai “The Next Aimar” karena permainan Portu yang enerjik. Sayang karier Portu bersama Valencia tidak begitu baik.

“Saya berusaha maksimal kala itu. Sebagai sosok muda dari akademi, saya jelas mengincar kesempatan bermain di tim utama,” ujar Portu dikutip dari La Liga World.

Dilepas ke Albacete sebelum pindah ke Girona musim lalu, Portu kini menjelma menjadi sosok yang krusial bagi Girona. Sejauh ini Portu menjadi top skorer kedua bagi Girona di bawah Stuani dengan 11 gol dan mencetak 4 asis.

Eloi Amagat dkk., kini menikmati pencapaian mereka yang bisa dianggap sebagai sejarah. Sebagai klub kecil dari Catalonia, Girona kini bahkan berpeluang untuk melaju lebih jauh dari sekadar bertahan di liga. Mereka mengincar finis di Zona Eropa. Namun, tentu target ini tak mudah, mengingat banyaknya saingan yang harus mereka hadapi, salah satunya SD Eibar.

Meskipun begitu, Pablo Machin merasa puas dengan capaian anak asuhnya. “Target saya sama sejak awal musim, hanya bertahan di La Liga, dan kami telah mencapainya,” kata Machin dilansir The Guardian.

“Mudah menjadi Barcelona, Real Madrid, tapi sulit menjadi Girona. Orang-orang akan berkata ke anaknya ‘lihatlah itu pelatih Girona’, mereka tidak akan peduli, kini Girona berhasil keluar dari fase itu, semua orang mengetahui Girona dan saya bangga akan hal itu.”