Perang Ideologi yang Memanaskan Hubungan Ajax Amsterdam dengan PSV Eindhoven

Di sepakbola Belanda ada istilah De Grote Drie alias tiga raksasa yang melibatkan Ajax Amsterdam, Feyenoord Rotterdam dan PSV Eindhoven. Mungkin ditambah HVV Den Haag jika mereka tidak mulai meredup sejak 1915-an. Sampai sejauh ini, tiga kesebelasan yang pertama disebutkanlah pengoleksi gelar terbanyak Liga Belanda.

Di antara tiga kesebelasan itu, Feyenoord merupakan peraih gelar paling sedikit dengan 15 trofi juara. Sementara Ajax dan PSV unggul lebih banyak. Ajax mengoleksi terbanyak dengan 33 gelar dan PSV berada di bawahnya atas 24 trofi yang diraihnya sejauh ini. Dominasi juara dua kesebelasan itu dianggap wajar karena filosofi permainan yang dianggap menjadi identitas sepakbola Belanda.

Total Football dan Mamaksimalkan Akademi ala Ajax Amsterdam

Maka dari itu pertemuan antara Ajax dengan PSV disebut-sebut De Topper. Pertandingan yang melibatkan dua kesebelasan dengan persaingan mazhab dan pemikiran lain di sepakbola Belanda. Ajax memang terlahir lebih dahulu, yaitu pada 1900. Kesebelasan inilah yang dianggap sebagai pencetus filosofi “Total Football” yang dikembangkan Rinus Michels. Meskipun ada juga ada andil dari Vic Buckingham dan Jack Reynolds.

Michels membawa teori “Total Football” ini dengan menggunakan formasi 4-3-3 sejak 1960-an. Di tangan Michels, Ajax sukses meraih empat gelar Eredivisie. Selain itu, ia juga mempersembahkan tiga Piala KNVB, satu Piala Intertoto, dan satu Piala Eropa (sekarang Liga Champions). Kesuksesan model sepakbola Ajax itu mendominasi pola pikir sepakbola Belanda pada saat itu.

Pujian pun didapatkan begitu luas ke luar negeri sehingga filosofi itu digemari dan diterapkan oleh beberapa kesebelasan Eropa dan bahkan dunia. Ajax semakin menjadi patron sepakbola di Belanda karena menerbitkan dan bertumpu kepada pemain-pemain hasil akademinya sendiri seperti Rinus Michels dan Johan Cruyff. Kemudian bersambung kepada Marc Overmars, De Boer bersaudara, Wesley Sneijder, Rafael van der Vaart, sampai saat ini pun ada Justin Kluivert.

PSV yang Amat Berbeda

Kemudian munculah PSV pada 1913. Mereka bertolak belakang dengan Ajax yang mengandalkan pemain hasil binaan sendiri. PSV lebih gemar membeli pemain yang sudah jadi di Belanda untuk membawa prestasi untuk kesebelasan tersebut. Ruud Gullit contohnya yang didapatkan dari Feyenoord dan berhasil mempersembahkan gelar juara Eredivisie secara beruntun pada 1985/1986 dan 1986/1987.

“Ketika saya bergabung dengan PSV, kami sukses melawan dominasi Ajax. Saya pikir, mereka (suporter Ajax) pasti benci kepada saya. Tapi mreka pun harus tahu, jika saya juga sangat membenci mereka,” aku Eric Gerets, mantan pemain PSV yang direkrut dari MVV Maastricht, seperti dikuti dari situs FIFA.

Gerets juga pernah melatih PSV pada 2002. Jauh waktu sebelumnya, beberapa pelatih PSV lebih sering melakukan eksperimen formasi tersendiri meskipun sama-sama mengusung sepakbola menyerang seperti Ajax. Hal itu sangat kentara ketika PSV diprakasai Kees Rijvers yang menjadi pelatihnya pada 1970-an. Ketika Ajax berjaya dengan formasi 4-3-3 dan dicontoh banyak kesebelasan lain, Rijvers justru menerapkan total football dengan formasi 4-3-1-2.

Hasilnya, Rijvers mempersembahkan tiga gelar Eredivisie, dua Piala KNVB dan satu Piala UEFA yang mulai memecah dominasi Ajax di sepakbola Belanda. Kemudian, formasi era Rijvers pun diasah menjadi 4-2-3-1 oleh Guush Hidiink yang melatih PSV pada akhir 1980-an. Bahkan perubahan yagn dilakukannya membuat PSV lebih sukses daripada era Rijvers. Di tangan Hiddink, PSV berhasil meraih enam gelar Eredivisie, lima Piala KNVB dan satu Piala Eropa.

Filosofi yang Berubah

Sementara itu, lambat laun filosofi permainan Ajax di lapangan berubah. Terutama sejak ditangani Frank de Boer dari 2010 sampai 2016. Permainan sepakbola Ajax mulai berbasis kepada possesion football. Wajar karena De Boer merupakan mantan pemain Barcelona dari 1999 sampai 2003. Tapi filosofi yang dibawa De Boer berhasil mempersembahkan empat gelar Eredivisie dan Johan Cruyff shield.

Atas estetika permainan itu yang membuat Ajax dan PSV begitu menarik ditonton di lapangan. Perjumpaan antara mereka selau menggiring pemainnya untuk selalu ingin menang. Tidak peduli sesulit apapun cara mendapatkannya. Seperti yang diungkapkan Mark van Bommel, Pelatih PSV. Ia menceritakan bagaimana permainan para pemainnya ketika De Toppers diadakan pada 23 September lalu.

Pertandingan saat itu dimenangkan PSV dengan skor 3-0 melalui gol yang dicetak Gaston Pereiro, Luuk de Jong dan Hirving Lozano. “Itu wujud kekuatan mental. Saya melihat sebuah tim yang melakukan segalanya untuk mencegah kebobolan,” ujar Mark Van Bommel, pelatih PSV, seperti dikutip dari Reuters.

Selain strategi dan tata kelola klubnya, dari segi masyarakat antara Ajax dan PSV pun sedikit bertolak belakang. Amsterdam merupakan kawasan metropolitan ibu kota Belanda. Berbeda dengan Eindhoven yang dulunya merupakan petani dari suku Brabantian. Cerita masyrakat itulah yang menjadi bumbu selain duel filosofis dalam persaingan De Topper ini.