Claudio Ranieri adalah juru selamat. Siapa yang sangka kalau ia berhasil membawa Leicester City juara Premier League? Kemungkinannya sangat kecil. Lebih mungkin Rafael Alun mendapatkan hartanya dengan halal ketimbang The Foxes juara EPL.
Sejatinya, Ranieri adalah pelatih yang bagus kalau diberikan waktu untuk berproses dengan komposisi skuad yang tepat. Ada sejumlah momen penting dalam karier Ranieri yang membuatnya layak dianggap sebagai juru selamat.
Terangkat Karena Cagliari
Pada 1988, Ranieri direkrut oleh Cagliari. Kesebelasan yang berbasis di Pulau Sardinia tersebut adalah tim yang disegani pada era 1960-an. Namun, prestasi mereka menurun pada 1970-an dengan terdegradasi ke Serie C.
Ranieri sendiri bukan pelatih top saat itu. Ia cuma melatih tim amatir, Vigor Lamezia, dan tim papan bawah, Campania Puteolana. Ia berhasil membawa Cagliari promosi ke Serie A dari Serie C secara beruntun! Ia menjuarai Serie C1 pada 1988/1989 serta Coppa Italia Serie C pada 1989. Setahun kemudian, ia promosi ke Serie A.
Di Cagliari, ia dikenal menggunakan formasi taktik yang cair. Ini membuat tim asuhannya bisa mengubah bentuk bahkan formasi sepanjang jalannya pertandingan.
Pada musim pertamanya kembali ke Serie A, Cagliari harus bertarung di zona degradasi. Untungnya, mereka tampil bagus pada putaran kedua yang membuat Cagliari tak terdegradasi.
Setelah musim usai, Ranieri pindah ke Napoli. Meski didera masalah keuangan, ia membawa Napoli ke peringkat keempat dan tampil di UEFA Cup pada musim selanjutnya. Ia juga mempromosikan Gianfranco Zola untuk menggantikan posisi Diego Maradona yang tak bisa tampil.
Sejak saat itu, namanya mulai terangkat dan kian disegani di skena sepakbola Italia.
Membuat Fiorentina Promosi
Ranieri bergabung dengan Fiorentina pada 1993. Ia berhasil membawa La Viola juara Serie B yang membuat mereka promosi ke Serie A. Hebatnya, ia berhasil menjuarai Coppa Italia dan Supercoppa Italiana pada 1996.
Skuad Fiorentina saat itu dipoles dengan tajam oleh Ranieri. Ini membuat dunia mengenal nama-nama seperti Gabriel Batistuta, Rui Costa, dan Francesco Baiano. Pada musim 1995/1996, Fiorentina berhasil mencatatkan 15 pertandingan tak terkalahkan di Serie A!
Fiorentina pun sempat ada di peringkat kedua selama beberapa bulan. Sayangnya di akhir musim penampilan mereka menurun dan hanya finis pada peringkat keempat.
Semusim selanjutnya, Fiorentina berhasil mencapai semifinal Piala Winners 1996/1997 meski harus takluk dari Barcelona yang kemudian menjadi juara.
Juara Eropa di Spanyol
Pada 1997 Ranieri memutuskan pindah ke Spanyol dengan membesut Valencia. Cuma dua tahun ia di sana. Namun, ia berhasil membawa Valencia ke peringkat keempat La Liga. Capaian tertingginya adalah menjuarai Piala Intertoto pada 1998. Ia juga membawa Valencia jaura Copa del Rey pada 1999.
Meski cuma dua musim, tapi Ranieri dinilai begitu tinggi bagi publik Valencia. Ia dianggap berperan penting dalam keberhasilan Valencia untuk mencapai Liga Champions dan tetap stabil di La Liga.
Di bawah Ranieri, Valencia dikenal karena efisiensi serta soliditas di lini pertahanan dalam formasi 4-4-2. Yang paling terasa adalah pressing tinggi yang ia terapkan untuk mendapatkan kembali penguasaan bola. Valencia juga dilatih untuk bisa mencetak banyak gol lewat serangan balik.
