Panasnya Derby Galatasaray vs Fenerbahce yang Membelah Benua

Foto: Pixabay

Istanbul merupakan kota terbesar sekaligus terpadat di Turki yang memamerkan keanggunan berkelas di mata dunia sebagai pusat perekonomian negara. Istanbul juga satu-satunya kota yang memiliki lintas benua di dunia ini. Lintas itu dipisahkan Selat Bosporus di antara Laut Marmara dan Laut Hitam.

Penduduk di antara selat itu terkenal begitu setia kepada negaranya. Namun masing-masing penduduknya memiliki pemaknaan tersendiri, terutama dengan aktivitas sepakbolanya. Dimulai ketika dalam perencanaan membuat kesebelasan sepakbola bernama Turkkulubu di Istanbul yang terpecah karena Perang Balkan pada 1913.

Salah satu penyebab terhapusnya Turkkulubu karena Galk Kulaksizoglu dan Ali Sami Yen mengundurkan diri. Kemudian dua orang itu menjadi presiden suatu kesebelasan sepakbola yang berbeda. Yen menjadi Presiden Galatasaray yang lahir dari Galatasaray High School yang didirikan pada 1481 dan menjadi sekolah tertua di Turki.

Sekolah itu sendiri berlokasi di Istanbul yang masuk wilayah Eropa, tepatnya di distrik bernama Galatasaray. Banyak orang Inggris menyamakan sekolah itu dengan Kolese Eton di Berkishire. Warna merah dan emas identik dengan Galatasaray yang didirikan Gul Baba, seorang penyair di Istanbul kala itu.

Yen yang tengah bersekolah di Galatasaray High School, ditunjuk menjadi Presiden Galatasaray setelah terciptanya departemen olahraga pada 1907. Yen punya cita-cita agar kesebelasan itu bisa bermain dengan baik seperti orang-orang Inggris yang mendominasi persepakbolaan Turki pada saat itu.

Menurutnya, hanya dengan begitulah orang-orang Turki bisa bersaing dengan para ekspatriat di Turki. Maka dari itu Galatasaray memiliki afiliasi dengan Inggris di sektor olaharaga sehingga sukses di Istanbul. Mereka sering memenangkan liga domestik di Istanbul pada masa lampau.

Di tahun yang sama dengan berdirinya Galatasaray, Necip Okaner dan Ziya Songulen membentuk klub olahraga Fenerbahce. Mereka berdua bertekad untuk menjadikan Fenerbahce sebagai klub olahraga merakyat di tengah perselisihan dengan hukum rezim Ottoman.

Perbedaan Kelas Galatasaray dan Fenerbahce

Galatasaray merupakan representasi dari kaum kelas atas di Istanbul. Hal itu karena kawasan di sana merupakan berdiamnya aristokrat-aristokrat Turki yang sudah merasakan enaknya hidup ketika Kekaisaran Usmani masih berdiri. Identitas elit inilah yang kemudian melekat pada diri Galatasaray, meskipun melebur dengan sendirinya seiring berjalannya waktu.

Berbeda dengan Fenerbahce yang dikenal dengan klub masyarakat karena representasi dari kelas pekerja. Fenerbahce sendiri merupakan gabungan dari dua daerah di Istanbul, yaitu Fener di kawasan mercusuar laut dan Bahce di kawasan perkebunan.

Tapi Fenerbahce lebih cepat diakui karena memiliki ikon bernama Mustafa Kemal Ataturk. Ikon itu merupakan pahlawan Turki karena kepemimpinannya dalam gerakan nasional dan perjuangan kemerdekaan. Sementara perrtandingan pertama antara kedua kesebelasan itu terjadi pada ajang persahabatan yang dimenangkan Galatasaray dengan skor 2-0 pada 17 Januari 1909.

Dua gol dicetak Armitage yang merupakan mantan pemain Fenerbahce ketika pertama berdiri pada 1907. Tidak ada masalah antara Fenerbahce dan Galatasaray pada waktu itu. Pertandingan antara kedua kesebelasan itu selalu berjalan aman dan tentram.

Bahkan pernah ada petisi untuk memerger kedua kesebelasan tersebut untuk kembali membentuk Trukkulubu sebagai perlawanan terhadap klub-klub yang mayoritas pemainnya adalah non-Turki. Bahkan pada dasarnya, kedua kesebelasan ini didirikan dengan tujuan yang sama.

Bedanya, tidak pernah ada kata-kata bermain seperti orang Inggris dalam kamus Fenerbahce yang didirikan di distrik Kadikoey. Distrik Kadikoey masuk dalam Istanbul yang berada di benua Asia. Jika Galatasary adalah tempat berocokolnya para bangsawan, Kadikoey adalah tempatnya pengusaha-pengusaha.

Satu Pertandingan yang Mengubah Segalanya

Butuh waktu sekitar 25 tahun bagi Fenerbahce dan Galatasaray untuk benar-benar menjadi seteru. Sebab persaingan mulai panas sejak pertandingan 23 Februari 1934. Kala itu, pertandingan mendadak berlangsung panas karena banyak pelanggaran terjadi.

Alhasil, di dalam dan luar lapangan Stadion Taksim menjadi arena perkelahian antara kedua pemain dan pendukungnya sehingga pertandingan dihentikan sementara. Kemesraan antara Fenerbahce dan Galatasaray pun berakhir pada hari itu.

