Persebaya U-20 dan Budaya yang Berhasil Dijaga

Foto: Persebaya.id

Sebuah gelar juara, terkadang, hadir bukan hanya karena kemampuan semata. Ia datang berkat proses yang panjang, disertai cucuran keringat dan budaya yang terjaga.
Hal inilah yang tampaknya terjadi di tubuh Persebaya Surabaya.

Baru–baru ini, tim yang berjuluk ‘Bajul Ijo’ tersebut sukses menggondol juara Liga 1 U-20. Gelar ini berhak mereka dapat setelah di babak final sukses menundukkan Barito Putera U-20 lewat babak adu penalti (3-0).

Persebaya U-20 memang tampil ciamik sepanjang gelaran Liga 1 U-20. Sejak babak pertama, mereka sudah menunjukkan kedigdayaan mereka. Di babak tersebut, Persebaya sukses menduduki peringkat pertama Grup C dengan raihan 22 poin.

Berlanjut ke babak kedua, mereka juga sukses mengungguli Bhayangkara U-20, Persela U-20, serta PSS U-20 di Grup X. Di babak semifinal, PSIS U-20 jadi lawan yang berhasil mereka tundukkan dengan skor 3-1.

Di babak final, setelah melewati laga berat lawan Barito–mereka sukses menahan imbang Persebaya di waktu normal dengan skor 3-3–, pada akhirnya ‘Bajul Ijo’ keluar sebagai pemenang via babak adu penalti.

Gelar ini jadi sebuah capaian tersendiri bagi Persebaya. Nah, di balik gelar yang diraih Persebaya ini, selain keringat dan proses panjang, ada juga hal lain yang mereka jaga. Mereka sukses menjaga budaya mereka yang sudah ada sejak dahulu kala.

***

Dahulu, sekitar awal 2017, penulis pernah berkunjung ke Surabaya dalam rangka liputan khusus mengenai kebangkitan Persebaya yang baru mengalami pemutihan usai terkena sanksi PSSI. Banyak hal baru yang penulis pelajari tentang Persebaya saat itu.

Dari sekian banyak hal unik yang penulis temui di sana, salah satu yang cukup menarik perhatian adalah tentang pembinaan yang dilakukan Persebaya. Saat itu, kisaran April 2017 sore hari, kebetulan penulis bertemu dengan Mariono.

Ketika penulis bersua dengannya di sore itu, Mariono menjabat sebagai Divisi Pembinaan Usia Muda Persebaya. Perbincangan penulis dengan Mariono ini berlangsung di lapangan Karanggayam yang berlokasi di belakang area mes Karanggayam.

Bahan obrolan kami saat itu tidak jauh dengan apa yang memang menjadi spesialisasi dari Mariono, yakni soal pembinaan di Persebaya. Ia bercerita bahwa untuk menjaring dan menempa bibit muda berbakat, Persebaya menggunakan kompetisi internal.

Kompetisi internal ini diikuti oleh 20 klub (semestinya 30, namun 10 klub lagi menyeberang ke Bhayangkara FC). Selain itu, ia dulu berencana (sekarang rencananya sudah terealisasi) membentuk tim Liga 3 bernama PS Kota Pahlawan untuk menjadi kawah Candradimuka bagi para pemain muda.

“Jadi, di Persebaya sekarang ini ada 20 klub anggota yang sedang berkompetisi, bahkan sudah berlangsung selama setengah musim putaran. Kita ini, kan, 20 klub, kalau tiap klub rata-rata ada 22 pemain, sudah ada banyak stok pemain,” ujar Mariono penuh semangat.

“Mereka berproses di klub masing-masing, tinggal kita memfasilitasi dengan pertandingan, mereka pun terpantau oleh kami. Ada sebuah jenjang proses yang dilalui pemain-pemain kami, bahkan sejak mereka masih berusia 12 tahun,” lanjutnya.

Beriringan dengan teriakan anak-anak yang kebetulan saat itu sedang bermain di lapangan Karanggayam, Mariono juga semakin semangat bercerita tentang bagaimana Persebaya membina dan membentuk pemain.

