Derbi Eternal Kroasia (2): Persatuan dan Peperangan

Beberapa jam sebelum pertandingan, pendukung Hajduk Split bertemu di Stari Plac yang merupakan markas Torcida, Ultras Split. Torcida ingin membuat perasaan mereka semakin jelas. Sebab Split pernah merasa tunduk pada mantan ibu kota Yugoslavia, Beograd, sekarang mereka merasakan kepahitan yang sama terhadap Dinamo Zagreb.

Bagi pendungnya, Split adalah cara hidup. Ketika industri pembuatan kapal padam, kota terpaksa mengandalkan pariwisata sebagai sumber utama kekayaan pasca perang. Dengan penduduk setempat yang dipaksa keluar untuk membuat hotel dan apartemen libuaran, pariwisata dapat mengikis identitas.

Kroasia sangat terpusat dengan banyak orang pindah ke ibu kota untuk belajar dan bekerja. Split, jauh menyusuri pantai Adriatik, terasa diabaikan. “Kami membayar pajak kami dan Zagreb mendapatkan manfaatnya. Jadi selalu begitu,” pesan para pendukung Split.

Kesebelasan berjuluk The Whites itu adalah penangkal dan agama dan satu-satunya lembaga sosial yang benar-benar masih milik mereka. Ini adalah klub yang dimiliki oleh masyarakat. Setiap menara dan dinding cadangan dihiasi dengan lambang Split. Di luar apartemen, gambar ikon seorang pria mengenakan bandana dan kaca mata hitam dipulas di dinding.

Memberi penghormatan kepada seorang pemimpin Torcida dari 1980-an yang menjadi insiprasi sampai hari ini. Sebagian besar ultras Split maupun Zagreb memiliki kisah dipukuli oleh pendukung rival. Beberapa memiliki bekas luka yang bertindak sebagai pengabdian mereka.

Seiring dengan kesenjangan yang semakin besar, kepahitan dan ancaman kekerasan yang tersisa masih ada. Pada 2004, sebuah mobil pendukung Zagreb disergap dan suar dilemparkan ke dalam mobil sehingga memaksa mereka keluar dari mobil dan lalu dipukuli. Sekelompok pendukung Split pernah membobol stadion Poljud untuk menggali 11 lubang kuburan di dalam lapangan.

Halaman rumah Niko Kranjar pernah dipasang spanduk dan lilin seperti upacara kematian ketika pindah ke Zagreb ke Split pada 2005. Pada 2010, kekerasan di dalam Stadion Maksimir meluas ke jalanan. Dalam pertempuran antara pendukung dengan polisi. Seorang anggota kehilangan matanya dan satu pendukung ditembak di bagian perutnya.

Maka dari itu sekitar 90 menit sebelum sepak mula, 40 kendaraan polisi anti huru-hara dan penjaga keamanan yang tak terhitung jumlahnya berpatroli. Sementara kendaraan dan pasukan tambahan menemui sekitar 500 pendukung lawan untuk dikawal ke dalam stadion.

Tugas polisi saat derby memang menawarkan perlindungan meskipun dalam intimasi yang berat. Tapi kedua klub ini berbagi sejarah rasisme dan anti-semitisme. Pendukung Zagreb pernah mendapatkan larangan satu pertandingan ke stadion dan denda karena perilaku rasis ketika melawan Benfica dalam Liga Eropa.

Sementara Split menerima hukuman yang sama untuk aksi yang sama dalam kompetisi yang sama.

Zdravko Mamic Sebagai Musuh Bersama

Tapi bagi dua pendukung rival yang saling benci ini, ada banyak yang menyatukan mereka. Mereka berbagi satu tujuan bersama-sama. Yaitu kebencian terhadap pendirian yang mereka percayai telah membuat sepakbola Kroasia kekurangan dana. Tapi tetap saja, rasa benci sebagian pendukung Zagreb kepada Mamic lebih besar daripada yang dimiliki para pendukung rival mereka.

Para pendukung Zagreb memanfaatkan setiap kesempatan untuk memprotes Mamic. Sebab ia tidak pernah menawarkan hak kontribusi dan melibutkan kepada para pendukungnya. Akibatnya, stadion Dinamo Maksimir pernah cuma disaksikan 6.000 penonton dan bahkan rata-rata 4.600 penonton karena boikot dari sebagian besar pendukung Zagreb yang merasa identitas mereka dirampok.

Di sisi lain, hanya satu spanduk yang dapat dilihat di Tribun Utara Stadion Poljud kandang Split. Yaitu spanduk berlatar belakang hitam dan huruf putih secara kasar yang diterjemahkan sebagai “The swamp that is Croatian Football”. Seruan itu adalah persatuan melawan musuh bersama.

Mereka ingin melawan iblis yang menghantui sepakbola Kroasia. Federasi sepakbola negera secara luas dianggap korup, busuk dan glamor. Davor Suker yang pernah menjadi ikon, menjadi sosok yang sangat dibenci. Dari penyerang bintang menjadi figur kemarahan karena dituduh sebagai frontline untuk Mamic.