Konon, sejak itulah hubungan baik Fenerbahce dan Galatasaray berakhir dan menjadi insiden yang mengubah sepakbola Turki selamanya. Sampai muncul beragam nama kebencian mewarnai pertemuan ini, baik Intercontinental Derby, Kitararalasi Derby atau Eternal Derby.

Antara kedua kesebelasan itu pun menciptakan persaingan yang bersejarah dan selalu berapi-api di setiap pertandingannya. Permusuhan dan agresivitas merupakan kata yang muncul ketika dikaitkan dengan pertandingan antara kedua kesebelasan tersebut.

Baik Fenerbahce atau Galatasaray saling membenci satu sama lain dengan cara terburuk dan diaplikasikan ke setiap unsur di lapangan sepakbola. Apalagi aroma persaingan perebutan gelar semakin memperkuat kebencian mereka. Sebab Fenerbahce dan Galatasaray merupakan kesebelasan sukses dan paling populer di Liga Super Turki.

Galatasaray lebih memimpin karena sudah 21 kali juara dan Fenerbahce 19 gelar dari rival abadinya tersebut. Begitu pun dengan Piala Turki karena Galatasaray mengoleksi 17 gelar dan Fenerbahce enam kali juara. Pertemuan kedua kesebelasannya selalu menjadi animo besar di Turki sampai saat ini.

Rekor jumlah penonton terbanyak di Liga Super Turki masih dipegang Intercontinental Derbya ketika dihadiri 71.334 penonton pada 21 September 2003. Bahkan persaingan antara kedua kesebelasan ini juga tercipta di bidang olahraga lain seperti atletik, basket dan voli.

Dari Graeme Souness Hingga Jailson

Persaingan Derby Intercontinental yang berabad-abad ini dianggap sebagai salah satu yang paling sengit di dalam sejarah sepakbola. Pertandingan kedua belah pihak semakin terkenal panas, baik itu dengan pertempuran fisik dan verbal di lapangan.

Graeme Souness adalah salah satu saksi sekaligus aktor di panasnya Intercontinental Derby pada leg kedua Final Piala Turki 1996. Ia yang menjadi Pelatih Galatasaray pada waktu itu, berhasil memastikan gelar Piala Turki atas Fenerbahce selaku tuan rumah.

Souness melakukan perayaan kemenangan dengan membawa bendera besar Galatasaray dan lalu menancapkannya di tengah lapangan Stadion Fenerbahce. Tersulut emosi, seorang pendukung Fenerbahce melompati pagar pembatas dan berlari ke arah Souness.

Namun aksinya tertahan oleh anjing polisi. Souness pun dilarikan ke tempat yang aman. Sejak itu, ia menadisalah satu orang yang paling dibenci Fenerbahce. Sementara pendukung Galatasaray memuja habis Souness dan menyamakannya dengan Ulubatli Hasan, pahlawan Turki terdahulu yang terkenal karena menancapkan bendera Usmani dalam Pertempuran Konstantinopel.

Bagi Souness, tindakan itu adalah bentuk pembelaan harga diri. Sebab ketika ditunjuk menjadi pelatih Galatasaray, ia diejek Ali Haydar Sen, Presiden Fenerbahce, dengan sebutan orang cacat. Penyebabnya, tak lama sebelum melatih Galatasaray, Souness harus menjalani operasi bedah jantung.

Tapi manajemen Galatasaray menganggap insiden Souness itu sebagai tindakan tak sportif dan memutuskan kerjasama pada Mei 1996. “Saat aku melakukannya dan berada di sana, aku benar-benar sadar bahwa para suporter (Fenerbahce) berusaha untuk masuk lapangan dengan cepat,” celoteh Souness seperti dikutip dari Last World Football.

Tindakan Souness bisa dibilang sebagai luapan kemenangan tersendiri karena Galatasaray sedang terseok-seok di liga dan tersisih sejak babak kualifikasi Piala UEFA pada musim itu. Di sisi lain, kursi panas dalam Derby Intercontinental merupakan hal biasa.

Baru-baru ini, Philip Cocu dipecat jelang Interontinental Derby pada November 2018. Fenerbahce tidak ingin mengambil risiko lebih tinggi karena sedang terpuruk dan enggan dipermalukan Galatasaray pada saat itu. Kemudian pertandingan digelar tanpanya dan pertandingan berakhir dengan skor 2-2.

Usai pertandingan, para pemain masih saling bejabat tangan satu sama lain. Kemudian tiba-tiba, perkelahian masal meletus. Jailson Siquiera yang mencetak gol penyeimbang Fenerbahce, dikejar para pemain Galatasaray. Jailson berlari menuju terowongan pemain seperti tidak percaya pada kemampuannya untuk sendirian mengalahkan kejaran pemain-pemain Galtasaray.

Dampak keributan tersebut, Jailson, Badou Ndiaye dan Roberto Soldado, harus absen pada pertandingan berikutnya. Pertandingan ini sudah ada lebih dari satu abad dan telah berkembang menjadi salah satu derby yang terbesar, paling intens dan saling menerima kepahitan.

Hal itu dirangkum dengan penggunaan mosaik dan nyanyian dari para pendukungnya yang terus berusaha mengaum untuk mendapatkan kemenangan. Populer dan besarnya Intercontinental Derby, memang berjalan dengan catatan hooliganisme masing-masing pendukungnya. Mulai dari rasisme, vandalisme dan pertarungan di dalam maupun luar stadion.

Sumber lain: Behance, Copa 90, Daily Mail, Republic.