Derby Madrid (1): Alat Lain Kediktatoran Francisco Franco

Foto: Ecestaticos.com

Pertandingan bertajuk Derby Madrid adalah pertempuran dua kesebelasan satu kota untuk sebuah jiwa. Pertandingan antara Atletico Madrid melawan Real Madrid itu sangat istimewa karena identitas dan nasib yang berbeda. Diibaratkan seperti kaum Viking melawan Indian. Viking karena Madrid dikenal secara universal. Mereka mengamuk dengan kemenangan di seluruh Eropa.

Sementara Indian adalah Atletico yang mendirikan kemah di sepanjang sungai. Lebih penting lagi karena pertandingan ini menentukan siapa pemenang dan pecundang di setiap levelnya.

Sejarah Dibentuknya Real Madrid dan Atletico Madrid

Persaingan antara kedua klub sepakbola itu dimulai pada awal abad ke-20. Seorang pemilik sebuah toko tekstil bernama Juan Padros adalah orang pertama yang secara resmi mengambil kendali berdirinya Madrid.

Berdirinya klub itu juga diandili sekelompok mahasiswa Intitiucion Libre de Ensenaza. Mereka mendirikan Sky Foot-ball Club pada akhir 1890-an dan bertanding setiap Minggu pagi di pinggiran barat Kota Moncloa. Pada 1900, sejumlah anggota Sky Foot-Ball Club yang tersisa membentuk dua klub sepakbola baru, yaitu New Foot-Ball de Madrid dan Madrid Football Club. Pria bernama Julian Palacios memimpin pembentukan itu, sehingga sampai sekarang, ia cenderung disebut-sebut sebagai pendiri Madrid.

Padahal Palacios bukanlah seorang presiden ketika Madrid Football Club resmi dibentuk pada 6 Maret 1902. Setelah ditimbang oleh para dewan, Padros sang pemilik toko tekstil-lah yang ditunjuk menjadi presidennya. Kemudian Madrid Football Club dikenal sebagai kesebelasan paling kuat di ibu kota Spanyol. Setelah New Foot-Ball de Madrid, mereka terus melakukan merger dan mengakuisisi klub-klub terbaik di ibu kota Spanyol.

Madrid Football Club juga mendatangkan pemain-pemain terbaik dari klub-klub lain yang punah karena tidak mampu bersaing. Pada April 1903, Madrid Football Club mengikuti kejuaraan nasional Spanyol pertamanya. Mereka berhasil mencapai final sekaligus dikalahkan Ahtletic Club (sekarang bernama Athletic Bilbao) pada partai tersebut dengan skor 2-3. Kemenangan atas kesebelasan yang kuat, memunculkan niat Athletic Club langsung membuat cabang klub sepakbola bernama Athletic Club Madrid.

Klub itu notabene dikembangkan oleh mahasiswa Basque yang tinggal di Madrid. Statusnya sebagai cabang klub sepakbola dari Basque, Athletic Club Madrid mengenakan seragam bewarna strip biru dan putih, sama seperti Athletic Club. Athletic Club Madrid memilih bermain di dekat taman Retiro di pusat Kota Madrid. Tidak seperti klub sepakbola lain di Spanyol, Athletic Club Madrid mampu bertahan dan menjaga sebagian besar pemain terbaiknya berkat keuangan dari klub induknya.

Bertahannya Athletic Club Madrid pun menjadi perlawanan terhadap supremasi Madrid Football Club di ibu kota Spanyol. Pertemuan pertama mereka digelar pada November 1904 yang dimenangkan Madrid Football Club dengan skor 6-0. Selama tahun-tahun berikutnya, Athletic Club Madrid mengumpulkan pendukung dari lingkungan kelas pekerja di kawasan Cuatro Caminos dan Tetuan.

Sementara Madrid Football Club masih menarik kelas pendukung berstatus lebih baik di kawasan Moncloa. Pada 1911, Athletic Club Madrid memutuskan mengubah warna seragam mereka menjadi garis merah dan putih setelah presiden klub terinsipirasi dari perjalanannya ke Inggris. Kedua belah pihak klub ini pun bertemu di final kejuaraan nasional untuk pertama kalinya pada 1916.