Sejumlah pemain muda juga diorbitkan olehnya seperti Claudio Lopez, Gaizka Mendieta, Miguel Angel Angulo, dan Javier Farinos. Ia juga merekrut satu pemain penting untuk Valencia: Santiago Canizares.
Membangun Skuad Juara Chelsea
Ranieri pernah menangani Chelsea, tepatnya sejak 18 September 2000 hingga 31 Mei 2004. Ia berhasil membangun skuad yang bisa bersaing untuk meraih gelar juara Premier League.
Di musim terakhirnya atau pada 2003/2004, The Blues ada di peringkat kedua. Ini adalah peningkatan drastis dari musim ke musim setelah menempati peringkat keenam di musim 2000/2001 dan 2001/2002, serta peringkat keempat di musim 2002/2003.
Ranieri diprediksi bisa membawa Chelsea juara pada musim selanjutnya, Namun, manajemen The Blues memilih memecatnya dan menggantikannya dengan Jose Mourinho.
Ini menjadi hadiah yang indah buat Mourinho. Ia memang menambah kekuatan Chelsea dengan membeli pemain baru seperti Paulo Ferreira, Petr Cech, Arjen Robben, Mateja Kezman, Didier Drogba, Tiago, sampai Ricardo Carvalho. Akan tetapi, fondasinya sudah dibentuk oleh Ranieri.
Dan benar saja, di dua musim pertamanya, Mourinho berhasil menjuarai Premier League. Ini sekaligus merupakan gelar pertama The Blues dalam 50 tahun terakhir.
Namun, tanpa Ranieri, Mourinho akan kesulitan untuk meraih gelar Premier League pertamanya tersebut. Soalnya, ia mengandalkan para pemain rekrutan Ranieri seperti Glen Johnson, Claude Makelele, Alexey Smertin, Frank Lampard, Joe Cole, Damien Duff, William Gallas, hingga Eidur Gudjohnsen.
Mengembalikan Monaco ke Ligue 1
Monaco memang bukan klub Prancis. Akan tetapi, habitat mereka memang ada di Ligue 1. Saat mereka terdegradasi, Monaco menginginkan pelatih top untuk segera mengembalikan mereka ke habitatnya. Ranieri kemudian diberi kontrak dua tahun pada 30 Mei 2012.
Di musim pertamanya, Ranieri membawa Monaco menjuarai Ligue 2, yang mana merupakan gelar Ligue 2 pertama mereka sepanjang sejarah. Di musim keduanya, ia membawa Monaco menempati peringkat kedua di Ligue 1 musim 2013/2014 di belakang Paris Saint-Germain.
Meski mendapatkan hasil yang bagus, tapi kontrak Ranieri di Monaco tidak diperpanjang. Ia pun memilih menerima tawaran sebagai pelatih timnas Yunani yang hasilnya hancur lebur. Soalnya ia tidak tinggal di Yunani dan hanya melatih para pemain selama tiga hari. Ia pun sering mengganti line-up yang membuat para pemain kebingungan.
Monaco sendiri tidak bisa bicara banyak meski telah mengganti Ranieri dengan Leonardo Jardim. Capaian poinnya lebih rendah, hanya 71 poin di peringkat ketiga. Di sisi lain, Monaco yang dilatih Ranieri ada di peringkat kedua dengan 80 poin.
Keajaiban di Leicester
Pada 13 Juli 2015, Leicester City mengumumkan Ranieri sebagai manajer baru mereka. Penunjukkan Ranieri menghadirkan rasa skeptis baik dari para penggemar maupun pengamat sepakbola.
