Politik, Sejarah, dan Latar, di Balik Rivalitas Juventus dan Napoli

Kedatangan Cristiano Ronaldo ke Juventus tentu merupakan kejutan bagi sepakbola Italia. Banyak yang menyebut kehadiran CR7 bisa mendongkrak prestise Serie A. Akan tetapi, tidak sedikit yang menganggap kehadiran Ronaldo justru membuat Liga Italia kian tidak kompetitif. Pasalnya, Juventus akan lebih superior ketimbang lawan-lawannya.

Meskipun demikian, hal berbeda justru diperlihatkan Napoli. Dengan lantang mereka tak gentar dengan kehadiran salah satu pemain terbaik di dunia ini. Striker Napoli, Arkadiusz Milik, menyatakan kehadiran Ronaldo tidak akan sedikitpun membuat nyali Napoli menciut.

“Saya menghormati banyak tim seperti Juve, Inter, dan Roma, yang kuat. Tetapi ada juga Milan dan Lazio. Namun, kami seharusnya tidak takut siapa pun karena kami adalah Napoli dan kami ingin menang. Juve sangat kuat, tetapi hanya satu pemain saja tidak cukup untuk menang,” ujar Milik.

Kehadiran Ronaldo juga dianggap sinis oleh para supporter Napoli. Mereka bahkan mencetak beberapa tisu roll yang biasa diperuntukkan di toilet dengan foto Ronaldo. Semua dilakukan bukan karena Napoli membenci Ronaldo. Namun semata-mata menunjukkan rivalitas Juvantus dan Napoli yang memang memanas dalam beberapa musim terakhir.

Berawal dari Unifikasi

Memang rivalitas Juventus dan Napoli tidak sepanas derby-derby lainnya di Italia. Namun bukan berarti rivalitas keduanya tidak memiliki gengsi. Persaingan Juventus dan Napoli tidak lepas dari unifikasi Italia pada tahun 1861. Unifikasi Kerajaan Italia atau Risorgimento yang singkatnya merupakan penyatuan dan perebutan kerajaan Italia dari kekaisaran Austria-Hungaria. Setelah berhasil, Kerajaan Italia menjadi terbelah antara Utara dan Selatan.

Perpecahan ini terbentuk karena adanya kesenjangan perkembangan secara ekonomi. Wilayah utara menjadi wilayah industri yang maju, berkembang, dan bahkan membuat peradaban baru yakni renaissance. Sedangkan bagian selatan mengalami perlambatan untuk mengalami kemajuan dengan banyaknya Mafia dan Camorra. Di mana kriminalitas menjadi bisnis utama, kerugiannya adalah kemajuan daerah selatan jauh lebih lambat dibandingkan bagian utara.

Kondisi ini juga berpengaruh dengan sepakbola. Hampir semua kesebelasan dari bagian selatan Italia apabila bertemu dengan klub dari bagian Utara selalu menghadirkan intensitas tinggi. Bahkan AS Roma sempat melarang suporter Napoli untuk hadir ke stadion karena adanya kekhawatiran terjadi kerusuhan di era 1970-an hingga 1980-an.

Sedangkan rivalitas antara Juventus dan Napoli sudah dimulai setelah PD II. Namun Napoli belum bisa menggoyahkan dominasi Juventus di Serie A. Maklum saja Napoli merupakan tim yang lebih sering menempati papan tengah klasemen meskipun sesekali sempat bertengger di papan atas. Napoli bahkan sempat degradasi pada musim 1948/1949 sebelum kembali ke Serie A, 2 musim setelahnya.

Dua Argentina dengan Kesan Berbeda

Rivalitas Napoli dan Juventus memuncak pada 1980-an. Ketika itu Napoli berhasil memboyong Diego Maradona ke San Paolo. Kehadrian Maradona membuat San Paolo penuh sesak dengan 75.000 orang hadir dalam acara penyambutannya. David Goldblatt seorang fotografer dan jurnalis menuliskan dalam mengisahkan kedatangan Maradona menghipnotis warga Naples, seolah mereka sedang kedatangan juru selamat.