Tepatnya pada pertandingan yang bahkan tidak selesai setelah terjadi masalah antara kedua pendukungnya. Madrid Football Club memimpin dengan skor 3-1 dan persaingan pun lahir semakin sengit sejak laga itu.  Tahun 1920 adalah perubahan bagi kedua kesebelasan tersebut. Madrid Football Club mengubah namanya menjadi Real Madrid setelah patronase kerajaan dari Alfonso XII.

Di sisi lain, Athletic Club Madrid memutuskan semua hubungan dengan Basque untuk menjadi entitas independen yang lebih sukses. Apalagi kedua kesebelasan itu dilarang saling berhadapan pada kompetisi resmi dan harus saling pinjam pemain. Keyakinan Athletic Club Madrid pun karena baru meraih tiga gelar Campeonato del Centro pada tahun tersebut sehingga diundang ke La Liga perdana pada 1928.

Sama-Sama Diafiliasi Jenderal Diktator

Perang saudara Spanyol dari 1936 sampai 1939 membawa perubahan mendasar. Hal itu membuat ketegangan Derby Madrid meningkat setelah Athletic Club Madrid bergabung dengan klub sepakbola angkatan udara Spanyol. Kemudian mereka berganti nama menjadi Atletico Aviacion de Madrid yang mendapat ‘banyak persetujuan’ dari pemerintah otoriter baru, yaitu Jenderal Francisco Franco.

Klub sepakbola itu menjadi sebuah kesebelasan yang punya banyak pahlawan korps peperangan di udara dan dianggap sebagai tim pilihan rezim Franco. Di sisi lain, sejak penggabungan itulah Atletico selalu dicirikan dengan rasa pemberontakan karena menjadi klub sepakbola yang dipaksakan menjadi pilihan rezim Franco.

Seperti banyak perusahaan di Spanyol, klub sepakbola bisa dipaksa sebuah surat keputusan untuk mengubah nama mereka pada awal rezim Franco. Dampaknya, Atletico Aviacion tidak bisa mengelak dianggap lebih dekat dengan rezim Franco. Kendati demikian, Atletico Aviacion menjadi lawan terkuat Madrid di Spanyol. Tapi mereka tidak hanya memenangkan gelar liga pada 1940 dan 1941, sekaligus dianggap menjadi kesetiaan dari Franco yang baginya, Atletico Aviacion de Madrid ini adalah wujud kesuksesan dari kekuatan militernya.

Total, Atletico Aviacion memenangkan empat gelar liga pasca perang saudara dan Madrid tidak pernah menang dari mereka. Atletico Aviacion pun menjadi klub sepakbola paling sukses pada saat itu. Pada 1947, akhirnya klub memutuskan untuk berpisah dengan asosiasi angkatan udara itu dan menetapkan namanya menjadi Atletico de Madrid yang dikenal sampai sekarang. Pembelotan itu membuat rezim Franco bergeser ke Madrid pada 1950-an.

Franco senang dengan keberhasilan Madrid lain, yaitu di Eropa. Apalagi Spanyol sedang dikucilkan di internasional karena tidak disukai Perserikatan Bangsa Bangsa dan Vartikan sampai 1950-an karena perang saudara.  Madrid bisa berbicara lebih banyak di Eropa karena mendatangkan bakat-bakat asing yang glamor. Terutama kalau bukan karena kedatangan Afredo Di Stefano pada 1953, semuanya bisa jadi sangat berbeda.

“Saya pikir, orang-orang ini bukan manusia,” kata Bobby Charlton setelah ia dan rekan satu timnya di Manchester United dikalahkan kesebelasan berjuluk Los Blancos itu pada semifinal Piala Eropa (sekarang bernama Liga Champions) 1957, seperti dikutip dari Scotsman.

Kemudian pada 1959, Atletico mencapai semifinal Piala Eropa dan harus melawan Madrid. Kesebelasan berjuluk Rojiblancos itu bisa saja lolos jika aturan gol tandang diberlakukan. “Piala Eropa itu seharusnya merah dan putih. Sejarah akan berubah. Saya yakin itu,” ujar Javi, pendukung Atletico, seperti dikutip dari Fourfourtwo.

