Duel El Clasico yang mempertemukan Barcelona kontra Real Madrid merupakan pertandingan besar. Setiap musimnya El Clasico selalu jadi perhatian sepakbola dunia karena banyak faktor yang melatarinya. Mulai dari sejarah kebesaran dan kualitas pemain yang memperkuat masing-masing kesebelasannya, sampai ketegangan hebat sehingga menciptakan atmosfer panas. Atmosfer itu juga didukung basis pendukung global yang dimiliki kedua klub itu.
Menurut jajak pendapat yang dibuat Ikerfel pada 2011, Barcelona merupakan tim paling populer di Spanyol dengan 44 persen dukungan. Sementara Madrid berada di urutan kedua dengan 37 persen pendukungnya di negara tersebut. Sementara pada 2014, Forbes menempatkan Barcelona dan Madrid sebagai dua tim olahraga paling berharga di dunia, mengingat kedua klub adalah klub sepakbola terkaya dan paling sukses di dunia.
Mungkin faktor itu yang membuat Barcelona dan Madrid menjadi kesebelasan dunia yang paling banyak diikuti di media sosial. Pada Juli 2018, Madrid punya 107 juta pendukung dan Barcelona punya 103 juta pendukung pada laman Facebook. Sementara di Instagram, Madrid memiliki sekitar 60 juta pengikut dan Barcelona memiliki 57 juta pengikut. Semua jajak pendapat itu dirasa wajar karena persaingan El Clasico dianggap sebagai salah satu yang terbesar di dalam dunia olahraga.
Awalnya, istilah persaingan klasik hanya mengacu pada kompetisi yang diadakan di kejuaraan Spanyol. Tetapi saat ini, istilah tersebut telah digeneralisasikan dan cenderung menonjolkan setiap pertandingan tunggal antara dua klub lain di luar Spanyol. Tapi El Clasico tetaplah dianggap sebagai salah satu persaingan paling sengit di dunia sepakbola. Pertandingan itu dianggap sebagai salah satu acara olahraga tahunan yang paling banyak ditonton.
Phil Ball, penulis Morbo: The Story of Spanish Football, memberikan gambaran atmosfer pertandingan El Clasico. “Mereka saling membenci dengan intensitas yang benar-benar dapat mengejutkan orang luar,” ujarnya.
Nuansa Politis yang Berlawanan
Pada dasarnya, persaingan El Clasico terjadi karena Barcelona dan Madrid adalah dua kota terbesar di Spanyol. Tapi kemudian terlalu banyak nuansa politis yang dibawa dalam duel kedua tim dari kota-kota tersebut, yaitu menyangkut hubungan politik antara Spanyol dan Katalan. Hal itu yang membuat pertandingan antara mereka diidentifikasi dengan posisi politik yang berlawanan. Barcelona dipandang mewakili Catalan dan Madrid merupakan simbol nasionalisme Spanyol.
“Itu sungguh gila. Rivalitas itu mulai lepas landas pada level yang sangat tidak saya sukai. Seperti ada perang politik antara Spanyol degnan Katalan,” imbuh Iker Casillas, mantan kiper Madrid yang saat ini memperkuat Porto, seperti dikutip Marca.
Barcelona telah mengembangkan reputasinya sebagai simbol identitas Katalan sejak 1930-an. Mereka menentang kecenderungan sentralisasi Madrid ketika Jenderal Francisco Franco memulai kudeta pada 1936 dengan melawan Republik Spanyol Kedua yang demokratis. Salah satunya menangkap Josep Sunyol yang menjabat Presiden Barcelona waktu itu.
Sunyol juga merupakan anggota sayap kiri Republik Katalan dan Wakil The Cortes. Ia ditangkap ketika sedang melakukan aktivitas politiknya ketika sedang mengunjungi pasukan Republik Spanyol Kedua di kawasan utara Kota Madrid. Kemudian Sunyol dieksekusi tanpa diadili oleh pasukan Franco. Bagi Franco, Barcelona berada di puncak daftar organisasi setelah komunis, anarkis dan independent yang harus dibersihkan oleh faksi nasional pada saat itu.
Semua bahasa dan identitas daerah seperti Katalan di Spanyol pun dikerutkan dan dikekang. Tentu saja sebagian besar warga Barcelona menentang keras rezim fasis seperti itu, baik selama kediktatoran Franco maupun Miguel Primo de Rivera. Saat periode inilah Barcelona memperoleh motto klub mereka yaitu Mes que un club. Artinya adalah “lebih dari sekadar klub” atas hubungannya dengan nasionalis serta keyakinan progresif di Katalan.
