Dua Sisi Oliver Kahn

Oliver Kahn punya julukan “Der Titan” alias “Si Raksasa”. Julukan ini bukannya tanpa alasan. Selain punya tinggi 188 sentimeter, tubuhnya juga besar dan berisi. Perangainya yang tak ramah membikin ciut nyali lawan-lawannya.

Meski berposisi sebagai penjaga gawang, tapi Kahn bermain begitu agresif, utamanya ketika ia berusaha menguasai bola. Kakinya kerap membuat “gerakan tambahan” ketika duel udara dengan lawannya. Saat sang lawan protes, Kahn sudah membuat gestur mengerikan.

Ada begitu banyak prestasi yang diraih Kahn utamanya ketika membela Bayern Munchen: Delapan gelar Bundesliga, enam gelar DFB Pokal, satu gelar Liga Champions, dan satu gelar Piala Intercontinental. Bersama timnas Jerman, ia menjuarai Piala Eropa 1996 dan menjadi runner-up Piala Dunia 2002.

Salah satu momen penting dalam hidupnya adalah final Liga Champions 2000/2001. Bayern Munchen ketika itu, lolos ke final usai mengalahkan Manchester United 3-1 di perempatfinal dan Real Madrid 3-1 di semifinal.

Lawan mereka malam itu adalah Valencia, kesebelasan peringkat ketiga di La Liga musim sebelumnya. Valencia melaju dengan mulus hingga final: menjadi juara grup di fase pertama dan kedua, mengalahkan Arsenal di perempatfinal, sampai akhirnya mengandaskan Leeds United 3-0 di semifinal.

Final yang digelar di San Siro, Milan, tersebut ada sejumlah fakta menarik. Bayern kalah di final 1999 sementara Valencia kalah di final 2000. Artinya, final yang dipadati 79 ribu penonton tersebut mempertemukan dua tim patah hati.

Pertandingan benar-benar berjalan dengan ketat. Valencia dihadiahi tendangan penalti oleh wasit asal Belanda, Dick Jol, ketika pertandingan baru berjalan tiga menit. Gaizka Mendieta berhasil menuntaskan tugasnya, membuat Valencia unggul 1-0 dan bertahan hingga babak pertama berakhir.

Beberapa menit kemudian, Stefan Effenberg dilanggar di dalam kotak penalti. Jol pun menghadiahkan pelanggaran tersebut menjadi penalti yang dieksekusi oleh Effenberg sendiri. Namun, eksekusi Mehmet Scholl berhasil diselamatkan Santiago Canizares.

Di babak kedua, bola umpan silang Bayern mengenai tangan Amedeo Carboni. Bayern pun kembali mendapatkan penalti. Kali ini, Effenberg berhasil menuntaskan tugasnya sebagai eksekutor.

Pertandingan berjalan imbang hingga waktu normal berakhir, pun di perpanjangan waktu, sehingga harus dilanjutkan di babak adu penalti. Canizares berhasil menahan tendangan Paulo Sergio dan Andersson. Sementara Kahn, sukses menahan tendangan Zlatko Zahovic, Amedeo Carboni, dan Mauricio Pellegrino.

Keberhasilan menahan tendangan Pellegrino memastikan gelar juara buat Munchen. Setelah menepis tendangan Pellegrino, Kahn langsung berlari ke arah rekan-rekannya yang lain, lalu memeluk Carsten Jancker. Para pemain Bayern bergembira, melompat-lompat kegirangan, pun dengan para pendukungnya.

Nasib berbeda dialami pemain dan fans Valencia. Mereka tertunduk lesu, malah ada yang menangis. Di atas lapangan, di tempat Kahn sebelumnya berada, Canizares tengah bersujud meratapi nasibnya. Tak ada seorang pun di sana.

Kahn berjalan mendekati Canizares. Ia sempat menolak ajakan rekan setimnya untuk melakukan perayaan. Kahn lalu berlutut, kemudian menghibur Canizares yang tak sanggup lagi mengangkat kepalanya. Tak berselang lama, Canizares mampu bangkit dibantu dengan dukungan Kahn.

Fragmen ini menjadi sangat ikonik karena sejatinya bertentangan dengan kepribadian yang ditunjukkan Kahn kepada lawan-lawannya saat pertandingan berlangsung. Si Raksasa yang agresif dan gemar marah-marah ini justru menunjukkan sisi lembutnya yang bikin banyak orang terkejut dan simpati. Aksi ini pula yang membuat Kahn diganjar penghargaan UEFA Fair Play Award atas aksi sportivitasnya ini.

Kahn agaknya merasakan bagaimana pahitnya kalah di final. Dua tahun sebelumya, dua gol di waktu tambahan membuat Bayern gagal juara Liga Champions. Setelah gol Ole Gunnar Solskjaer, tidak ada yang bisa dilakukan para pemain Bayern, selain hanya duduk termenung meratapi nasib di bawah mistar gawang. Pun dengan Kahn.

Yang dirasakan Canizares mungkin lebih berat. Di atas kertas, Valencia tidak punya cukup kualitas untuk bisa bersaing hingga final Liga Champions. Namun, Valencia di dua musim itu membalikkan semua prediksi. Sialnya, dua kesempatan secara beruntun justru mereka sia-siakan.

Salah satu kunci kesuksesan Kahn adalah ia selalu menatap ke depan. Usai kalah dari United pada 1999, Kahn bilang kalau dirinya tak akan mengingat momen itu sebagai kekalahan. Soalnya dalam ingatannya, ia akan menghapus dua gol United itu.

Kahn tak selalu sukses. Ia gagal membawa Jerman juara Piala Dunia 2002. Salah satu yang mendasarinya adalah blunder yang ia lakukan di menit ke-67. Beberapa saat kemudian, gawangnya kembali kebobolan yang bikin Jerman kalah 0-2.

Momen itu tidak langsung membuatnya frustrasi dan menyerah, karena gelar bersama klub tetap ia raih.

Kahn pensiun pada 2008 dengan predikat sebagai salah satu pemain Jerman tersukses juga salah sat kiper terhebat di dunia. Sosoknya begitu sulit dilupakan, yang membuatnya mendapatkan pekerjaan di Bayern Munchen. 1 Juli 2021 ia resmi menjabat sebagai CEO Bayern.

Begitulah perjalanan Si Raksasa yang sama seperti kita semua, punya sisi lembut yang mungkin jarang terlihat. Solidaritasnya kepada Canizares akan dikenang sebagai salah satu momen paling manis di sepakbola.