Meskipun rasa benci kepada Suker tidak sebanyak kepada Mamic yang digambarkan sebagai penguasa boneka sepakbola Kroasia. Dia dianggap memiliki kekuatan untuk merombak manajer atau memecah belah pemain tim nasional. Mamic pun akhirnya dijatuhi hukuman enam setengah tahun karena penipuan transfer pada tahun 2018 dan kemudian melarikan diri ke pengasingan di Bosnia.

Elemen kebudayaan pendukung sepakbola di Kroasia seperti itu memang tidak bisa diabaikan. Pada 2013, Torcida dan Bad Blue Boys, Ultras Zagreb, datang bersama-sama dalam tindakan menentang terhadap dugaan salah urus oleh otoritas sepakbola. Mereka berdiri di teras yang sama selama dua pertandingan dan berbaris menuju Zagreb bersama-sama untuk melakukan protes.

Pada tahun yang sama, seorang Torcida berusia 18 tahun dipukuli hingga tewas oleh polisi. Tetapi tetap saja tidak ada persahabatan dalam derbi. Sampai batas tertentu, ini adalah persaingan yang dibentuk melalaui kebutuhan dan tidak adanya saluran lain untuk memenuhin hasrat mereka.

Meskipun Kroasia sukses di panggung dunia, ada sedikit budaya pendukung sepakbola yang melekat di negara ini. Kehadiran menurun ketika tim berkinerja buruk. Derbi adalah kesempatan untuk dilepaskan, hari kebanggaan sipil di klub dan kita. Tapi untuk saat ini, Split sedang berjuang melawan arus.

Gairah Dukungan yang Berbeda

Stadion Poljud dibangun agar tahan gempa. Pendukung Split menguji teori itu dengan cara membuat stadion ini selalu bergetar. Datangnya hujan atau langit yang cerah, menang atau kalah, volume suara dan emosi dalam nyanyian Split sampai akhir pertandingan tidak pernah berubah.

Satu-satunya respon terhadap kesulitan adalah mengucapkan dua kali lebih keras, bangkit dua kali lebih keras dan mengguncang stadion dua kali lebih banyak. Dukungan Split sangat besar dan tak bersyarat. Pertandingan melawan Inter di babak kualifikasi Liga Eropa.

Stadion Poljud yang penuh sesak tidak pernah berhenti bersorak untuk pemain yang bertarung di lapangan. Bahkan saat sudah kalah 3-0. Padahal saat itu, Split berada di ambang kebangkrutan dan masa depan tampak jauh dari pasti. Tetapi mereka menemukan kebanggaan di dalam rasa kehilangan dan kesulitan.

Pendukung Split secara kolektif dikenal sebagai Torcida dan didirikan pada 1950 adalah kelompok pendukung tertua yang terorganisir di Eropa. Mereka bukan ultras atau firm biasa, kegiatan mereka mencakup lebih dari pembuatan spanduk, melantunkan lagu dan menampilkan koreofrafi.

Pada dasarnya ini adalah gerakan rakyat yang telah menjadi kekuatan paling konstruktif di Hajduk. Merekalah yang tetap menghargai klub meski dalam keadaan tidak baik-baik saja.

“Hajduk adalah cinta. Sebelum hal lain, itu adalah cinta. Itu adalah sesuatu yang kamu miliki sejak lahir. Setiap orang di kota ini memiliki sesuatu yang jauh di dalam diri mereka. DNA Hajduk. Ini bukan sesuatu yang dapat dibeli dengan uang,” ungkap Damir Buric, mantan Manajer Split.

Meskipun mereka tidak menyukai Split, tapi pendukung Zagreb mendambakan hal yang dimiliki Split. Yaitu berdiri penuh dalam suasana yang hebat dan tim terbuat dari pemain berkarakter yang mengetahui nilai-nilai seragam mereka yang dikenakan di atas segala-galanya.

Para pendukung Zagreb pernah menyiapkan spanduk bertuliskan “Kebebasan untuk Dinamo”. Meski pemain Zagreb merayakan kemenangan tandang di Split, tapi pendukung tuan rumah di Poljud menghiraukan aksi mereka. Pendukung Split lebih terikat oleh persahabatan dan kebanggaan di dalam putus asa dengan nyanyian seperti sepanjang pertandingan.

Pendukung Split akan menjadi gila, siap untuk mendukung pemain mereka di luar batas mereka. Hidup mereka seperti bergantung pada pertandingan ini. Petualangan mereka di kompetisi dibiarkan dalam bayang-bayang Zagreb, rival mereka selama-lamanya. Sejauh pendukung sepakbola pergi, Torcida sangat sabar.

Mereka mungkin harus menyanyikan lagu berkabung mereka. Tapi yang sekarang memberikan mereka kekuatan adalah keyakinan bahwa Split melakukan hal yang benar. Mereka tidak mengejar gelar sekarang. Mereka sedang membangun masa depan yang lebih baik dan berkelanjutan dan mereka merasa itu adalah bagian dari sesuatu yang lebih besar.

Sementara rival terberat mereka menginginkan hal yang sama, tak lebih dari trofi baru.

Sumber: BBC, Bleacher Reports, Goalsantimunez.fandom, Total Croatia Football, Wiki Visually, World Soccer