Hala Madrid dalam Pengertian Pendukung Atletico

Negara Diktatoris ala Franco berusaha untuk membuat modal politik dari gelar Piala Eropa melalui Madrid saat Spanyol terisolasi secara internasional. “Real Madrid adalah kedutaan terbaik yang pernah kami miliki,” kata Fernando Maria de Castiella, Menteri Luar Negeri Spanyol selama rezim Franco.

Kemudian Atletico mulai menganggap Madrid adalah favorit tua yang selalu bermain curang atas rezim Franco dan wasitnya. Menganggap kesebelasan pemerintah sampai sekarang. Tanpa itu semua, Madrid dianggap tidak akan memenangkan apapun. Ketika Madrid mengalahkan Atletico di Calderon, tidak jarang pendukung tuan rumah marah ke wartawan asing dengan memukul kotak tempat khusus jurnalis dan kemudian berteriak, “Itu adalah perampokan. Apakah Anda mengerti?  Tuliskan, katakan pada dunia!,”.

Persepsi semacam itu memiliki dampak penting pada identitas sepakbola kota, termasuk kesadaran kolektif. Dalam hal ini, pendukung Atletico adalah pencetusnya. Memaknai kalimat Hala Madrid bagi mereka adalah ‘pergi menuju klub pemerintah’. “Kotak direksi di Bernabeu seperti perjalanan berburu Franco,” kata Jesus Gil, mantan Presiden Atletico.

Madrid dianggap menjalani hukuman seumur hidup yang ‘diringankan’ diktator. Ruang piala di Stadion Bernabeu, kandang Madrid, diibaratkan seperti gua aladin. Semua yang ada di sana dianggap hasil curian. Dianalogikan seperti Atletico adalah Robin Hood yang mencuri dari orang kaya untuk diberikan kepada orang miskin. Atau Madrid adalah Sherrif Nottingham, mencuri dari orang miskin untuk diberikan kepada orang kaya seperti di dalam buku Red and White: A Manifesto for Rational Anti-Madridismo karya Severino Lorences.

Di sisi lain, salah satu Sejarawan Spanyol justru menentang gagasan bahwa Franco adalah pendukung sepakbola yang fanatik. “Franco sangat membosankan dan membosankan. Dia haus darah. Dia suka menonton filam di istana El Pardo, tetapi tidak memiliki minat khusus dalam sepakbola. Dia lebih suka menandatangani hukuman mati untuk permainan sepakbola atau menonton pertandingannya,” ujar Santiago Segurola, salah satu penulis sepakbola di spanyol.

Lalu seberapa banyak jiwa Madridista di dalam jiwa Franco? Menurut Raimundo Saporta, sekretaris pers Madrid selama bertahun-tahun. “Franco tidak pernah mengeluarkan emosi apapun selama pertandingan Madrid. Dia mungkin bosan. Apakah Franco pernah mencoba mempengaruhi hasil pertandingan mereka? Madrid gagal memenangkan gelar liga dalam 15 tahun pertama masa pemerintahannya,” katanya.

Jika menurut Simon Kuper dalam wawancara Fourfourtwo, menganggap sungguh konyol untuk berpikir bahwa Madrid adalah tim fasis. Meskipun diktator cenderung memusatkan sumber dayanya melalui jenderal, polisi rahasia dan birokrat di ibu kota mereka. “Franco mencurangi pertandingan dan membayar suap. Tapi dia tidak membutuhkan itu, tetapi dia menciptakan lingkungan di mana Madrid dapat berkembang,” papar Kuper.

Setelah kematian Franco, Atletico segera berbalik menjadi sebuah pengalihan dari klub induk mereka di Bilbao. Sementara bagi Franco, Madrid semakin melambangkan kebijakan sentralisme, kebesaran spanyol di posisi vital negara-negara lain di dunia. Lagipula, bagaimana ada yang bisa membantah atau membenci rezim Franco ketika Madrid menaklukan Eropa melalui kemewahan sepakbola? Madrid hanyalah alat lain untuk mengagungkan Franco yang sebenarnya tidak lebih dari pendukung sepakbola biasa.