Derby della Lanterna (1): Rivalitas Berlandaskan Warisan Fasisme

Laga Derby della Lanterna adalah salah satu yang paling ditunggu-tunggu di kalender sepakbola Italia. Di luar Italia, nama Derby della Lanterna antara Genoa CFC dan UC Sampdoria memang tak setenar Derby Roma atau Derby Milan yang memiliki penggemar secara global. Tapi justru hal ini memberikan perasaan lebih menarik ketimbang derbi besar di Italia yang mendunia. Tapi bagi rakyat Genoa, Derby della Lanterna menjadi sesuatu yang istemewa.

Alasannya karena Derby della Lanterna jadi tidak banyak diketahui orang lain, sehingga semangat dan perhatiannya, jauh lebih padat berada dari kawasan semenanjung itu saja. Berada di kawasan semenanjung itu karena nama Derby della Lanterna diambil dari Torre Della Lanterna. Nama Lanterna adalah sebuah landmark mercusuar tua di Pelabuhan Genoa yang sudah bediri sejak abad ke-12, sehingga menjadi pintu masuk sekaligus titik nol bagi sejarah sepakbola ke tanah Italia.

Maka dari itu Genoa punya sejarah panjang sebagai klub tertua di Italia yang masih ada sampai sekarang. Genoa didirkan oleh para ekspatriat Inggris di Italia pada 1893, sehingga punya akar bendera Inggris yang begitu kuat sejak berdiri. Logo kesebelasan berjuluk II Grifone ini juga memiliki unsur bendera Inggris. Awalnya, entitas Genoa berfokus pada cabang olahraga kriket dan atletik yang begitu populer di Inggris.

Namun, perkembangan dan kultur sepakbola yang cukup kuat di Italia, mebuat mereka juga membentuk sebuah kesebelasan sepakbola. Hebatnya, dari awal terbentuk, Genoa memenangkan kejuaraan Italia pertama pada tahun 1898 dan kemudian menjadi kekuatan dominan paling awal di sepakbola Italia begitu luar biasa. Sembilan gelar kompetisi teratas Italia telah dimiliki dalam tiga dekade pertama keberadaan mereka.

Sebuah rekor fantastis yang tak tertandingi pada zaman itu. Pada mula-mula sepakbola berkembang di Italia, ada tiga klub di kota terbesar keenam di Italia tersebut, selain Genoa CFC, ada Society Andrea Doria dan Sampierdarense. Di antara ketiganya, Genoa menjadi yang terkuat. Doria hanya menang tujuh kali dari 44 pertemuan, sementara Genoa memenangi 28 pertandingan hingga 1946.

Nasib serupa dialami Sampierdarense. 13 pertemuan melawan Genoa hanya berbuah satu kemenangan bagi Sampierarense yang sering disebut juga Sampier. Sebenarnya wajar jika Genoa memilki skuat lebih hebat karena merupakan klub tertua. Di luar Genoa juga ada beberapa kesebelasan dari kota-kota lain di Italia. Keberhasilan Genoa itu tak lepas dari arahan dua asalh Inggris, yaitu James Rihcardson Spensley dan William Garbutt.

Ada yang mengatakan Garbutt yang tak memiliki pengalaman melatih ini, ditunjuk oleh salah satu pelatih legenda di Italia, Vittorio Pozzo. Juga ada juga yang menyebut bahwa Garbutt adalah rekomendasi Thomas Coggins, seorang Irlandia di Genoa. Garbutt merupakan mantan pemain Reading, Woolwich, Arsenal dan Blackburn Rovers yang pensiun pada usia 29 tahun. Ketika melatih Genoa, Garbutt mengisi skuatnya dengan para pemain Inggris.

Pada 1912, terdapat delapan pemain Inggris yang menghuni skuatnya. Dengan banuan dari para pemain asal Inggris ini, Garbutt berhasil memberikan tiga scudetto bagi Genoa. Justru ini yang menjadi awal luapan emosi di antara Genoa dan Sampdoria dan dinilai sebagai salah satu derbi satu kota terpanas di Italia hingga saat ini, sehingga rivalitas keduanya diwarnai dengan masalah sejarah.

