Chivas USA, Bubar di Tengah Jalan Karena Salah Perhitungan

Suara Don Garber tak senyaring biasanya. Presiden Liga Sepakbola Amerika Serikat (MLS) itu, harus mengumumkan kenyataan pahit. MLS resmi menutup Chivas USA pada Oktober 2014, setelah 11 tahun mengarungi liga. Ironisnya, Garber-lah yang 11 tahun lalu menerima Chivas USA sebagai kesebelasan baru di MLS.

Apa yang terjadi pada Chivas USA sejatinya memang sudah diprediksi dari awal. Saat kesebelasan-kesebelasan MLS mulai merasakan peningkatan dalam berbagai aspek, tapi tidak dengan Chivas. Hal yang paling jelas terlihat adalah bagaimana Stubhub Center, kandang mereka yang berkapasitas 18 ribu kursi, jarang disesaki penggemar.

Strategi Marketing yang Gagal

Sepakbola bukan olahraga favorit mayoritas masyarakat Amerika Serikat. Secara teknis, sepakbola ditonton oleh para imigran Italia, Meksiko, warga Latino, juga Hispanik. Sebelum Chivas berdiri, MLS sudah menutup Miami Fusion dan Tampa Bay yang juga bubar. Untuk mencegah kejadian serupa terjadi dalam waktu dekat, maka dibuatlah sejumlah strategi.

Pemilik Chivas adalah Jorge Vergara yang juga memiliki klub legendaris Meksiko, Chivas Guadalajara. Di Los Angeles sendiri sudah berdiri LA Galaxy yang dikemudian hari membeli David Beckham. Pasar yang diambil LA Galaxy jelas: warga Los Angeles. Untuk membuat diferensiasi, Chivas pun memilih pasar Hispanik yang langsung terlihat dari nama mereka: Chivas.

Dengan ini. Vergara berharap bahwa para penggemar Guadalajara di Amerika Serikat juga turut mendukung Chivas USA. Akan tetapi, kenyataan seringkali tak seindah harapan.

Chivas versi MLS dibuat semirip mungkin dengan versi originalnya, termasuk logo dan corak kostum. Sayangnya, hal ini juga diterapkan pada pemilihan staf manajerial. Dari beberapa sumber di dalam klub, terdapat diskriminasi karena staf mesti hispanik atau latino. Mereka yang tak memenuhi kriteria diminta bekerja di tempat lain.

Anehnya, aturan ini tak terjadi pada pemilihan pemain. Di musim terakhirnya, Chivas hanya menggunakan satu pemain asli Meksiko, itupun karena pinjaman dari Guadalajara. Hal ini yang dianggap sebagia salah satu faktor mengapa suporter tidak merasa menyatu dengan klub yang mereka dukung. Faktor kedekatan yang ditawarkan justru tak terlihat di atas lapangan.

Tak Sesuai Kultur Amerika

Di olahraga manapun di Amerika Serikat, pemilihan nama klub umumnya didahului dengan nama kota. Embel-embel di belakangnya bisa bermacam-macam, mulai dari kata yang tengah populer, sampai tahun kelahiran klub. Misalnya Colorado Rapids, Dallas Cowboys di NFL, New York Yankees di MLB, hingga Houston Rockets di NBA.

Di sisi lain, Chivas justru kehilangan ke-identitasan-nya. Mereka mungkin mengincar pasar Hispanik, dan harus diakui itu berhasil. Akan tetapi mereka tidak memperhitungkan, ada seberapa banyak Hispanik yang mendukung mereka di LA? Kalau dari jumlah penonton di stadion, jelas tak lebih dari 10 ribu. Bahkan, di pertandingan terakhir menghadapi San Jose Earthquakes, penonton yang hadir cuma enam ribu. Padahal, itu adalah pertandingan perpisahan mereka.

Di sisi lain, bagaimana warga LA mau mendukung Chivas, kalau mereka terlihat begitu eksklusif hanya untuk warga Latino? Menjadi wajar kalau akhirnya tak ada yang peduli lagi pada Chivas, karena mereka lebih memilih LA Galaxy.

Bubarnya Chivas USA dan Keuntungan buat MLS

Garber sebenarnya sudah memprediksi kalau Chivas tak akan bisa bertahan lama. Ia sudah melihat strategi yang salah dalam pengelolaan Chivas. Garber lewat MLS bahkan mengambil alih Chivas dari Vergara di musim terakhir mereka.

Namun, hal ini menimbulkan pertanyaan. Apakah sistem kompetisi seperti MLS memang sudah sesuai untuk industrialisasi sepakbola? Atau sekadar kedok belaka?

Tidak mudah untuk membuat klub dan bermain di MLS. Investor mesti membeli saham MLS terlebih dahulu untuk kemudian mendapatkan persetujuan. Itu pun tidak mudah karena proses panjang yang mesti dihadapi, salah satunya soal stadion.

Penutupan Chivas terlihat sebagai upaya MLS agar tidak ada tim yang inkonsisten secara finansial. Pasalnya, tak berselang lama setelah bubarnya Chivas, MLS mengumumkan kalau akan ada kesebelasan baru di LA yang menggantikan Chivas.

Dilansir dari New York Times, Garber mengonfirmasi kalau ia sudah memikirkan untuk menutup Chivas sejak September untuk memberi slot pada kesebelasan baru. Garber pun secara terbuka kalau ia mencari grup pemilik kaya raya yang punya sumber daya dan koneksi untuk membuat stadion. Juga diperlukan komitmen untuk membentuk ulang tim untuk khalayak yang lebih luas.

Keinginan Garber ini jelas berbanding terbalik dengan Chivas yang punya segmen pasar terbatas dan fokus pada golongan tertentu. Di sisi lain, Garber ingin kesebelasan di MLS punya pasar luas dan global.

Demi Liga yang Lebih Baik

Buat penggemar Chivas, pembubaran ini jelas amat menyakitkan. Pasalnya, tidak sedikit dari mereka yang menjadi penggemar Chivas USA sejak awal. Namun, pengorbanan mereka itu agaknya sebanding dengan apa yang akan didapatkan MLS di kemudian hari.

Mulai musim 2018 ini, terbentuk Los Angeles FC yang menggantikan Chivas. Seperti yang sudah diprediksi pada empat tahun lalu, LAFC dimiliki grup Larry Berg, juga dijalankan oleh Henry Nguyen. Hebatnya, mereka tak akan lagi satu kandang bersama LA Galaxy, karena sedang membuat stadion baru yang rampung pada akhir April nanti.

Apabila melihat pada apa yang terjadi di MLS saat ini, jelas penutupan Chivas sebanding dengan apa yang didapatkan liga. Salah satunya adalah soal stadion. Saat ini, sejumlah kesebelasan masih menggunakan stadion American Football. Namun, mulai banyak yang membangun stadion sendiri khusus untuk sepakbola.

Manfaatnya bukan cuma bagus buat branding MLS, tapi juga untuk sepakbola Amerika Serikat di kemudian hari. Lantas, mengapa harus sedih saat Chivas bubar?