19 Oktober 2000, pertandingan perempat final Liga Champions mempertemukan Manchester United menghadapi Real Madrid. Malam itu akan menjadi sebuah malam yang tidak akan pernah dilupakan Sir Alex Ferguson.
Quartet gelandang andalan Manchester United, David Beckham – Paul Scholes – Roy Keane – Ryan Giggs yang sangat ditakuti di Eropa dan menjadi andalan Manchester United, diperlakukan seolah sedang belajar bagaimana bermain sepakbola oleh satu nama: Fernando Redondo.
Saking frustrasinya Ferguson memberikan tugas ke semua pemain bukan untuk menyerang Real Madrid, tapi diminta untuk menghentikan Redondo. Di akhir pertandingan, Ferguson menyatakan kekagumannya pada pemain kelahiran 6 Juni 1969 tersebut.
“Redondo pasti memiliki semacam magnet di kakinya. Dia (Redondo) fantastis. Tidak bisa dipercaya. Tiap kami membangun serangan, bola selalu gagal di dia, setiap kali! Kami berusaha menghentikan semuanya, tapi Redondo selalu memberikan skenario berbeda untuk kami,” kata Fergie. Dalam pertandingan itu, Real Madrid akhirnya sukses ke semifinal dengan agregat 3-2.
Fernando Redondo sendiri merupakan gelandang bertahan yang menghabiskan enam musim bersama Real Madrid. Di awal kedatangannya pada tahun 1994/1995 dari Tenerife, harus bersaing dengan gelandang-gelandang kelas dunia lainnya, seperti Michael Laudrup, Luis Enrique, Michel, dan pelatih Timnas Indonesia saat ini, Luis Milla. Namun kualitas pemain yang lahir di Adrogue, Argentina, ini membuatnya menonjol dan rutin mengisi starting line-up Real Madrid.
Apabila tipikal pemain No.10 di Argentina sudah berpindah dari Diego Maradona ke Lionel Messi, namun tipikal pemain No.5 di Argentina masih lekat pada sosok Redondo. Permainan Redondo sendiri tidak seperti gelandang bertahan konservatif yang mengandalkan fisik dan tekel keras. Redondo lebih mengedepankan visi bermain, mirip playmaker yang berposisi sebagai gelandang bertahan.
Namun kemampuan membaca permainan itulah yang menjadi kelebihan. Redondo jarang melakukan tekel dan lebih mengandalkan intersep hasil dari pembacaan pergerakan pemain lawan. The Guardian mendeskripsikan permainan Redondo sebagai “Gelandang penyayat, berasama dengan Fernando Hierro adalah gelandang yang melengkapi Bernabéu dan menjadi motor dari Real Madrid.”
Cedera adalah salah satu momok yang menakutkan bagi Redondo. Pada 1991, Redondo pernah menjalani operasi ligamen di bagian kaki kanannya.
Sebelum dioperasi, permainan Redondo sering terhalang dengan cederanya selama di Tenerife. Setelah operasi ligamennya cukup sukses, dan pindah ke Real Madrid permainan Redondo sebenarnya cukup stabil. Hal tersebut bahkan diakui oleh Fabio Capello. Operasi ligamennya pada 1991 cukup membantunya berkembang untuk mencapai level yang cukup tinggi bersama Real Madrid.
Enam musim bersama El Real, Redondo memeroleh dua gelar La Liga (1994/1995 dan 1996/1997) dan dua gelar Liga Champions (1997/1998 dan 1999/2000). Bersama dengan Laudrup, Hierro, dan Sanchis, Redondo merupakan pemain paling stabil, sekaligus membantu mematahkan dominasi dari FC Barcelona.
Pasang surut sempat dialami oleh Real Madrid. Setelah menjadi juara pada musim 1994/1995, Real Madrid menduduki peringkat keenam pada musim 1995/1996. Namun nama Redondo tetap menjadi salah satu pemain kesayangan bagi Madridista. Mereka menyebut Redondo dengan sebutan El Principe atau “Sang Pangeran”.
Setelah membawa Real Madrid menjadi juara Liga Champions pada 2000, Presiden Real Madrid kala itu, Lorenzo Sanz, bersaing dengan Florentino Perez dalam pemilihan kursi Presiden Real Madrid.
Redondo kala itu mendukung penuh Lorenzo Sanz kembali terpilih sebagai presiden dari Real Madrid. Namun, Florentino Perez-lah yang kemudian terpilih menjadi Presiden Klub.
Era Galácticos dimulai. Perez menghabiskan 151 juta Euro untuk belanja. Pemain-pemain yang dianggap perannya berkurang dilego ke bebrapa klub. Redondo kala itu sebenarnya dianggap cukup penting bagi skuat, namun keberpihakan Redondo kepada Lorenzo Sanz, dianggap Florentino Perez cukup berbahaya. Sehingga sejumlah sumber menyebut kalau secara diam-diam Florentino Perez melakukan negosiasi dengan AC Milan.
Manajer Real Madrid kala itu, Vicente Del Bosque, adalah orang pertama yang mengetahui hal itu. Ia dengan tegas mencegah agar transfer tersebut terjadi. Namun, Redondo tetap dilego ke AC Milan dengan transfer 17 juta Euro.
Dalam sesi latihan pertamanya, Redondo mengalami cedera lutut pada kaki kanannya. Luar biasanya Redondo tetap melanjutkan latihan. Sialnya, ia harus mengakhiri sesi latihan di rumah sakit.
Redondo terindikasi cedera lutut yang cukup parah dan mengharuskannya untuk operasi sekaligus mengakhiri kariernya. Jelang operasinya di Madrid, Redondo melayangkan permintaan ke Adriano Galliani, untuk tidak membayar gajinya dan nayris menolak semua fasilitas yang disediakan Milan, selama dirinya belum sembuh dari cederanya.
“Saya datang ke Milan untuk bermain, dan Milan harus membayar saya hanya bila saya bisa bermain,” kata Redondo yang menyiratkan gestur yang menunjukkan etos kerja seorang Redondo.
Pujian datang pada Redondo, Sir Alex Ferguson bahkan memujinya secara langsung di biografinya. “Banyak pemain kelas dunia yang bermain untuk klub besar. Namun Redondo dengan menolak gajinya dikarenakan tidak bisa bermain, merupakan gestur yang mengajarkan betapa besar gairahnya kepada sepakbola,” tulis Fergie.
Wasit kawakan, Peruigi Collina, secara terbuka memuji Redondo, “Umpan backheel Redondo yang berujung Gol Raul pada pertandingan menghadapi Manchester United, merupakan pergerakan terbaik yang pernah saya lihat. Namun saya tidak bisa lebih memuji Redondo lagi ketika dia memutuskan menolak gajinya ketika cedera.”
Dukungan juga datang dari Madridista kala itu. “Kami tidak akan menukar Figo demi Redondo, belajarlah Perez!” di salah satu banner ketika Redondo tiba untuk operasi di Madrid.
Pada akhirnya, Redondo tidak pernah sembuh dari cedera tersebut. Ia baru benar-benar bermain untuk Milan dua musim setelah kedatangannya. Pada 2004, ia pun pensiun dengan hanya mencatatkan 33 penampilan selama empat musim bersama Rossoneri.
Pensiunnya Redondo mungkin banyak dilupakan banyak orang. Namun, tidak ada yang bisa melupakan permainannya. Termasuk, tentu saja, Sir Alex Ferguson.