Piala Dunia adalah kejuaraan yang sangat spesial di muka bumi ini. Semua pasang mata akan tertuju kepada ajang yang digelar setiap empat tahun sekali ini. Tidak terkecuali para kepala pemerintahan sebuah negara.
Tidak jarang para pemimpin negara ini ikut menyaksikan para atletnya bertanding. Kehadiran mereka diharapkan bisa memacu semangat para pemain untuk bisa megharumkan nama negaranya. Sebaliknya, keberadaan sebuah negara di turnamen sekelas Piala Dunia telah mengangkat citra si pemimpin yang berhasil memajukan negaranya di bidang olahraga khususnya sepakbola.
36 tahun lalu, sebuah kejadian unik terjadi dalam gelaran Piala Dunia ke-12 di Spanyol pada 1982. Valladolid, atau lebih tepatnya stadion Jose Zorrila menjadi saksi bagaimana seorang kepala negara bisa ikut campur dalam menentukan hasil sebuah pertandingan.
Dekade 80-an adalah era di mana sepakbola Kuwait sedang memasuki fase kejayaannya. Mereka langsung menjuarai Piala Asia di keikutsertaan mereka yang ketiga pada 1980. Kemenangan itu adalah bentuk pembalasan dendam mereka yang hanya menjadi runner up pada turnamen sebelumnya.
Di sisi lain, kesuksesan Kuwait saat itu juga berkat seorang pangeran bernama Sheikh Fahad Al Ahmed Al Jaber Al Sabah. Dialah anggota kerajaan Kuwait sekaligus presiden asosiasi sepakbola Kuwait (KFA) saat mereka meraih kejayaan di era 80an.
Saat itu, Sheikh Fahad dikenal sebagai pangeran yang gila olahraga. Selain memimpin KFA, Sheikh Fahad juga menjabat sebagai Presiden Komite Olimpiade Kuwait, Presiden Federasi Basket Kuwait, dan pernah menjabat sebagai Presiden Komite Olimpiade Asia pada 1982 hingga 1990.
Kelolosan ke Piala Dunia saat itu menjadi pencapaian tertinggi mereka sepanjang sejarah sepakbola. Mereka menjadi negara Asia Barat kedua setelah Iran yang bisa melaju ke putaran final Piala Dunia..
Kuwait sebenanrya memulai turnamen dengan hasil yang tergolong memuaskan. Mereka mampu menahan imbang 1-1 Cekoslovakia. Hasil itu tentu saja mencengangkan mengingat Cekoslovakia adalah juara Eropa pada 1976 yang terkenal dengan Antonin Panenka.
Mereka akhirnya gagal lolos ke fase grup berikutnya karena menelan dua kekalahan dalam dua laga berikutnya melawan Prancis dan Inggris. Mereka sebenarnya bisa pulang dengan kepala tegak karena meraih satu poin dari Ceko dan hanya kalah 0-1 melawan Inggris, namun keikutsertaan mereka pada saat itu tercoreng akibat ulah Sheikh Fahad yang merupakan pemimpin mereka.
Kejadiannya terjadi pada pertandingan kedua melawan Prancis. Les Blues saat itu tengah unggul 2-0 melalui gol Bernard Genghini dan Michel Platini. Pada awal babak kedua, gelandang mereka Alain Giresse mencetak gol ketiga. Gol tersebut disahkan oleh Miroslav Stupar selaku wasit dalam laga tersebut.
Gol tersebut membuat pihak Kuwait tidak senang. Mereka menganggap ada bunyi peluit yang dibunyikan dari tribun penonton yang disalahartikan oleh para pemain Kuwait sehingga mereka menganggap permainan harus berhenti. Tak ayal, protes kemudian datang dari bangku cadangan Kuwait.
Stupar sendiri tidak menerima klaim dari pihak Kuwait tersebut. Wasit asal Uni Soviet tersebut menganggap gol Giresse tersebut sah. Keadaan justru semakin pelik ketika Sheikh Fahad memutuskan untuk beranjak dari kursinya di tribun lalu turun ke lapangan dan terlibat konfrontasi dengan Stupar.
Sheikh Fahad meminta para pemainnya untuk meninggalkan lapangan sebagai bentuk protes sekaligus upaya untuk menekan Stupar. 15 menit pertandingan terhenti. Hal ini dikarenakan protes juga datang dari Michel Hidalgo selakuk pelatih Prancis yang ingin gol tersebut disahkan.
Stupar kemudian menyerah. Ia memutuskan menerima protes dari Sheikh Fahad dan tidak mengesahkan gol Giresse tersebut. Inilah kali pertama seorang wasit termakan provokasi dari seseorang yang bukan datang dari bangku cadangan melainkan dari tribun penonton.
Upaya protes dari Sheikh Fahad sendiri sebenarnya tidak berguna karena pada babak kedua Prancis berhasil menambah dua gol (sah) lagi melalui Didier Six dan Maxime Bossis. Kuwait sendiri hanya memperkecil satu gol melalui Abdullah Al Buloushi.
Rasa malu Kuwait tidak hanya sampai disitu, pemimpin sepakbola sekaligus pangeran mereka didenda 14 ribu dolar AS. Sementara itu, nasib malang juga menimpa Stupar. Akibat keputusannya itu, ia dilarang untuk memimpin pertandingan lagi sepanjang turnamen yang akhirnya dimenangi Italia tersebut.
Lisensi FIFA milik Stupar juga dicabut. Ia tidak bisa lagi memimpin pertandingan dalam ajang-ajang besar layaknya Piala Dunia atau Piala Eropa. Ia hanya bisa memimpin pertandingna-pertandingan domestik saja. Stupar sendiri kemudain memutuskan pensiun menjadi wasit pada tahun 1991 atau setahun setelah pangeran yang mengintimidasinya meninggal dunia.
Editor: Frasetya Vady Aditya