Di sisi lain, Barcelona sedikit diberikan keuntungan karena hubungan yang baik dengan diktator di tingkat manajemen selama rezim Franco itu. Apalagi hubungan antara perwakilan senior Madrid dengan rezim Franco sangat tidak dapat disangkal. Madrid dianggap sebagai the estabilishment club bagi sebagian besar Katalan. Meskipun terlepas dari kenyataannya bahwa presiden kedua klub itu seperti Sunyol dan Rafael Sanchez Guerra, sebetulnya sama-sama menderita di tangan pendukung Franco selama Perang Saudara Spanyol.
Pada 13 Juni 1943, Madrid sebagai tuan rumah mengalahkan Barcelona dengan skor 11-1 pada leg kedua semifinal Copa del Generilsimo (sekarang Copa del Rey). Sebelumnya, Barcelona yang menjadi tuan rumah memenangkan pertandingan dengan skor 3-0 pada leg pertama di Stadion Les Corts Katalonia.
Pada leg pertemuan pertama itu, Madrid mengeluhkan tiga gol Barcelona yang dianggap dibiarkan begitu saja oleh wasit. Ditambah dengan merasa terganggu oleh pendukung tuan rumah yang menyiuli pemain mereka. Pertandingan sendiri berjalan keras dan cenderung kasar pada waktu itu. “Di lapangan itu membuat Madrid harus mengakui dua dari tiga gol. Gol yang benar-benar tidak adil,” ujar Eduardo Teus, kiper Madrid saat itu.
Dua pertandingan itu disebut-sebut sebagai pertama kalinya yang membentuk identifikasi Madrid sebagai tim kediktatoran. Barcelona yang menduga ada permainan dari wasit pada leg kedua, merasa menjadi korban kediktatoran tersebut. “tidak ada persaingan. Tidak ada, setidaknya sampai pertandingan itu,” ujar Fernando Argila, kiper cadangan Barcelona waktu itu.
Dari Alfredo Di Stefano Sampai Luis Figo
Persaingan semakin intensif selama tahun 1950-an, tepatnya ketika Barcelona dan Madrid sama-sama ingin mendatangkan Alfredo Di Stefano. Penyerang asal Argentina itu berhasil mengesankan kedua kesebelasan tersebut selama bermain untuk Millonarios. Kedua klub itu sempat saling mengklaim telah mendatangkan Di Stefano. Kemudian diputuskan Barcelona maupun Madrid harus berbagi pemain dalam satu musim setelah adanya intervensi dari perwakilan FIFa bernama Munoz Calero.
Tapi para dewan Barcelona merasa dipermalukan dan kemudian memaksa presidennya mendungundurkan diri dan batal mengontrak Di Stefano. Keputusan itu pun mengakhiri perjuangan panjang Barcelona untuk mendatangkan Di Stefano dan sang pemain pindah ke Madrid secara definitif. Kemudian ia menjadi pemain penting dalam kesuksesan yang dicapai Madrid. Bahkan Di Stefano mencetak dua gol dalam pertandingan pertamanya melawan Barcelona.
Madrid pun berhasil memenangkan lima kompetisi Liga Champions pertama bersamanya. Transfer pemain menunjukan bahwa konflik antara Barcelona dengan Madrid telah lama melampaui dimensi olahraga. Tak jarang transfer pemain memperkuat politisasi pemilihan masing-masing presiden klub. Seperti Florentino Perez yang menjadi kandidat Presiden Madrid pada 2000 silam. Ia menawarkan Luis Figo yang merupakan wakil kapten Barcelona saat itu untuk dibawanya jika memenangkan pemilihan Presiden Madrid.
“Saya akan tetap di Barcelona apakah Perez menang atau kalah,” kata Figo menanggapi isu kala itu.
Tapi nyatanya, Figo diperkenalkan Madrid pada 24 Juli 2000. Bahkan seragam Madrid untuknya diberikan langsung ole Di Stefano. Sampai Figo kembali ke Barcelona memakai seragam itu di Stadion Camp Nou, kandang Barcelona, ia dihantui spanduk-spanduk yang digantung bertulis “judas”, “scum”, dan “mercenary”. Selain itu, pendukung Barcelona mencetak ribuan uang palsu yang dilemparkannya bersamaan dengan flare, botol, pemantik rokok dan bahkan ponsel ke arah Figo.
Pada musim ketiga Figo bersama Madrid lebih parah lagi. Ia dihujani koin, pisau, boto wisky, hingga kepala babi di Stadion Camp Nou pada El Clasico 2002.