Uniknya Derby Hamburg vs St. Pauli: Antara Prestasi dan Pahlawan Kebajikan

Foto: Miniatur Wunderland

Ada hal yang janggal selama 1.Bundesliga 2018/2019. Pemandangan di papan atas mungkin tetap sama. Bayern Munchen dan Borussia Dortmund bersaing untuk menjadi juara. Tapi salah satu kesebelasan favorit Bayern untuk meraih tiga poin, Hamburg SV tak lagi berada di 1.Bundesliga. Hamburg tidak pernah menang lawan Bayern sejak 2010. Poin gratis yang terbukti krusial untuk Bayern menjuarai liga.

Untuk pertama kalinya sepanjang sejarah, HSV tidak ada di 1.Bundesliga dan tiba-tiba Borussia Dortmund menjadi favorit utama untuk menjuarai liga. Kerugian di mata satu orang bisa menjadi keuntungan bagi lainnya. Inilah yang terjadi di 2.Bundesliga, karena untuk pertama kalinya Hamburg Derby terjadi di divisi dua.

Sebelum 2018/2019, Hamburg tidak pernah bertemu dengan rival mereka, St. Pauli selama tujuh tahun. Namun selama keduanya tak disatukan, pamor St. Pauli perlahan naik. Klub yang identik dengan lambang Jolly Roger (sebutan untuk bendera tengkorak dan tulang milik bajak laut) itu menjadi fenomena tersendiri di dunia sepakbola.

Bukan karena prestasi mereka. Melainkan karena kultur sayap kiri yang melapisi klub. Anti-fasisme, rasisme, seksisme, dan homophobia, St. Pauli memperjuangkan nilai-nilai positif di dunia barat, setidaknya. Suporter Hamburg juga tidak mempermasalahkan hal ini. Mereka lahir dari kelas pekerja dan tahu betapa sulitnya kehidupan.

Saat pertama naik ke 1.Bundesliga, suporter Hamburg menyambut kedatangan St. Pauli dengan rasa bahagia. Pasalnya, nilai-nilai yang diperjuangkan St. Pauli sejatinya adalah akar budaya Kota Hamburg. Sejak dulu, Kota Hamburg sudah menjadi pusat dari anti-fasisme di Jerman.

Kental Aroma Politik

Jika ingin bicara soal paham politik, Hansa Rostock adalah musuh abadi St. Pauli. Sejak era perang dunia, paham Nazi hidup di Kota Rostock. Setelah kekuasaan Hilter dijatuhkan, kota tersebut tetap menjadi pusat dari Neo-Nazi.

Masalahnya dengan paham populer di budaya barat dan tengah diperjuangkan dunia, kubu St. Pauli menjadi lebih tenar dibandingkan Hamburg. Buku ‘Ribelli, Sociali e Romantici‘ dari Nicolò Rondinelli memperluas kultur yang diperjuangkan St. Pauli. ‘Pirates, Punks & Politics‘ karya Nick Davidson juga memberikan dampak yang sama.

Bahkan di Indonesia, pernak-pernik St.Pauli bisa ditemukan. Dari stiker hingga bendera, St.Pauli mendapat pengakuan jauh dari Jerman sekalipun nilai-nilai mereka bukanlah hal populer di Indonesia. Mungkin disebut ‘The Ultimate Hipster Club‘ bagi penikmat sepakbola Indonesia. Suporter Hamburg sendiri di Indonesia hanyalah hitungan jari.

Popularitas ini membuat St. Pauli merasa lebih besar dibandingkan Hamburg. “Kami adalah nomor satu di Kota ini,” teriak 5.500 pendukung St.Pauli ketika partai Hamburg Derby pada 30 September 2018. “Mereka memenangkan derby tujuh tahun lalu, kita semua tahu siapa yang nomor satu,” balas suporter Hamburg.

Gerah Melihat St. Pauli Jadi Sailor Moon

Pertemuan itu berakhir tanpa gol. Namun, beberapa bulan kemudian Hamburg menang 4-0 di Kandang St.Pauli, Millerntor-Stadion, menegaskan siapa yang nomor satu. Sialnya, skor besar itu tidak dipedulikan oleh suporter St.Pauli. Bagi mereka menang, kalah seri, tidaklah penting. Hal paling penting adalah membela yang benar, jadi pahlawan kebajikan layaknya Sailor Moon!

“Kami tidak memiliki gelar. Dibandingkan piala kami memiliki sesuatu yang lebih berharga. Kami memiliki cerita bagaimana sebuah klub bisa besar dengan bermodalkan komunitas. Tanpa piala. Tanpa uang,” tulis sebuah poster St.Pauli.

Hal ini tidak begitu diterima oleh suporter Hamburg. Sebagai kesebelasan yang hanya satu kali turun ke 2.Bundesliga, prestasi adalah segalanya untuk Der Dino. Lahir dari kalangan pekerja, politik di sepakbola membuat mereka gerah. “Kami bukan kanan. Bukan kiri. Kami ada di tengah, sementara mereka terlalu ke kiri,” jelas salah satu suporter Hamburg pada Copa 90.

Hamburg memang pernah memiliki koneksi dengan salah satu partai dengan fasis di tahun 80-an. Namun bukan berarti mereka kelompok fasis. “Anda dapat memperjuangkan nilai-nilai anti-fasis tanpa harus melibatkan klub. Itu hal yang benar, tidak harus jadi suporter St.Pauli. Bagi saya sepakbola adalah tentang memenangkan piala dan pertandingan,” kata suporter Hamburg lainnya.

Hamburg Akan Selalu Jadi Nomor Satu

Paham politik ini jadi daya tarik St.Pauli. “Saya tidak memilih St.Pauli. Tak ada kesempatan untuk memilih. Tapi jika saya bisa memilih, tetap St.Pauli. Sangatlah penting untuk punya sudut pandang seperti St.Pauli,” kata suporter muda St.Pauli.

Kultur yang dibangun suporter St.Pauli boleh saja mendunia. Popularitas mereka bisa sampai ke Indonesia. Itu bukan sesuatu yang salah dan patut diacungi jempol. Namun ketika bicara soal prestasi, Hamburg jauh di atas mereka.

Memiliki enam gelar 1.Bundesliga, tiga piala DFB-Pokal, dan sekali menjadi juara Eropa pada 1982/1983, jauh lebih prestisius ketimbang lima kali menjuarai divisi dua.

Hingga 2019, Hamburg Derby juga masih dikuasai oleh Der Dino dengan kemenangan terakhir St.Pauli tercatatat pada 2011. 14 kemenangan dan tujuh imbang membuat Hamburg lebih layak menyebut diri mereka sebagai kesebelasan utama di kota tersebut.

Dengan paham St. Pauli yang tidak memedulikan prestasi, dominasi Hamburg tidak akan tergoyahkan. Sekalipun saat paham-paham yang diperjuangkan St. Pauli berhasil diterima oleh seluruh dunia. Perjuangan mereka selesai, apa lagi yang harus mereka kejar? Piala, dan saat itu tiba, Hamburg sudah jauh di atas St. Pauli.