Kebencian Fasisme Benito Mussolini Terhadap Genoa

Rivalitas sengit antara klub-klub di Kota Genoa pun sudah dimulai ketika abad ke-20. Ketika segala kesuksesan yang diperoleh Genoa pada saat itu, tak membuat hati gembira dan menimbulkan kebencian bagi seorang diktator Italia berpaham fasis, Benito Mussolini. Hal ini disebabkan oleh lekatnya akar Inggris yang ada di dalam tubuh Genoa. Akibat fasisme yang dianut Mussolini, ia tak rela sebuah kesebelasan yang beranggotakan para pemain non-Italia menjadi penguasa sepakbola di Italia.

Genoa pun dianggap sebagai antek Inggris atau asing. Mussolini yang menganut paham fasisme, menganggap Genoa sebagai antek asing yang menodari kesucian tanah kelahirannya tersebut. Saking bencinya Mussolini kepada Genoa, konon ia pernah mengasingkan Garbutt agar tak kembali berkecimpung di sepakbola Italia. Padahal, Garbutt dikenal sebagai father of Italian Football dalam buku sejarah sepakbola Italia.

Lantas melalui campur tangan pemerintahan fasismenya,  Mussolini pun memerintahkan agar Sampier dan Doria menggabungkan kekuatan untuk melawan dominasi Genoa. Pada 1927, terciptalah Domnante Genova. Penamaan La Dominante, sebagaimana terlihat dari akar katanya, yaitu dominan adalah harapan kesebelasan yang baru tersebut mengambil pucuk kekuasaan dari tangan Genoa.

Namun harapan tinggal harapan. Kesebelasan bentukan Musolini ini hanya bertahan selama tiga tahun. La Dominante pun pecah karena gagal menggoyahkan kedigdayaan Genoa yang sudah kelewat kuat sehingga Sampier dan Doria memilih kembali ke jalannya masing-masing seperti sebelumnya. Justru Doria menampilakn peningkatan kualitasnya setelah pecahnya La Dominante.

Sementara Sampier melakukan merger dengan kesebelasan asal Genoa lain, yakni Corniglianese dan Rivarolese untuk melahirkan Associazione Liguria Calcio. Di sisi lain, , Mussolini ditembak mati dan mayatnya digantung terbalik di Pzaale Loreto, Milan. Tapi ide-ide untuk menggulingkan Genoa masi bertahan di Liguria dan Doria sehingga lahirlah Sampdoria. Setelah Perang Dunia II usai,  Doria yang mengalami peningkatan dan Liguria yang di dalamnya terdapat Sampdier, kembali bersatu dan merger untuk menciptakan Sampdoria.

Kelahiran yang Tidak Diinginkan Genoa

Sampdoria yang kental beraroma Italia pada saat itu pun menjadi kekuatan untuk meruntuhkan Genoa dan membawa semangat perlawanan terhadap antek asing yang dulu dikobarkan Mussolini. Warna seragam baru pun diciptakan untuk menunjukan rasa kebersamaan Sampier dan Doria. Warna merah hitam sampier dan biru berpolet putih Doria pun menjadi simbol warna dan seragam Sampodria hingga saat ini.

Artinya, Sampdoria berdiri lebih dari setengah abad lebih muda dari rival kota mereka. Atau lebih tepatnya baru terbentuk 60 tahun setelah Genoa.  Namun sejarah bagaimana Sampdoria terbentuk, menjadi awal dua kesebelasan ini saling melempar dengki. Maka terjadilah pertemuan derby pertama pada 3 November 1946, tepatnya giornata 7 Serie-A. Sampdoria berstatus sebagai tuan rumah, membuka Derby della Lanterna pertama dengan kemenangna 3-0.

“Derby yang paling spesial? Saya pikir jawabannya Derby Lanterna. Sampdoria melawan Genoa berbeda dengan derby lainnya di Italia. Saya telah merasakan semua derby dan Lanterna memiliki semua itu. Derby ini menyajikan lebih banyak kebencian dibanding yang lain. Ini yang membuatnya menjadi seru,” ujar Macelo Lippi, pelatih legendaris di Italia kepada II Secolo XIX 2008.

Saat itu, Genoa tampil buruk sepanjang musim. Pada 17 laga pertama, Genoa hanya menorehkan dua kemenangan. Pada pertemuan kedua, Genoa berstatus sebagai tuan rumah, Genoa kembali tumbang di tangan Sampdoria dengan skor 3-2. Bisa dibilang, saat itu adalah pertama kalinya identitas Genoa sebaga salah satu kesebelasan besar di Italia mulai meluntur. Anggapan itu tak sepenuhnya salah.