Alasan pertama, karena Ranieri yang berantakan saat menangani timnas Yunani. Alasan kedua, kepribadian Ranieri yang mudah bercanda jelas sangat berbeda dengan pendahulunya, Nigel Pearson, yang merupakan manajer “killer”. Sehingga, ada anggapan kalau Leicester ingin pria yang baik, maka mereka sudah tepat. Namun, kalau ingin sosok yang bisa membuat mereka bertahan di Premier League, Ranieri adalah pilihan yang salah!
Bagaimana tidak? Saat ditangani Pearson saja, Leicester sangat kesusahan. Di akhir musim 2014/2015, Leicester cuma ada di peringkat 14. Hanya berjarak enam poin dari zona degradasi!
Leicester mencatatkan awalan yang bagus. Hingga pekan ketujuh, mereka ada di papan atas. Perlahan, kemenangan demi kemenangan mereka raih. Dan pada pekan ke-22, hasil imbang atas Aston Villa, sudah cukup membawa mereka ke puncak klasemen. Sejak saat itu, Leicester tak pernah turun peringkat. Di akhir musim, Leicester keluar sebagai juara dengan jarak 10 poin dari Arsenal di peringkat kedua.
Keberhasilan Leicester terjadi karena perubahan pribadi Ranieri. Saat di Chelsea, ia dijuluki “The Tinkerman” karena kebiasaanya mengubah starting line-up. Ia pun tak mengulangi apa yang ia lakukan di Yunani, dengan selalu menurunkan line-up yang sama di Leicester. Skuad menjadi solid dan kemenangan terus diraih.
Leicester menggunakan taktik 4-4-2 dengan pressing ketat, pertahanan yang solid, dan serangan balik yang cepat. Sejumlah pemain pun jadi terangkat namanya seperti Jamie Vardy, Riyad Mahrez, N’Golo Kante, Marc Albrighton, Danny Drinkwater, Christian Fuchs, Robert Huth, Wes Morgan, hingga Kasper Schmeichel.
Hingga saat ini, banyak publik yang merasa kalau keberhasilan Leicester sebagai sebuah keajaiban. Soalnya, tidak ada yang menduga kalau mereka akan menjadi juara. Dengan skuad seadanya, tapi Ranieri bisa memaksimalkan kemampuan setiap pemain. Ditambah lagi, Premier League di musim tersebut memang menarik karena inkonsistennya tim-tim besar, yang memudahkan Leicester untuk menjadi juara.
Mengembalikan Cagliari ke Serie A Lagi
Pada 23 Desember 2022, Cagliari kembali mengontrak Ranieri sebagai pelatih kepala mereka. Cagliari saat itu sangat ingin meraih promosi. Saat itu, Cagliari masih memainkan pekan ke-18 dengan menempati peringkat ke-12.
Serie A sendiri mengenal sistem play-off untuk kesebelasan di peringkat ketiga sampai kedelapan. Sehingga, masih mungkin bagi Cagliari untuk mengincar babak play-off.
Di Cagliari, Ranieri tampil bagus. Ia memberikan sembilan kemenangan dan delapan hasil imbang dari sisa 19 laga. Cagliari pun berada di peringkat kelima. Mereka lolos ke babak play-off dan menghadapi Venezia.
Cagliari menang 2-1 dan menghadapi Parma yang sudah menunggu. Dari dua leg, Cagliari menang agregat 3-2. Di Final, Cagliari harus menghadapi tim peringkat ketiga, Bari.
Laga kembali digelar dalam dua leg. Cagliari sempat ditahan imbang 1-1 di kandang sendiri. Namun, saat tandang ke Stadio San Nicola, Cagliari menang 1-0 yang membuat mereka menang agregat 2-1.
Keberhasilan ini membuat Ranieri berhasil membawa Cagliari tiga kali promosi, yang dua di antaranya ke Serie A. Total, Ranieri pernah lima kali membawa sebuah tim promosi. Maka, wajar kalau ia dianggap sebagai seorang juru selamat.
Ironisnya, saat Cagliari promosi, mantan timnya, Leicester City, justru malah terdegradasi.