Akhir Januari lalu, dunia perwasitan Inggris berduka. Mereka kehilangan salah satu wasit terbaiknya yaitu Paul Alcock. Pria kelahiran Surrey ini meninggal dunia pada 29 Januari 2018 lalu setelah dua tahun bertarung dengan penyakit kanker yang dideritanya.
Alcock memang tidak segarang Pierluigi Collina, dia tidak juga seterkenal Howard Webb ataupun Mike Riley. Namun, Alcock dikenal sebagai salah satu wasit terbaik yang pernah dimiliki Football League karena kepemimpinannya yang kalem tapi tidak meninggalkan citra tegas dari seorang wasit.
Awal mula karir Alcock sebenarnya bukanlah sebagai seorang pengadil di tengah lapangan melainkan sebagai asisten wasit. Ia melakukannya untuk pertandingan-pertandingan di bawah naungan Football League (Divisi Championship hingga League Two) pada tahun 1982 di saat usianya sudah menginjak 29 tahun.
Di saat Michael Oliver mulai menjadi wasit di usia 18 tahun, Alcock baru memulai karirnya sebagai Ratu Adil ketika usianya menginjak 33 tahun pada 1988. Akan tetapi, ia baru menjadi wasit untuk pertandingan-pertandingan Football League saja dan belum mendapat kesempatan memimpin laga-laga Premier League.
Barulah pada 1995 Alcock berkesempatan memimpin pertandingan Premier League. Laga Coventry City melawan Manchester City menjadi laga level tertinggi pertamanya. Alcock menjadi wasit di Premier League hingga tahun 2000 dan memimpin 96 pertandingan sebelum akhirnya kembali ke Football League. Karir Alcock sebagai wasit berakhir pada tahun 2002.
Paolo Di Canio yang mengangkat nama Alcock
Dari 96 pertandingan tersebut, Alcock kerap memimpin laga-laga yang berlabel Big Match. Sebut saja Newcastle United melawan Liverpool atau Manchester United melawan Leeds United. Akan tetapi, satu laga yang akan muncul jika kita membicarakan karir Alcock tentu adalah pertandingan Sheffield Wednesday melawan Arsenal pada 26 September 1998. Laga yang dimenangi Sheffield dengan skor 1-0 tersebut menjadi menarik saat itu karena muncul insiden konyol sekaligus nyentrik yang melibatkan Alcock dan Paolo Di Canio.
Kejadiannya terjadi di menit akhir babak pertama. Patrick Vieira yang sedang menguasai bola mendapat gangguan dari Wim Jonk. Vieira yang kemudian kesal mendorong Jonk hingga terjatuh. Di Canio yang berwatak keras ingin membela Jonk dengan menyerang Vieira. Sayang usahanya ditahan oleh Martin Keown.
Kesal dengan aks Keown, Di Canio justru menendang betis Keown sehingga pertarungan keduanya pecah. Keown mencekik Di Canio sementara pemain Italia tersebut mencakar Keown. Kedua pemain ini masih adu mulut sebelu dilerai oleh rekan-rekannya.
Alcock kemudian mengacungkan kartu merah untuk Di Canio (juga Keown). Di Canio yang masih diliputi emosi di kepalanya kemudian mendorong Alcock. Bukan dorongan yang keras tapi setidaknya membuat keseimbangan Alcock terganggu hingga terjatuh di rumput Hillsborough dengan masih memegang kartu merah.
Sontak kejadian ini membuat FA bergerak dan memanggil Di Canio. Mantan pemain Lazio ini kemudian dihukum larangan bermain selama 11 pertandingan. Sementara Alcock sendiri tidak mendapat hukuman apapun karena keputusannya mengkartumerah Di Canio sudah tepat. Di Canio kemudian meminta maaf atas tingkahnya tersebut saat diwawancarai sebuah media di Italia.
“Setahun setelah kejadian, saya masih bertanya-tanya bagaimana dia bisa jatuh dengan dorongan lembut semcam itu. Tapi, saya tidak punya alasan apapun karena mendorong wasit bukanlah sebuah perilaku yang baik meski keputusan kadang bertentangan dengan anda. Apa yang saya lakukan semoga saja tidak dicontoh anak-anak lain yang bermain sepakbola,” tutur Di Canio delapan tahun setelah kejadian kepada FourFourTwo.
Kanker yang mengubah kehidupan Paul Alcock
Selepas pensiun menjadi wasit, Alcock menjalani kehidupan dengan menjauh dari hingar bingar sepakbola dan lebih banyak menghabiskan waktu di rumah bersama istri dan anak-anaknya. Akan tetapi, kehidupannya kemudian terganggu setelah dirinya terkena kanker yang membuat dirinya dilanda keterpurukan.
“Ketika pertama kali saya diberitahu kalau mengidap kanker, saya menangis, saya kembali menangis pada hari kedua, dan di hari ketiga saya benar-benar tidak menyangka kalau saya terkena kanker,” ujarnya kepada The Sun.
“Hidup saya benar-benar berantakan sejak September 2015. Mereka memotong wajah saya dan mengupas kulit wajah saya untuk mengangkat tulang rahang saya. Kemudian mereka memotong kulit kaki kiri saya, membuka sedikit bagian Fibula untuk membangung tulang rahang yang baru.”
Usaha yang dilakukan tim dokter tersebut membuat Paul Alcock bertahan dari penyakitnya selama dua tahun sebelum akhirnya ia meninggal dunia akhir Januari lalu.
“Kami sedih kehilangan sosok seperti Paul. Ia memiliki karir yang luar biasa sebagai wasit profesional di tingkat atas dan begitu dihormati. Paul sempat membantu mengembangkan wasit-wasit muda sebagai pengamat sekaligus membimbing mereka. Dia akan selalu ada di pikiran kita,” ujar salah saut mantan wasit Inggris, Mike Riley.
Selamat Jalan Paul Alcock.