Derby Superclasico (2): Copa Libertadores Bukan untuk FIFA

Foto: Squawka.com

Semangat dalam membangun pertandingan Derby Superclasico di Copa Libertadores 2018, mencapai tingkatan yang belum pernah terjadi sebelumnya. Sebab pada awalnya, pertandingan dijadwalkan pada pukul lima sore waktu setempat pada 12 November 2018. Satu hari sebelumnya, video sesi latihan Boca dipenuhi para pendukungnya sehingga viral.

Begitu pun sebelum empat jam pertandingan, para pendukung Boca bernyanyi, bermain musik, menibarkan bendera di luar hotel yang ditempati kesebelasan kesayangannya. Dukungan semangat semakin berapi-api ketika bus kesebelasan berangkat dari hotel untuk melakukan perjalanan sekitar 6 kilometer ke Stadion El Monumental, kandang River.

Pendukung River pun melakukan hal yang sama untuk kesebelasannya. Tapi belum juga peluit sepak mulai dibunyikan, kekerasan melanda atas serangan yang dilakukan pendukung River kepada bus Boca di dekat stadion.

Serangan itu memecahkan jendela dan merusak bus. Polisi yang membubarkan kerusuhan memakai semprotan merica justru tidak sengaja mengenai pemain dan pejabat Boca sehingga harus terbatuk-batuk. Lebih parah lagi ketika supir bus pingsan sehingga wakil Presiden Boca yang harus mengendalikan kemudi.

Sementara laporan berita terus datang dengan cepat dari beberapa akun media sosial. Sekitar 90 menit sebelum pertandingan, semakin banyak akun merilis gambar-gambar yang menunjukan kekerasan dan keadaan pemain saat itu.

Saluran televisi pun terus menghitung mundur waktu sepak mula. Sebab beberapa pemain Boca terluka dan dilarikan ke rumah sakit. Dampaknya membuat pertandingan diumumkan ditunda hingga jam 6 sore. Pada waktu itu juga Presiden FIFA, Gianni Infantino, dengan dua presiden klub dan pejabat CONMEBOL mencari solusi.

Dilaporkan bahwa Infantino dan CONMEBOL menginginkan pertandingan itu dimainkan karena komitmen FIFA kepada pemegang hak siar pertandingan. Didukung dokter CONMEBOL melaporkan bahwa pertandingan harus dilanjutkan karena luka-luka pemain Boca dianggap cukup ringan.

Keterangan itu membuat FIFA dan CONMEBOL masih berikeras agar pertandingan dimainkan. Di sisi lain, pejabat klub Boca dan River lebih setuju jika pertandingan harus ditunda. Hal itu yang membuat muncul kabar Boca diancam dengan akan didiskualifikasi  jika tidak menyetujui saran FIFA dan CONMEBOL.

Sementara itu, situasi di luar stadion semakin genting karena para pendukung tanpa tiket memaksa masuk ke dalam stadion. Polisi mencoba membubarkan kerusuhan itu dengan menembakan peluru karet. Sampai pada akhirnya pertandingan secara resmi dijadwalkan ulang sampai ada kondisi terbaik untuk menggelar pertandingan.

Di sisi lain, ada kekhawatiran tentang sekitar 70 ribu penonton yang sudah berada di dalam stadion, ada insiden lebih lanjut jika diumumkan keputusan tersebut. Oleh karena itu pemain Boca harus menunggu di dalam stadion sampai situasi lebih tenang sebelum bus pengganti datang dan membawa kembali ke hotel.

Di luaran sana, orang-orang memperdebatkan hukuman apa yang harus dihadapi River atas kekerasan yang dilakukan suporternya. Lagipula, Boca didiskualifikasi ketika para pendukungnya menyemprotkan gas merica kepada pemain River di Stadion La Bombonera pada babak 16 besar Copa Libartadores 2015.

Tidak akan Berhenti di Sini

Apa yang diinginkan dan diharapkan tentang ide permainan superclasico maupun olahraga secara keseluruhan, berbentrokan dengan kenyataannya. Sebab keindahan olahraga itu hancur oleh keburukan yang sering terlupakan.

