Dennis Bergkamp (1): Alasannya Tak Ingin Menjadi Manajer

Setelah pensiun dari sepakbola pada 2006, Dennis Bergkamp meyatakan kalau dirinya tak akan melanjutkan karier sebagai pelatih. Ia juga menolak tawaran sebagai pemandu bakat Arsenal. Di sisi lain, dia memilih untuk travelling dan menghabiskan waktu bersama keluarganya.

Baru pada April 2008, ia mengambil kursus kepelatihan Coach Betaald Voetbal dari KNVB. Tak lama kemudian, ia ditunjuk sebagai asisten pelatih Johan Neeskens buat timnas Belanda B.

Pada musim 2008/2009, Bergkamp kembali ke Ajax sebagai pelatih di tim muda U-12. Ketika Frank de Boer diangkat sebagai manajer Ajax pada Desember 2010, Bergkamp ditunjuk sebagai asisten manajer Fred Grim di tim Ajax U-19.

Kariernya menanjak pada Agustus 2011 ketika ditunjuk sebagai asisten Frank De Boer di tim senior Ajax. Peran ini ia lakukan sampai kehadiran Peter Bosz sebagai pelatih kepala. Peran Bergkamp di Ajax berubah. Ia tak lagi tampak di bench karena fokus pada latihan dan membantu pemain muda promosi ke tim utama. Pada Desember 2017, Bergkamp dipecat dari posisinya.

Bergkamp Punya Filosofi

Bergkamp punya mantra: practice makes perfect; baik sebagai pemain maupun ketika melatih. Ia adalah tipikal pemain yang bisa menyelesaikan masalahnya sendiri, tak perlu pelatih atau manajer untuk itu. Meski demikian, Bergkamp selalu menghormati filosofi dan sistem yang diterapkan oleh manajer.

Untungnya, dari semua manajer yang pernah melatihnya, tidak ada yang pernah memintanya mengubah gaya mainnya. Malah, Johan Cruyff dan Arsene Wenger justru sesuai dengan filosofinya dan itu amat membantunya.

Ketika menjadi pelatih, Bergkamp justru senang dengan tantangan. Misalnya menghadapi pemain yang marah padanya, atau memandu pemain yang tak tahu harus melakukan apa secara teknik ataupun taktik.

Bergkamp sendiri tak bekerja full-time sejak meinggalkan Ajax pada 2017. Di samping itu, ia memang tidak mencari pekerjaan di sepakbola. Namun, ia sebenarnya sangat ingin kembali ke tempat latihan karena itulah yang ia cintai dalam hidup.

Ingin kembali ke tempat latihan tak membuatnya ingin menjadi pelatih kepala. Soalnya, itu bukan ambisi Bergkamp yang menginginkan kebebeasan. Ia masih ingin menghabiskan waktu dengan keluarga dan punya kehidupan di luar sepakbola.

Namun, ia tak ingin peran sampingan seperti “pelatih penyerang” yang cuma datang dua atau tiga kali seminggu. Soalnya, itu akan terlalu terbatas. Bergkamp ingin berperan sebagai orang yang bicara dengan pemain soal permainannya baik secara taktikal ataupun pribadi.

“Apa yang ada di pikiranku adalah peran yang bekerja buatku di Ajax yang mana seperti yang aku lakukan ketika menjadi pemain, sedikit di antara batas. Aku bukan benar-benar seorang penyerang atau gelandang, tapi ada di antaranya,” kata Bergkamp.

Sebagai pelatih, ia ingin terlibat dengan tim utama, tapi kekuatan atau kemampuan utama Bergkamp adalah membawa pemain muda ke tim utama.

Peran Baru Sebagai Jembatan

Bergkamp mengandaikan tim utama dan tim muda itu bagaikan dua pulau. Peran yang diemban Bergkamp kurang lebih sebagai jembatan di antara mereka. Dan tentu saja, Bergkamp ingin para pemain muda ini berhasil.

Ini yang dilakukannya di Ajax. Ia bukanlah asisten manajer tim utama. Akan tetapi, ia ada di tempat latihan. Dan peran macam ini, menurut Bergkamp, mestinya diterapkandi tim Eropa lain yang punya sistem akademi yang bagus dan kuat.

Pemain alumnus akademi punya keuntungan besar buat klub. Soalnya, mereka tak perlu beradaptasi dengan klub baru ata negara baru. Mereka sudah nyaman dan siap kapanpun tim utama membutuhkan mereka.

Untuk menunjang hal ini, Bergkamp berharap ada aturan dari FIFA. Sebelumnya, mereka mendiskusikan “Six and Five” di mana harus ada lima pemain homegrown di tim. Sialnya, tim besar lebih memilih untuk membeli pemain homegrown yang sudah jadi ketimbang berinvestasi di akademi.

“Yang mana itu memalukan,” kata Bergkamp.

Ini juga yang terjadi di Arsenal. Mestinya, mereka tak melulu mererkut pemain bernama besar di tiap posisi. Soalnya, The Gunners punya bakat bagus dari tim akademi.

Satu hal yang sulit dimiliki adalah kesabaran. Soalnya, tim besar kalau tak mengeluarkan banyak uang, maka dibutuhkan waktu untuk membangun sesuatu. Yang terpenting adalah percaya pada manajer dengan filosofi dan gaya bermainanya. Karena manajer bisa meningkatkan potensi pemain meski hanya beberapa persen.

Sumber: BBC.com