“David Trezeguet adalah seekor ular, dia sedikit pendiam dan kemudian tiba-tiba dia membunuhmu,” ucap Arsene Wenger, pelatih asal Prancis yang menemukan bakatnya dan membawa ke AS Monaco, dilansir Sky Sports. Arsitek yang pernah melatih Arsenal dan harus menghadapi Trezeguet bersama Juventus itu bahkan sampai menjulukinya dengan ‘Cobra’, salah satu jenis ular paling mematikan.
“Trezeguet adalah pemain yang hidup dalam kotak penalti. Dia tidak akan membuatmu kesal selama setengah jam. Tapi, begitu kamu memberi kesempatan, dia akan langsung membunuhmu. Trezeguet adalah jenis ular seperti itu, dia adalah seekor kobra. Dia punya kecerdasan luar biasa dalam kotak penalti dan rasa antisipasi yang hebat,” kata Wenger menambahkan komentarnya soal sang striker.
Awal yang Tak Mudah
Perjalanan karier Trezeguet di Juventus dimulai dengan cara tidak mudah. Meski memenangkan Piala Dunia 1998 dan jadi pahlawan di Euro 2000 bersama Prancis, tapi tak ada jaminan tempat baginya di Turin. Dia pun sempat lebih banyak menghangatkan bangku cadangan pada awal musim debutnya, sementara itu duo striker Italia Alessandro Del Piero dan Filippo Inzaghi menjadi starter di lini depan.
Tetapi, Trezeguet yang saat itu masih berusia 23 tahun mampu menunjukkan kualitasnya; mencetak 14 gol dan jadi top scorer klub di Serie A musim 2000/2001. Hanya saja, dia tetap belum mendapat kepercayaan sepenuhnya dari pelatih Carlo Ancelotti. Del Piero dan Inzaghi tetap jadi pilihan utama, sementara Trezeguet masih harus bersaing dengan Darko Kovacevic, bahkan juga Vincent Pericard.
Karena itu pula, pemain berdarah Argentina, tempatnya dibesarkan dan memulai karier tersebut pun sempat membahas kemungkinan pindah ke Liverpool pada saat itu. Namun, nasibnya berubah ketika Inzaghi dijual ke AC Milan setelah hubungannya dengan Del Piero menjadi tegang di dalam dan di luar lapangan. Seiring itu, datang pula manajer baru Marcello Lippi yang akhirnya lebih memilih dia.
Poacher yang Sempurna
Sejak jadi andalan tim, Trezeguet langsung merespons dengan tegas; mencetak 24 gol dan merebut gelar capocannoniere alias pencetak gol terbanyak Serie A. Bahkan dia pun memborong penghargaan Pemain Terbaik dan Pemain Asing Terbaik Serie A, sekaligus membawa I Bianconeri meraih Scudetto 2001/2002. Bersama Del Piero, dia mencetak gol di pekan terakhir untuk mengamankan gelar juara.
Trezeguet pernah mengomentari menggambarkan dirinya sebagai ‘player of the area’, pemain yang suka menyuplai bola untuk penyerang utama. Namun, kenyataannya, dia adalah seorang ‘poacher’, istilah yang sering digunakan untuk seorang striker, merujuk pada pemain ujung tombak yang sering berkeliaran di dalam kotak penalti lawan untuk menciptakan peluang dan mencetak gol bagi timnya.
Pria kelahiran 15 Oktober 1977 itu menunjukkan kemampuan seorang ‘poacher’dengan sempurna dalam setiap penampilannya, dengan naluri membunuhnya yang selalu membuncah. Tak jarang para pemain bertahan menggaruk-garuk kepala atau saling mencaci-maki setelah terpelongo menyaksikan Trezeguet berhasil mencetak gol luar biasa dari peluang yang tampaknya sama sekali tak berbahaya.
Dia adalah seorang pemain yang sangat oportunis, pintar memanfaatkan peluang dan bola lepas di area kotak penalti, dengan kecepatan di atas rata-rata dan tendangan yang akurat. Tidak hanya itu, postur setinggi 1,9 meter membuatnya unggul dalam duel udara dan mampu membuat gol akrobatik. Tak salah jika dijuluki ‘Trezegol’, mengacu pada julukan bomber Argentina Gabriel Batistuta, ‘Batigol’.
Cinta yang Nyata
“Saya lebih menyesali kegagalan penalti ini dibandingkan Piala Dunia karena saya merasa tim ini milik saya; di sini saya jalani momen terbaik dan terjelek di klub ini,” katanya suatu ketika mengomentari kegagalannya saat mengeksekusi penalti di final Liga Champions 2002/2003, yang membuat Juventus kalah dari AC Milan, sebelum terulang lagi di final Piala Dunia 2006 yang juga berujung kekalahan.
Memang tak ada gading yang tak retak; begitu pula kesempurnaan Trezeguet pun diwarnai banyak kegagalan. Kariernya juga sering dibatasi cedera. Pada musim 2002/2003 itu, setelah hancur bersama Prancis yang berstatus juara bertahan di Piala Dunia 2002, dia melewati banyak laga karena cedera, meski tetap bisa membantu klub mempertahankan gelar. Kondisi itu terulang dua tahun kemudian.
Mungkin itu pula yang membuat Trezeguet melihat dirinya lebih rendah, selain karena dia memang selalu merendah. “Itu (Golden Ball) pantas untuk pemain yang menghibur orang, seperti Ronaldinho atau Zlatan Ibrahimovic,” ujarnya mengomentari peluang memenangkan gelar Pemain Terbaik Eropa 2004. “Yang pasti, para pencetak gol selalu memberikan kesenangan. Tapi jika saya penggemarnya, mereka akan jadi pemain yang ingin saya lihat. Merekalah yang membuat para penonton berteriak.”
Tapi, skandal Calciopoli akhirnya menunjukkan siapa yang akan dicintai selamanya oleh publik Turin. Saat tenaganya masih diharapkan Liverpool, Trezeguet memilih bertahan bersama Juventus di Serie B, sedang Ibrahimovic menyeberang ke Inter Milan. Dia berjuang bersama Del Piero, juga Gianluigi Buffon, Pavel Nedved dan Mauro Camoranesi untuk kembali ke Serie A. “Ini merupakan kisah cinta yang nyata, David akan selalu berada di hati semua pendukung Juventus,” ungkap Andrea Agnelli.
Sumber: Planetfootball, Sky Sports,