Saat berkostum AC Milan, Gennaro Gattuso dikenal dengan julukan “Si Badak”. Bukan tanpa alasan tentu julukan itu melekat kepadanya. Selain karena wajahnya yang garang dan selalu fokus, Gattuso juga tak segan untuk menerjang lawannya tanpa ampun.
Permainan keras Gattuso ini mungkin adalah sifat alami sang pemain. Namun, kenyataannya tidak demikian. Berdasarkan These Football Times, Gattuso justru merasa kalau dirinya secara mental agak kurang. Ia sering merasa takut untuk memegang bola dan melakukan kesalahan.
Sejatinya ada satu tempat di mana mental Gattuso ditempa. Tempat itu adalah Glasgow.
Gattuso mengawali karier profesionalnya bersama Perugia. Baru main 10 pertandingan, Rangers menawarinya kontrak selama empat musim. Manajer Rangers, Walter Smith, sudah memantau permainan Gattuso ketika ia terlibat dalam turnamen remaja di Prancis. Selain Gattuso, Smith juga mendatangkan tiga pemain Italia lain: Lorenzo Amoruso dari Fiorentina, Sergio Porrini dari Juventus, dan Marco Negri dari Perugia.
Di Rangers, hidup Gattuso tidak santai. Apalagi di tempat latihan. Banyak pemain senior yang dihajar tanpa ampun. Di tempat latihan sekalipun, Gattuso tak pernah mengendurkan determinasi dan permainan kerasnya.
Suatu ketika, Smith khawatir kalau para pemainnya cedera akibat permainan keras Gattuso. Sialnya, Gattuso tak bisa bahasa Inggris. Untungnya, Smith punya Paul Gascoigne. Pemain yang mengawali kariernya di Newcastle United ini pernah main di Lazio selama tiga musim, dari 1992 hingga 1995. Ia tahu sedikit-sedikit bahasa Italia. Jadilah Gascoigne sebagai penerjemah dadakan.
Kepada Gascoigne, Smith minta agar Gattuso bermain lebih rileks dan santai. Gascoigne pun menyampaikan pesan itu pada Gattuso. Di kemudian hari, Gascoigne mengungkapkan kalau alih-alih menyuruh Gattuso tenang, Gascoigne malah memberi pesan bahwa Gattuso harus lebih intens lagi agar mendapatkan tempat di tim utama.
Peran para pemain macam Gascoigne ini yang membentuk Gattuso. Gascoigne juga yang bikin pemain yang pensiun di Sion ini beradaptasi di Glasgow.
Baru beberapa hari tiba di Glasgow, Gattuso harus membeli setelan jas. Soalnya, ada aturan di mana Rangers ingin kembali ke era 1950-an di mana para pemain datang ke setiap sesi latihan dengan menggunakan jas.
“Aku masih remaja. Kamu beruntung kalau bisa melihatku mengenakan jaket setiap Minggu. Jas bukan gayaku,” kenang Gattuso.
Saat membeli jas, Gascoigne ikut untuk menemani. Ia mengajak Gattuso ke tukang jahit paling mahal di Glasgow. “Dia menyuruhku membeli tujuh atau delapan jas,” kata Gattuso.
Bukan tanpa alasan Gascoigne menyuruh Gattuso membeli banyak jas. Soalnya, Gascoigne bilang kalau tukang jahit itu sudah bekerja sama dengan klub. Sehingga pemain bisa memilih semua jas yang mereka inginkan dan uangnya akan diambil dari gaji mereka setiap bulan.
“Aku memilih jas, kemeja, dasi, dan saat di depan kasir, total semuanya mencapai 10 ribu paun,” ucap Gattuso.
Tak lama kemudian, Gattuso sadar kalau sebenarnya kerja sama antara tukang jait dengan klub itu tak pernah ada!
“Itu adalah cara Paul untuk membiarkannya membantuku, sesuatu yang dia putuskan sendiri tanpa ada yang menyuruh. Dia membayar jas itu dengan uangnya sendiri. Ini adalah Paul Gascoigne yang tak banyak orang tahu,” kenang Gattuso.
Gattuso senang dengan gaya sepakbola Britania. Apalagi gaya sepakbola Britania cocok dengan gaya mainnya.
“Aku mencintai gaya sepakbola Britania. Ini adalah soal berlarih 100 persen selama 90 menit dan menekel seperti pria. Di Italia, kalau Anda menekel seorang pemain, mereka akan merintih pada wasit. Orang Skotlandia tak akan melakukan itu,” ucap Gattuso.
Saat menjadi pemain utama, Gattuso melakukan tugas-tugas kotor di lapangan tengah, mendampingi Paul Gascoigne dan Stuart McCall yang lebih bagus secara teknik. Rangers pun mengajarkannya untuk menggabungkan agresivitas dengan loyalitas, karena itu yang dibutuhkan seorang team player.