Leg kedua final Copa Libertadores 2018 adalah final yang seharusnya mengakhiri kompetisi musim itu, tapi ditunda karena kekerasan. Padahal Superclasico selalu menggunakan keamanan tingkat tinggi walau suporter tamu dilarang datang mendukung langsung ke stadion kubu berseberangan.

Di sisi lain, ada garis tipis antara hasrat pendukung Boca untuk mengisi stadion selama sesi latihan dan kefanatikan yang mendorong pendukung RIver untuk menyerang pemain rival. Tapi kekerasan semacam itu bukanlah hal baru. Sebab sepakbola itu luar biasa meski menari-nari di antara tepi keindahan dan kehancuran.

Absurditas dari kekerasan adalah kegagalan para pejabatnya. Permainan hebat dan pemain yang dilihat di lapangan, biasanya disokong oleh korupsi. Oleh mereka yang bertanggung jawab atas pertandingan sepakbola.

Salah satu contohnya, dalam peristiwa Superclasico di final Copa Libertadores itu menegaskan bahwa FIFA lebih merasa bertanggung jawab untuk perusahaan televisi demi mendapat keuntungan daripada kepada karyawan, suporter dan bagi mereka yang bersedia mengambil risiko keselamatan.

Padahal, sering dikatakan bahwa kehidupan sepakbola di Amerika Selatan lebih makmur daripada kompetisi Eropa. Yaitu ketika di stadion-stadion Amerika Latin, semua orang terlihat tenang mengeluarkan uang di tempat-tempat yang lebih miskin karena sepakbola masih dianggap permainan rakyat.

Namun kekerasan di final Copa Libertadores itu telah menciptakan konteks baru. Yaitu paling buruk dari sepakbola di dari suasana positif yang diinginkan. Sebab final Copa Libertarodes itu seyogyanya adalah pertandingan yang sebenarnya harus menyelamatkan kecantikan dari keburukan sepakbola Amerika Selatan.

Final Copa Libertadores dan Superclasico adalah salah satu pertandingan terbesar di dunia. Sepakbola sendiri telah membagikan hubungan khusus di Amerika Selatan karena cinta yang kuat dan membuatnya terpisah dari unsur-unsur kesukuan. Tapi sepakbola rupanya tidak mampu menyembuhkan penyakit sosial dan gelembung masalah masyarakat.

Mengapa demikian? karena pada akhirnya berdampak pada pindahnya lokasi pertandingan ke dipindahkan di Stadion Santiago Bernabeu, Madrid. Bukan di Amerika Selatan yang seharusnya tetap menjadi harfiah penempatannya.

Bentrokan di final Copa Libertadores yang unik itu memang akan terus diingat. Tapi diharapkan jika laga tunda tetap bisa dimainkan di tempatnya, terutama di Buenos Aires. Di tempat itu gairah para pendukungnya bisa membuat suasana seperti derby yang terbaik di dunia ini. Lagipula, beberapa kejadian di dalam lapangan saat pertandingan, seharusnya tidak kalah menarik untuk dpertontonkan.

Para pemain kedua kesebelasan selalu ngotot untuk menjadi pemenang dalam setiap pertandingan Derby Superclasico. Bagi beberapa pemain, kekerasan justru bisa menjadi sebuah pembelajaran mental yang membuat mereka bisa selamat di ancaman negara lain seperti di Eropa. Pemain-pemain Argentina yang digembleng lewat Superclasico ini lazimnya sukses di kompetisi negara lain.

Apalagi Superclasico kerap dihiasi kemunculan bintang-bintang brilian dalam laga tersebut, baik itu pemain yang berasal dari akademi maupun pemain Argentina di luar Buenos Aires. Para pemain yang pernah merasakan atmosfer laga ini bisa sukses setelah pergi dari Argentina dan berkarir di negara lain seperti Carlos Tevez, Diego Maradona, Gabriel Batistuta, dan masih banyak lainnya.

Tidak hanya kualitas pemain yang dipamerkan di Superclasico, tetapi juga ada gairah para pendukungnya, intensitas persaingan dan bagaimana sepakbola menghubungkan seluruh komunitas. Terpenting, Superclasico adalah sebuah mikrokosmos dari hubungan emosional yang membuat orang-orang tetap menontonnya sehingga derby ini tidak akan berakhir di sini.

Sumber lain: FIFA, SB Nation