Dan memang benar saja, musim 1986/1987, Napoli berhasil menjadi juara Serie A untuk pertama kalinya. Maradona menjadi actor kunci. Sedangkan Juventus menempati peringkat kedua di bawah Napoli.

Naples berpesta, mereka menganggap Maradona sebagai pahlawan bagi Naples yang sering dianggap sebelah mata. Prestasi ini kemudian berulang pada musim 1989/1990 di mana trio Maradona-Bruno Giordano-Careca yang biasa dikenal dengan trio Ma-Gi-Ca. berhasil membawa trofi Serie A.

Di tahun yang sama dengan masa kejayaan Napoli, Umberto Bossi mencangangkan adanya Lega Nord, yang kemudian menjadi partai pada 1991. Tujuan Lega Nord adalah membentuk Italia bagian utara untuk merdeka dengan nama Padania. Alasan utamanya adalah karena Italia bagian selatan dianggap sebagai beban baik secara ekonomi maupun politik.

Tentu saja ini membuat warga Naples berang. Napoli di era ini diharamkan kalah dari klub-klub Italia bagian utara seperti AC Milan, Inter Milan, AS Roma, dan tidak terkecuali Juventus. Di mana Milan dan Turin adalah 2 kota tempat Lega Nord berpusat.

Tidak ketinggalan Diego Maradona juga menyampaikan kekesalannya akan adanya diskriminasi yang dilakukan oleh politikus Italia. “Saya tidak suka fakta bahwa sekarang semua orang meminta orang-orang Neapolit (julukan orang Naples) untuk menjadi orang Italia dan untuk mendukung tim nasional mereka. Napoli selalu dipinggirkan oleh seluruh Italia. Ini adalah kota yang menderita rasisme paling tidak adil,” ujar Maradona sebelum berangkat ke Piala Dunia 1990.

Rivalitas ini kemudian sempat meredup pada akhir 1990-an dimana Napoli kembali menjadi klub papan tengah sebelum benar-benar hilang pada tahun 2004 karena bangkrut. Hanya empat tahun setelahnya, Napoli kembali ke Serie A dengan kekuatan finansial dari Produser film kelahiran Roma, Aurelio De Laurentiis. Dengan finansial yang lebih stabil, Napoli kembali menjadi klub papan atas Serie A.

Kekuatan finansial juga membuat Napoli membeli pemain-pemain berlabel bintang. Edison Cavani, Marek Hamsik, Ezequiel Lavezzi, hingga Raul Albiol. Namun Gonzalo Higuain adalah sosok yang paling mendapatkan sorotan.

Datang dari Real Madrid dengan harga 40 juta Euro, sosoknya pun disambut bak pahlawan oleh warga Naples. Bersama Napoli, Higuain menjadi monster haus gol. Musim pertamanya berseragam Partenopei. Higuain mencetak 24 gol pada musim 2013/2014 dan konsisten mencetak lebih dari 20 gol setelahnya. Puncaknya musim 2015/2016, Higuain mencetak 36 gol di Serie A dan dinobatkan menjadi Capocannoniere.

Sayangnya Higuain mencatatkan noda besar dengan hengkang ke Juventus musim 2016/2017 dengan nilai transfer sebesar 90 Juta Euro. Ini membuat para supporter Napoli geram. Higuain dianggap Judas bagi para supporter Napoli, kepindahan Higuain sendiri ditengarai hubungannya yang kurang baik dengan sang Presiden Klub, Aurelio De Laurentiis.

Dengan segudang faktor tersebut, rivalitas Napoli dan Juventus bisa dianggap sebagai rivalitas yang paling panas di Italia saat ini. Dengan mediokernya AC Milan dan Inter Milan, rivalitas Juventus dan Napoli bisa dianggap setara dengan derby Roma. Bagi Napoli sendiri menang atas Juventus jauh lebih membanggakan dibandingkan lolos dari degradasi. Sedangkan bagi Juventus kemenangan atas Napoli akan mengukuhkan eksistensi mereka sebagai klub penguasa Italia.