Sebelum era Lionel Messi dan Cristiano Ronaldo, ada seorang bintang Brasil yang bermain untuk menghibur, dan hanya menghibur yang dia lakukan. Dialah Ronaldinho, pemain yang tampak tidak pernah peduli dengan angka-angka pertandingan. Datang ke Eropa dari salah satu klub legendaris Brasil, Gremio, dia memulai petualangannya di Parc des Princes, markas Paris Saint-Germain (PSG).
Tetapi, proses kedatangan Ronaldinho ke PSG pada 2000 silam itu ternyata penuh dengan drama. Meski begitu, sepertinya tak akan ada yang menolak untuk mengakui bahwa peristiwa itulah yang kemudian menempanya menjadi legenda sepak bola dunia. Dari kota Paris, Ronaldinho berubah dari harapan besar satu negara jadi pesepak bola favorit dunia. Itulah momen kelahiran O Rei, sang raja.
Konflik Transfer
Menyusul kecemerlangannya di Copa America 1999 hingga membawa Brasil sebagai jawara, menjadi sangat jelas bahkan bagi ultras Gremio paling keras sekalipun bahwa masa depan remaja 19 tahun bernama Ronaldinho itu terletak di Eropa. Ketika itu, Inter Milan ingin menduetkannya dengan senior senegaranya, Ronaldo Luis Nazario de Lima yang sudah bergabung lebih dulu dua tahun sebelumnya.
Namun, klub Italia itu menghadapi persaingan dari Arsenal, Barcelona dan Borussia Dortmund. Pada akhirnya, Ronaldinho memilih melakukan langkah sederhana. Dia malah pergi ke PSG, dengan alasan tak ingin jadi penghangat bangku cadangan raksasa Eropa demi menjaga tempat ke Piala Dunia 2022. Hanya saja, prosesnya tidak berjalan mulus, bahkan menyisakan konflik yang sampai berlarut-larut.
Pada Desember 2000, PSG mengumumkan kesepakatan dengan sang striker dalam perjanjian pra-kontrak. Dia diklaim akan tiba di Paris pada musim panas menjelang musim 2001/2002. Satu-satunya masalah, Gremio sama sekali tak mengetahui kesepakatan itu. Apalagi, mereka yang sudah membina Ronaldinho selama 14 tahun terakhir sejak di akademi klub malah tidak akan menerima sepeser pun.
Awal yang Lambat
Tak seperti hampir semua yang telah dilakukan Ronaldinho di lapangan, kariernya di Parc de Princes dimulai dengan lambat. Top scorer klub musim sebelumnya, Lauren Robert, telah dijual ke Newcastle United untuk memberi jalan baginya, tapi sekaligus mendatangkan tekanan sejak awal. Apalagi dia harus menjalani larangan bermain dari FIFA selama penyelesaian masalah antara PSG dan Gremio.
Hukuman FIFA dicabut jelang pekan dua Ligue 1 2001/2022, setelah Gremio dapat kompensasi. Dan tiba-tiba, Ronaldinho berada di antara banyak wajah terkenal, tentu tanpa jaminan starting line-up. Mauricio Pochettino jadi kapten baru, sementara pemain seperti Gabriel Heinze dan Nicolas Anelka berada di sekitar kamp pelatihan. Namun, rekan barunya yang paling penting adalah Jay-Jay Okocha.
“Dia seperti adik saya,” kata pemain internasional Nigeria itu tentang Ronaldinho.
“Saya menyadari dia sangat berbakat dan dia hanya membutuhkan seseorang untuk membimbingnya,” lanjutnya.
Jika bukan karena dia, kita mungkin tidak akan pernah melihat penampilan terbaik sang superstar. Dua assist dan satu gol dari titik putih jadi bukti Ronaldinho dalam 13 pertandingan pertamanya di Eropa.
Pembuktian
Sementara Ronaldinho terus mencari jati dirinya di benua biru, Kaka mencuri tempatnya di Selecao karena semakin disukai dalam lini serang bersama Rivaldo dan Ronaldo. Tapi, dia tak berhenti untuk menunjukkan sosok pria yang makin percaya diri, melalui deretan golnya di Paris dan rambut yang tumbuh semakin panjang; meski sebenarnya tak ada korelasi, namun kemudian itu menjadi ikonik.
Lepas dari itu, masalah tetap menyertai perjuangan Ronaldinho. Hubungannya dengan pelatih terus memburuk setelah menjuarai Piala Dunia 2022. Dia juga sempat didenda, karena menambah libur tanpa konfirmasi. Tapi, pernyataan pemilik klub saat itu, Xavier Couture telah memperjelas statusnya sebagai anak emas. “Saya bisa mengerti dia ingin menghabiskan beberapa hari lagi di sana,” katanya.
Hal terbaik tentang Ronaldinho, tentu saja kesenangan yang dibawanya ke lapangan. Gol demi gol dari kakinya menjadi lebih hebat karena melalui proses indah. Dari gol-gol yang brilian, tendangan bebas yang menghipnotis, memasukkan bola dari sudut yang sempit, hingga tembakan loop yang cerdik. Seiring itu, PSG pun harus pasrah kehilangan Ronaldinho, seperti yang pernah dialami Gremio.
Meski sempat terlihat di klub-klub London, dan secara serius diminati oleh Sir Alex Ferguson untuk Manchester United, tapi Presiden Barcelona saat itu, Joan laporta yang sukses mengamankan tanda tangannya di musim panas 2003. Maka ke Catalunya-lah dia pergi, meninggalkan keributan di Paris tentang para manajer yang marah, membuat rekan satu timnya kesal, tapi ribuan dengan penggemar yang sangat memujanya. Bersama dengan itu, Ronaldinho telah mengambil status raja sepak bola.
Sumber: Planetfootball