Derby della Capitale: Awal Mula Cerita Rivalitas Tepanas di Italia

Foto: Rabonamag.com

Sudah menjadi hal lazim di Italia ketika sistem regionalisme membuat orang di sana lebih bangga disebut asal kedaerahannya ketimbang mengaku sebagai bangsa negaranya sendiri.

“Italia bukanlah negara bersatu seperti Amerika Serikat. Orang-orang di sini lebih menganggap diri mereka sebagai Roman, Tuscan, atau Sisilia, dibanding menganggap diri mereka sebagai Italia,” jelas Franco Spiciariello, seorang penulis olahraga di Kota Roma, seperti dikutip dari Detik Sport.

Nah, di dalam pertempuran Derby della Capitale, melibatkan perjuangan dua klub Ibukota Italia di Kota Roma untuk menunjukan karakter siapa yang lebih Romawi. Seperti dalam mitologi Romawi yang menceritakan dua saudara bernama Romulus dan Remus, legenda yang diyakini sebagai pendiri Kota Roma. Dua bersaudara itu berselisih untuk meraih tampuk kekuasaan dan harus saling membunuh.

Perseteruan ini baru berakhir saat Romulus membunuh Remus. Kemudian Roma berlanjut menjadi cerita sebuah kekaisaran tanpa akhir alias keabadian. Tak ayal sebutan Eternal City (Kota Abadi) didaulat sebagai julukan Kota Roma. Suatu frasa yang berhubungan dengan keadaan utopis Roma pada awal 1900-an.

Mitologi dan frasa itulah yang menjadi arti lain dalam laga epik nan heroik di Stadion Olimpico jika mempertemukan rivalitas antara AS Roma dan SS Lazio. Tak ada pilihan lain bagi pertandingan Derby della Capitale itu, yaitu membunuh atau dibunuh.

Siapa yang Paling Roman?

Pada awalnya, perseteruan Roma dengan Lazio tidak lepas dari kebencian klub-klub sepakbola Italia daerah selatan terhadap kawasan utara yang didominasi AC Milan, Internazionale Milan dan Juventus. Hal itu yang membuat salah satu tokoh fasisme dunia, yaitu Benito Musollini, ingin menyatukan kesebelasan sepakbola berbasis di Kota Roma pada 1927. Tujuannya agar menyeimbangkan sepakbola di Italia agar tidak hanya didominasi kawasan utara saja.

Tapi karena pengaruh jenderal fasis bernama Giorgio Vaccaro, cuma Lazio yang menolak bergabung dengan kesebelasan lain, yaitu Fortitudo-Pro Roma SGS, Roman FC dan SS Alba-Audace pada musim panas 1927 untuk menjadi AS Roma. Wajar karena gengsi Lazio sebagai identitas kaum borjuis pada zaman itu yang menjadi perlawanan Roma dan pendukungnya sebagai basis proletar.

Penolakan Lazio untuk bergabung itulah yang menjadi segala sumber permusuhan abadi mereka dengan Roma. Lazio yang menolak bergabung sehingga menjadi klub sepakbola paling tua di Roma, mereka mengklaim sebagai roman sejati karena berdiri pada 1900 dan merger baru dilakukan 27 tahun kemudian. Sementara pendukung Roma keukeuh menganggap Lazio bukanlah klub sepakbola asil dari Kota Roma karena rivalnya itu sejatinya berasal dari luar kota tersebut.

Anggapan itu bisa tercermin melalui bagian terbesar pendukung Lazio adalah pendatang dari kawasan utara di daerah Parioli, Prati, Flaminio, Cassia dan Monte Mario yang cukup jauh melengkungi Kota Roma. Maka dari itu pendukung Roma sering menyinggung pendukung Lazio adalah penduduk pinggiran kota yang borjuis.

Semakin Panas di Kandang Bersama

Derby della Capitale pertama dimainkan pada 8 Desember 1929 dengan hasil 1-0 untuk Roma berkat gol Radolfo Volk di Lapangan Rondinella kawasan Pariole yang merupakan kandang Lazio pada waktu itu. Lapangan Rondinella dipakai karena Lazio didirikan di daerah Rione Prati. Sementara Roma bermain di Motovelodromo Appio dan kemudian pindah ke Rione. Kemudian Lazio baru berhasil memenangkan derby pertamanya pada tanggal 23 Oktober 1932 dengan skor 3-0.

