Didier Drogba: Sosok Pemutus Peperangan di Pantai Gading (2)

Ada sebuah kabar mengejutkan di waktu yang sama, di mana warga Pantai Gading menunjukkan kesenangan mereka saat melihat Kamerun ditahan imbang. Bahkan ibukota negeri tempat pemberontak Bouake, bangkit dengan hentakan euforia di malam itu. Semua orang berpesta pora. Sampai-sampai sebuah botol bir diganti namanya untuk menghormati Didier Drogba –si pereda kondisi perang saudara.

Walaupun di satu sisi, Pantai Gading masih terbangun keesokan paginya dalam situasi yang sama, yaitu sebagai negara yang sangat terpecah belah. Namun, ada sesuatu yang menggugah jiwa selama berminggu-minggu dan berbulan-bulan berikutnya. Sesuatu yang terlihat seperti membawa perubahan dramatis.

Klip video perayaan dan ungkapan perasaan dari Drogba diputar tanpa henti di televisi dengan harapan bahwa paparan media mungkin cukup untuk melakukan perubahan. Dan perubahan memang mengikuti secara perlahan setelah itu. Kedua belah pihak (yang berperang) bergerak lebih dekat ke meja perundingan dan gencatan senjata akhirnya ditandatangani.

Penulis naskah Hollywood mana pun akan bangga dengan akhir cerita ini. Ya, karena ceritanya belum selesai sampai di situ. Pada Piala Dunia 2006, Pantai Gading tersingkir di babak penyisihan grup, kalah dari Argentina dan Belanda sebelum akhirnya mereka mengalahkan Serbia & Montenegro. Itu adalah penampilan pertama mereka (di Piala Dunia) yang berkesan.

Tahun berikutnya, sebuah pengumuman luar biasa dibuat oleh Didier Drogba. Ia membuat sesuatu pergerakan yang sangat luar biasa. Itu dilakukannya saat ia berkeliling di wilayah yang dikuasai pemberontak di tanah airnya setelah ia berhasil menyabet penghargaan African Player of The Year.

Uniknya, yang ia lakukan kemudian diikuti dengan perubahan tempat untuk pertandingan kandang Pantai Gading melawan Madagaskar. Pertandingan ini sengaja tidak dimainkan di Abidjan seperti yang dijadwalkan, namun justru dimainkan di Bouake, kota yang notabene menjadi pusat simbol pemberontakan. Tak ada yang membayangkan jika hanya dua tahun saja sebuah perubahan bisa terlihat sangat dekat di pelupuk mata para warga Pantai Gading.

“Mengingat Drogba berasal dari selatan –dari daerah Gbagbo– dia seperti dewa pada waktu itu. Suasana hari itu di kota utara bergemuruh dengan antisipasi yang tinggi. Itu benar-benar gila. Ada yang melaju di belakang bus tim dalam perjalanan ke stadion, dan juga kehadiran militer yang siaga,” tutur Austin Merril, seorang reporter Vanity Fair yang berada di Pantai Gading saat itu.

“Orang-orang naik di atas mobil, senjata terlepas dari genggaman tentara yang bersemangat. Di dalam stadion itu sendiri, pasukan pemerintah dan pemberontak melemparkan atribut sepakbola bolak-balik. Itu adalah perubahan yang nyata dari kekerasan di masa lalu.“

Di lapangan, Salomon Kalou mengawali keajaiban dongeng di hari itu dengan golnya ke gawang Madagaskar di 18 menit awal pertandingan. Dan kemudian gol-gol lain terus mengikuti. Dengan hanya lima menit tersisa, dan waktu itu Pantai Gading memimpin 4-0 atas Madagaskar, euforia di stadion sudah tidak terbendung lagi.

Melihat kondisi ini, para pemain Pantai Gading semakin bersemangat. Sebuah bola lambung dari lini tengah membuat Drogba bergerak cepat. Kontrol yang halus dan sentuhan kedua yang fantastis membawanya ke depan penjaga gawang, dan ia akhirnya memasukkan bola ke gawang Madagaskar. Skor 5-0 pun menjadi penutup spesial di pertandingan itu.

Ledakan kebisingan kemudian menantang kapasitas stadion yang sederhana. Drogba, sang mesias negara itu, langsung berputar di sepanjang lintasan lari dan larut dalam perayaan. Para pemain dan warga Pantai Gading yang menonton pertandingan itu mengalir mengikuti jejaknya.

Di atas tribun, suporter tim musuh pun turut merayakan bersama. Peluit akhir membawa para suporter itu ikut bergegas ke lapangan, dengan personel keamanan membentuk layar pelindung di sekitar para pemain, terutama Drogba. Gerakan simbolis dari pertandingan yang berlangsung di Bouake itu tampaknya telah menyatukan negara yang terpecah itu sekali lagi.

“Itu adalah euforia menakjubkan yang belum pernah ada di seluruh penjuru negeri. Semua orang berkumpul. Kami memiliki begitu banyak harapan pada Drogba dan timnya. Tur dari utara, Drogba dari selatan. Itu adalah mosaik Pantai Gading yang sebenarnya. Persatuan telah kembali,” pungkas Sebastien Gnahore dikutip dari BBC Sports.

Namun, apa yang terjadi selanjutnya sangatlah berbeda. Dengan perpecahan yang mendalam dan ingatan yang pendek, euforia yang terjadi di seputar kedua pertandingan itu (melawan Sudan dan Madagaskar) mulai memudar. Hanya lima tahun kemudian, kekerasan kembali mencengkeram Pantai Gading setelah pemilihan presiden yang disengketakan.

Kejadian ini mengakibatkan kematian 3.000 orang, dan semakin memuncak ketika terjadi penangkapan Presiden Gbagbo. Pada Januari 2019, ia kemudian dibebaskan dari semua tuduhan. Satu tahun kemudian, ia tetap ditahan di Belgia, sambil menunggu hasil banding dengan Pantai Gading yang masih dalam kondisi politik yang sulit.

Sementara itu, “generasi emas” Pantai Gading tidak pernah benar-benar memenuhi potensi mereka dalam hal prestasi. Mereka sering mengalami keterpurukan, dan bahkan kalah dalam dua adu penalti di final Piala Afrika pada 2006 dan 2012. Kekuatan pemain bintang mereka dinilai menyusut ketika mengikuti serangkaian kompetisi internasional. Namun kendati begitu, tetap saja tidak ada yang bisa dan mustahil rasanya menciptakan sebuah peristiwa yang sama seperti yang mereka buat pada 2005 dan 2007.

Didier Drogba sendiri pensiun dari sepakbola pada 2018 setelah melewati perjalanan karier yang gemerlap dengan kesuksesan di enam negara. Meski bukan yang paling hebat di dunia, namun ia sudah dianggap sebagai yang terhebat di jajaran pemain bintang Afrika. Tidak ada yang meragukan hal itu. Dan ia dan rekan satu timnya bertanggung jawab untuk sesuatu yang jauh lebih besar dari sekedar kemuliaan sepakbola.

Ya, Drogba dan rekan satu timnya sudah menjadi penyelamat. Mereka sudah bersama-sama berusaha maksimal menghentikan perang saudara yang terjadi di Pantai Gading. Selama dua pertandingan sepakbola (melawan Sudan dan Madagaskar), yang tentunya sangat bersejarah itu, mereka juga setidaknya sudah memberi alasan kepada negara mereka untuk berharap bahwa “persatuan itu akan hadir”.