Drama di Balik Kejatuhan Raja Sepakbola Swiss

Foto: tz.de

Terlepas dari opini populer yang mengatakan bahwa FC Basel adalah Raja Sepakbola Swiss, RotBlau –julukan Basel- bukan pemilik gelar terbanyak di Negeri Susu dan Madu tersebut. Jangan salah, Basel memang salah satu raksasa di Swiss. Tapi mereka bukanlah raja.

Pemilik 20 gelar Swiss Super League itu masih kalah dari raihan Grasshopper Club Zurich (GCZ). Mendominasi liga sejak awal abad ke-18 hingga pertengahan 1950-an, GCZ sudah 27 kali menjadi juara divisi tertinggi Swiss. Mereka mungkin mirip dengan Liverpool pre-2010. Dalam artian selalu dianggap sebagai raja sepakbola negaranya meski sudah lama tidak menjuarai liga.

Kemiripan GCZ dengan the Reds semakin menjadi apabila melihat perolehan gelar mereka. Terakhir kali mereka menjuarai liga, divisi tertinggi Swiss belum menggunakan nama Super League. Masih National League, nama yang digunakan sejak 1944/1945.

Wajar jika akhirnya FC Basel yang tujuh kali menjadi juara liga sejak 2010 menutupi prestasi GCZ.

Keterpurukan GCZ justru semakin lengkap setelah mereka mengakhiri musim 2018/2019 sebagai juru kunci liga. Untuk pertama kalinya dalam 68 tahun terakhir, Grasshopper turun dari divisi utama sepakbola Swiss. Tapi tanda-tanda penurunan ini seharusnya sudah mulai tercium sejak 2009.

Menghabiskan 100 Juta Dalam 4 Tahun

Foto: Scoopnest

Saat itu, kondisi finansial Grasshopper tidak stabil. Disebut memiliki utang sekitar 10-20 juta franc, atau sekitar 144 hingga 288 miliar Rupiah saat ini. Akan tetapi, pihak klub membantah. “Kami tidak memilih masalah ekonomi. Namun kami selalu memantau kondisi tersebut. Pasalnya, jika laporan itu benar terjadi, kami bisa kehilangan investor,” kata juru bicara GCZ.

Masalah ini datang setelah pemilik klub, Rainer E. Gut dan Fritz Gerber menghambur-hamburkan uang demi mempertahankan status mereka sebagai Raja Sepakbola Swiss. “Tentu saja kami ingin mempertahankan gelar juara yang diraih di musim sebelumnya [2003],” kata Thomas Gurlich, presiden GCZ saat itu.

Menurut laporan Neue Zurcher Zeitung, dalam empat tahun Gurlich mengeluarkan 80-100 juta franc. Sejak saat itu mereka mulai berani melakukan negosiasi dengan kesebelasan-kesebelasan tenar Eropa. Pemain-pemain dari Juventus, Olympique Lyon, dan Real Madrid mulai didatangkan.

Padahal sebelumnya, GCZ lebih fokus membeli pemain dari liga domestik. Stephane Chapuisat yang menjuarai Liga Champions 1996/1997 dan mengangkat dua piala 1.Bundesliga bersama Dortmund mungkin pembelian paling populer mereka. Tapi kesuksesan terjamin. Saat ratusan juta dikeluarkan, prestasi klub justru menurun. Akhirnya kondisi ekonomi klub jadi tidak stabil.

Mulai dari status juara bertahan, hingga akhirnya kesulitan menembus lima besar di kompetisi yang hanya diikuti 10 kesebelasan. Pada 27 Maret 2019, Stephan Rieteker ditunjuk sebagai presiden baru GCZ. Setelah satu dekade, Ia pun mengakui bahwa klub tersebut sedang dalam masa kritis.

Perebutan Kekuasaan

“Dalam masa-masa sulit seperti ini kita harus fokus. Bersatu melewati segala rintangan yang ada. Saya akan bertemu dengan para pemain, tim pelatih, hingga pihak manajemen untuk membahas masa depan klub. Fokus utamanya adalah di bidang olahraga, kami harus bisa bertahan di liga ini,” kata Rieteker.

Sialnya semua sudah terlambat. Rieteker dan semua pihak yang terlibat dalam internal GCZ saat ini hanya jadi korban dari kesalahan satu dekade lalu. GCZ bergerak layaknya FC Barcelona di Spanyol. Sejak didirikan oleh seorang siswa asal Inggris, Tom E. Griffith, GCZ adalah kesebelasan dari kaum elit dari Kota Zurich. Mereka yang terpandang secara sosial maupun ekonomi.

Rumornya saat masih dikuasai Gut dan Gerber, dua pengusaha ternama di sana, terjadi perebutan kekuasaan. Perebutan kekuasaan menghasilkan krisis finansial dan penurunan prestasi bagi GCZ. Beruntung klub pertama Kota Zurich itu tak terdegradasi saat keduanya jadi penguasa.

Tidak Diakui Suporter

Foto: Berner Zeitung

Rieteker tidak mendapat keberuntungan yang sama. Apalagi gerakan hooligan semakin ramai dalam beberapa tahun terakhir di Swiss. “Saya akan mengadukan tindakan ini ke para politisi dan pihak-pihak pemerintahan. Kita butuh lebih keras lagi kepada hooligan,” kata Rieteker setelah mendapat ancaman dari suporter GCZ.

Bukan hanya Rieteker, hampir semua pemain GCZ diminta untuk menanggalkan kostum mereka di tengah pertandingan. Para suporter bertindak anarkis setelah merasa pemain-pemain yang menjadi wakil mereka di atas lapangan tidak layak membela tim kesayangan. Hanya lima kali menang dalam satu musim. Tidak pernah sekalipun meraih tiga poin sejak 2 Desember 2018.

Hampir semua pemain diprotes para suporter. Hampir. Hanya penjaga gawang sekaligus kapten GCZ, Heinz Lindner yang diizinkan untuk tetap menggunakan seragamnya. “Saya tidak melepas seragam karena permintaan suporter. Mereka merasa saya masih layak di sini. Itu adalah hal yang positif jika dilihat secara pribadi. Tapi tentu mengecewakan secara tim,” kata Lindner.

“Saya mendatangani para suporter setelah pertandingan dihentikan. Mereka sudah siap membuat kerusuhan. Saat saya tanya, mereka meminta para pemain untuk menanggalkan kostum tim. Pada akhirnya mereka ikut datang ke pinggir tribun dan menuruti permintaan tersebut. Itu satu-satunya yang bisa kami lakukan untuk menghindari kericuhan yang lebih parah,” jelasnya.

Grasshopper Club Zurich tentu bukan satu-satunya raja sepakbola yang pernah terdegradasi di negara sendiri. Ada beberapa kesebelasan lain seperti Saint-Etienne dan Juventus yang pernah merasakan nasib serupa.

Tapi melihat kondisi mereka saat ini, entah kapan kesebelasan yang bertanggungjawab atas lahirnya pemain-pemain berkelas seperti Johan Vogel, Hakan dan Murat Yakin itu bisa kembali seperti dulu.