Bapak baptis Cristiano Ronaldo, Fernao Barros Sousa, memberinya jalan ke Nacional, klub terbesar di Pulau Madeira. Ia juga yang mengenalkannya dengan Joao Marques de Freitas, yang merupakan socios sekaligus punya relasi dengan Sporting CP.
De Freitas akhirnya menerbangkan Ronaldo dari Pulau Madeira ke Ibukota Portugal, Lisbon. Namun, hanya satu tiket yang dibeli Freitas. Artinya, Ronaldo, di usia 12 tahun, pergi sendirian.
Nyatanya kehidupan Ronaldo di Lisbon amatlah sulit. Adaptasinya hampir tak berhasil. Satu yang terkendala adalah soal dialek bahasa Portugis yang amat berbeda antara Madeirans dengan mereka yang tinggal di Lisbon.
“Dia punya masalah di sekolah. Anak-anak lain menertawainya, dan dia melawan. Pada satu titik, dia ingin pergi, tapi untungnya, dia tetap tinggal. Dia melalui masa-masa sulit,” kata De Freitas.
Satu titik yang dimaksud De Freitas adalah kala Ronaldo kembali ke Funchal, ibu kota Madeiras. Soalnya ada masa ketika Ronaldo sudah muak tinggal di Lisbon. Bahkan, ia hampir saja mengakhiri mimpinya sebagai pesepakbola dengan meninggalkan ibu kota.
Ini terjadi pada tahun kedua saat ia kembali ke Madeira. Hal ini dilakukan oleh Sporting karena mereka tak ingin ada pemain yang tak bahagia. Mereka tak ingin pemain yang memang tak ingin ada di sana.
“Jadi, mereka mengirim Ronaldo pulang ke Madeira,” kata Sousa.
Mengetahui hal ini, Sousa pun langsung ambil tindakan. Ia bilang pada Sporting bahwa Ronaldo harus tetap tinggal di Lisbon karena ia adalah masa depan keluarganya.
“Aku bisa melihat kalau ia punya masa depan sebagai pesepakbola, dan aku yakin karena di sesi latihan pertama di Lisbon, pelatih Osvaldo Silva, yang kini tak lagi bersama kita, bilang padaku kalau Ronaldo adalah sebongkah berlian. Dan itu meyakinkanku kalau dia tengah berada di tempat yang tepat,” kisah Sousa.
Setelah kejadian itu, Ronaldo tak pernah lagi menoleh ke belakang. Ia berusaha sekuat tenaga untuk menyesuaikan diri di dalam dan luar lapangan. Apalagi Akademi Sporting merupakan salah satu yang terbaik di Eropa.
Usai kejadian tersebut, Ronaldo mulai beraktivitas dengan rekan setimnya. Kemana-mana mereka selalu bersama-sama, mulai dari makan siang, pun saat beristirahat di asrama akademi.
“Mereka sudah seperti keluarga. Aku pikir ia berada dalam kondisi sulit awalnya, atapi aku belum ada di Sporting kala itu, tutur rekan Ronaldo, Christopher Almeida de Pilar kepada Goal.
Pilar bermain bersama Ronaldo di tim muda Sporting juga di tim muda Portugal. Ia mengatakan kalau hasrat Ronaldo untuk terus memperbaiki diri-lah yang membuatnya berbeda dengan pemain lain.
“Aku berpikir kalau kami punya sejumlah pemain berkualitas lain di Akademi Sporting. Tapi Ronaldo berbeda karena segala kerja keras yang ia lakukan, tidak begitu banyak saat sesi latihan, tapi justru setelahnya. Dia akan tetap tinggal dan berlatih selama setengah jam di bagian di mana dia kesulitan,” kata De Pilar.
Semakin dewasa, Ronaldo kian menonjol ketimbang rekan-rekannya yang lain. Dari cara ia berlatih, cara memotivasi rekan-rekannya, cara bagaimana ia mengoreksi mereka, kemamuannya untuk menang, kemauannya untuk mengesankan, ia terlihat lebih superior ketimbang yang lain.
“Kami semua ingin bermain sepakbola dan untuk menyenangkan orang tua kami. Tapi dia tidak. Mimpinya bukan hanya untuk menyenangkan keluarganya, tetapi semua orang yang memerhatikannya.”
Sumber tulisan: Ben Hayward dari Goal.
Baca seri lainnya soal Cristiano Ronaldo: (1) Cristiano Ronaldo, Tentang Masa Kecil dan Berkah Bapak Baptisnya (1) (2) Cristiano Ronaldo, dari Pulau Kecil ke Ibukota Portugal (2)