Seingatnya, sudah banyak pemain-pemain Persebaya yang melanglang buana ke klub-klub Indonesia. Ia menyebut nama-nama seperti Evan Dimas, Andik Vermansah, Prasetyo Handoko, Mohamad Erfan, Oktavianus Fernando, Sidik Saimima, maupun Angga Febryanto.

Namun, bukan itu yang membuat penulis terkagum akan proses pembinaan yang dilakukan Persebaya. Mereka tidak sekadar memproduksi pemain bertalenta, melainkan juga membentuk karakter pemain agar sesuai dengan karakter khas arek Suroboyo.

“Kita sudah punya visi bahwa anak-anak ini kita bentuk karakternya, menjadi pemain bagus yang berkarakter yang berjiwa nasionalisme dan berjiwa fair play, baru kita tekan kepada prestasi,” ungkapnya penuh semangat.

Cerita dari Mariono ini juga diperkuat oleh cerita yang dituangkan Fandy, sosok yang pernah ikut pertandingan klub internal. Ia ingat bahwa dahulu, ada tempaan khusus sekaligus suntikan semangat yang diberikan para pemain Persebaya bagi para pemain klub internal.

“Waktu itu saya ingat, saya pernah ikut seleksi Persebaya U-16 di lapangan Persebaya. Ada beberapa pemain Persebaya nonton di atas genting mes. Mereka menyoraki kami, dan itu sempat bikin kami tegang,” kenang Fandy.

Cerita dari Fandy dan Mariono ini juga diperkuat cerita Totok Risantono, eks pemain Persebaya era 70an. Menurutnya, jika Persebaya menggunakan pemain klub internal, ia yakin Persebaya akan jadi tim kuat dan tak perlu mengeluarkan uang banyak untuk merekrut pemain.

“Dedikasi juga akan ada jika pemain merupakan hasil kompetisi internal. Dulu itu bahkan ketika dipanggil masuk ke lapangan, MC-nya sampai memanggil nama pemain sesuai dengan daerahnya. Itu jadi sebuah kebanggaan tersendiri bagi sang pemain,” ujar Totok.

“Itu semua karena kompetisi kesebelasan internal yang berjalan. Anak-anaknya senang, dan mereka semua terlatih, kelanjutan kariernya juga ada. Ingin jadi pemain Persebaya, coba masuk dulu ke kesebelasan internal agar mental khas Surabaya tertanam dalam diri Anda,” lanjutnya.

Jadi, Persebaya itu tidak hanya memproduksi pemain yang baik secara fisik dan teknik. Lebih dari itu, pembinaan yang dilakukan Persebaya ini bertujuan untuk menjaga budaya Surabaya sebagai tempat di mana arek-arek bermental kuat lahir.

***

Fragmen ingatan tentang pembinaan Persebaya inilah yang keluar saat melihat Persebaya U-20 menjuarai Liga 1 U-20 2019. Melihat semangat mereka yang tidak kenal menyerah mengejar ketertinggalan sampai akhir, tercermin kengototan khas arek Suroboyo dalam diri mereka.

Melihat hal itu, ada kelegaan sekaligus kekhawatiran tersendiri. Lega, karena itu berarti pembinaan yang melibatkan klub internal masih dilakukan Persebaya. Buktinya, masih banyak pemain-pemain dengan semangat tinggi di tubuh Persebaya muda tersebut.

Khawatir, karena di satu sisi, di tengah kondisi industri sepak bola yang mengutamakan hasil daripada proses, akan membuat talenta-talenta ini terkatung tidak jelas. Maka, ke depan, tantangan bagi Persebaya adalah bagaimana caranya mereka tetap bisa memproduksi pemain sendiri.

Karena pada akhirnya, pembinaan di Surabaya ini bukan hanya sebatas memproduksi pemain berbakat, tapi tentang bagaimana caranya menjaga budaya yang sudah berakar sejak lama.