Tak ada satu pun scudetto diraih setelah Italian Football Championship berubah menjadi Seria-A. Padahal, sebelum menjadi Serie-A, Genoa selalu berada di papan atas Italian Football Championship. Kelahiran Sampodria dianggap sebagai bentuk tantangan bagi Genoa. Khususnya bagi para pendukungnya. Sebagai anak baru di Kota Genoa, perilaku Sampodria di awal berdirinya klub sudah membuat kubu Genoa naik pitam.

Sebab baru satu bulan usai merger, Sampdoria meminta dewan kota Genoa untuk mengizinkan memakai Stadion Luigi Ferraris sebagai kandangnya. Sebelumnya, stadion ini hanya dipakai Genoa. Hal ini terjadi karena presiden Sampodria kala itu, Amedeo Rissotto, meminta pada pemerintah Genoa untuk berbagi Stadion Luigi Ferraris sebagai kandang Genoa dan sebagian Sampdoria.

Ajaibnya, Pemerintah kota tak mempermasalahkannya karena Sampdoria pun berasal dari kota Genoa.  Dewan kota Genoa itu justru mengabulkan permintaan Sampdoria. Sejak musim 1946/1947, seluruh pertandingan kandang Genoa dan Sampodria pun diselenggarakan di arena yang juga akrab disebut Stadion Marassi yang merujuk pada lokasi stadion tersebut. Walau pada akhir 1940-an sampai 1980-an, kedua klub sama-sama tak mampu bersaing di jalur perebutan scudetto, namun tensi panas selalu muncul.

Termasuk dalam urusan mengirim sang rival degradasi ke Serie-B. Soal ini, ada sebuah kejadian unik yang melibatkan Genoa dengan Sampdoria yang berlangsung pada musim 1972/1973. Angka sempurna dari pertemuan kedua rival dari Kota Genoa jilid ke dua pada musim tersebut, akan sangat penting untuk menjaga asa bertahan di Serie-A. Jika menang, salah satunya akan tetap berada di Serie-A.

Namun hasil Derby della Lanterna saat itu berakhir imbang dan harus menerima nasib sama-sama degradasi. Rivalitas Genoa dan Sampdoria memuncak di akhir 1980-an sampai awal 1990-an. Diawali investasi yang cukup besar dari Paolo Mantovani yang merupakan pengusaha minyak menjadi presiden Sampdoria saat terjebak di Serie-B.

Ketika Situasi Berbalik

Sampdoria melesat sebagai salah satu kekuatan yang disegani setelah disuntik oleh Mantovanni. Kemudian situasi berbalik. Kesebelasan berjuluk La Samp itu muncul sebagai kekuatan baru di saat Genoa sedang terpuruk. Pada momen tersebut, Sampdoria berhasil meraih scudetto 1990/1991 yang tak bisa diraih Genoa dalam waktu lama. Empat gelar Piala Italia dan satu trofi Super Coppa pun melengkapi koleksi gelar juara Sampdoria.

Tak hanya di liga domestik, Sampdoria pun melebarkan sayapnya ke Eropa. Pada akhir 1980-an, Sampdoria sekali menjuarai Piala Winners UEFA dan sekali menjadi runner-up. Kala berstatus jawara Italia pun Sampdoria juga mencicipi final Piala Eropa (Liga Champions) 1991/1992. Di final itu, mereka ditumbangkan Barcelona yang dilatih Johan Cruyff sehingga hanya berhasil menjadi runner-up.

Awal 90-an memang merupakan masa keemasan Sampdoria. Mereka memenangkan Seri-A pada 1991 dan hampir menadi raja benua satu tahun kemudian, hanya kalah di final Piala Eropa. Saat itu, Sampdoria diperkuat talenta-talenta terbaik Serie-A. Dilatih pelatih legendaris asal Yugoslavia, Vujadin Boskov, Sampdoria diperkuat oleh pemain macam Gianluca Pagliuca, Pietro Vierchowood, Gianluca VIalli dan Roberto Mancini.

Kesuksesan itu membuat suporter Sampdoria punya modal untuk mengejek pendukung Genoa yang seringkali mengungkit kejayaan masa lalu. Namun hal itu tak membuat para pendukung Genoa mengakui kehebatan Sampdoria. Para pendukung Genoa tetap menganggap bahwa kesebelasan mereka lebih besar dari Sampdoria karena pernah sembilan kali menjuarai Italian Football Championship.

Sumber lain: Forza Italian Football, Tifo Football.