Tensi Derby della Capitale semakin panas setelah Roma dan Lazio menempati markas yang sama di Stadion Olimpico sejak 1953. Jatah pendukung Lazio ditempatkan di tribun utara dan Roma di tribun selatan. Derby pertama di Stadion Olimpico berakhir imbang 1-1. Carlo Galli menyumbang gol untuk Roma dan Pasquele Vivolo menyamakan bagi Lazio. Seiring dengan waktu, kebencian menjadi sesuatu hal yang mesti dilestarikan oleh kedua kubu.

Rudi Garcia yang merupakan mantan pelatih Roma asal Prancis pun tahu betapa besarnya aroma kebencian pada laga Derby della Capitale. “Derby ini tidak dimainkan, tapi harus dimenangkan,” Tegasnya seperti dikutip dari The Guardian

Pertandingan Derby della Capitale paling panas terakhir bisa dibilang terjadi pada Desember 2016 yang dimenangkan Roma dengan skor 2-0. Pada saat itu, Danilo Cataldi, gelandang Lazio waktu itu, mencoba mengganggu Kevin Strootman, gelandang Roma waktu itu, yang merayakan gol pembuka gol pertama pertandingan tersebut. Kemudian Strootman membalasnya dengan menyiramkan air kepada wajah Cataldi.

Insiden itu memicu keributan di dalam lapangan sehingga Cataldi diganjar kartu merah dan Strootman mendapatkan kartu kuning.  Panasnya tensi berlanjut ke luar lapangan. Senad Lulic, full-back kiri Lazio, meledek Antonio Rudiger, bek tengah Roma waktu itu. “Dua tahun lalu di Stuttgart, (Rudiger) menjual kaus kaki dan ikat pinggang. Sekarang dia tiba-tiba fenomenal,” kata Lulic sesudah pertandingan.

Dia berkomentar demikian karena Rudiger mengatakan tidak tahu apa pun tentang Lazio saat diawawancara sebelum pertandingan. Sementara sindirannya tentang penjual kaos kaki dan ikat pinggang, merupakan stereotipe imigran kulit hitam di Stuttgart. Lulic tidak meminta maaf usai berkata demikian. Tapi Direktur Komunikasi Lazio, Arturo Diaconale, berusaha melakukan permintaan maaf atas nama klubnya.

“Klub menyesalkan komentar-komentar ini. Saya minta maaf atas nama klub dan Senad Lulic. Ini adalah komentar yang dibuat di saat panas setelah kekalahan derby” katanya.

Pertandingan Derby della Capitale terakhir, digelar pada 29 September lalu dan dimenangkan Roma dengan skor 3-1. Sebelum pertandingan, gelandang baru Roma sekaliber Javier Pastore pun tahu betapa pentingnya laga ini. “Kami ada di kota di mana derby sangat berarti. Kami harus bekerja lebih keras untuk memenanginya demi fans dan klub. Kami harus menang, tidak ada kemungkinan lainnya,” katanya seperti dikutip dari situs resmi klub.

Derby della Capitale Lebih Terpusat Ketimbang Rivalitas Lain

Derby della Capitale tidak lebih bersahabat dari Derby della Mole di Kota Turin atau Derby della Madonnina di Kota Milan. Masyarakat tidak akan terlalu membicarakan kemeanangan terakhir dalam Derby Milan. Di sana tidak memusingkan siapa yang mendukung Inter Milan maupun Milan kecuali kelompok ultras. Sebab pendukung kedua kesebelasan itu tidak hanya berada di Kota Milan karena hampir tersebar di seluruh Italia secara umum.

Sementara jika di Kota Roma, masing-masing suporter memiliki pendiriannya. Bahwasannya siapa pendukung Roma dan Lazio. Inilah yang membuktikan bahwa rivalitas Derby della Capitale justru menjadi pelampiasan. Yaitu sebagai penentuan menjadi yang terbaik di Kota Roma. Bukan menjadi peperangan melawan kesebelasan sepakbola asal Italia bagian utara meskipun pada hakikatnya begitu sampai sekarang.

Hasil pertandingan terakhir pun akan terus dibicarakan masyarakat di seluruh penjuru Kota Roma. Maka dari itu pertandingan yang mempertemukan Roma dengan Lazio merupakan salah satu laga yang paling ditunggu di dunia. Pasalnya, laga itu selalu menghadirkan pertandingan menarik dengan tempo yang cepat dan juga keras. Tak jarang duel ini berakhir dengan banyak gol. Situs Football Derbies menempatkan Derby della Capitale sebagai pertandingan paling panas di Italia sehingga tidak pernah kekurangan drama dalam setiap pertemuannya.

Sumber lain: ESPN FC