Dualisme Liga India yang Membuat Sepakbola India Terancam

Foto: The Bridge

Piala Dunia U17 2017 menjadi turnamen bersejarah bagi India. Meski pada akhirnya hanya menjadi juru kunci grup, turnamen itu adalah kesempatan pertama India memperlihatkan atmosfer sepakbola negara mereka pada dunia. Dianggap sukses sebagai penyelenggara, India kembali ditunjuk menjadi tuan rumah Piala Dunia U17 pada 2020. Kali ini sepakbola perempuan.

“Dengan bangga kami menunjuk India sebagai tuan rumah Piala Dunia Perempuan pada 2020,” kata Presiden FIFA Gianni Infantino. “Saya terkejut dengan penunjukkan ini. Tapi Piala Dunia U17 2017 adalah sebuah keberhasilan. Kali ini giliran sepakbola perempuan dapat perhatian,” kata Pelatih India U17 Maymol Rocky.

Keberhasilan India sebagai tuan rumah pada 2017 itu juga sempat membuat tim senior mereka digadang menjadi kuda hitam di Piala Asia 2019. Menang 4-1 dari Thailand, the Blue Tigers meraih tiga poin pertama mereka dalam kompetisi tersebut sejak 1964. Hasil yang diraih di pertandingan pertama melawan Thailand membuat Thailand diperhitungkan. Meski pada akhirnya mereka tetap berakhir sebagai juru kunci grup.

Salah satu faktor kebangkitan sepakbola di Negeri Anak Benua itu adalah keberadaan India Super League (ISL) yang baru dibentuk pada 2013. Menggunakan sistem franchise seperti Major League Soccer (MLS) di Amerika Serikat, ISL memiliki peraturan ketat soal finansial klub. Melindungi semua pihak yang terlibat dari masalah ekonomi.

ISL juga mendatangkan pemain-pemain ternama seperti David Trezeguet, Alessandro Del Piero, dan Robert Pires pada musim perdana mereka. Sejak saat itu, beberapa nama tenar lainnya mengikuti jejak mereka ke India. Nicolas Anelka, Eidur Gudjohnsen, Adrian Mutu, Diego Forlan, Simao Sabrosa, hingga Florent Malouda pernah merasakan atmosfer ISL.

Bahkan setelah peraturan pemain marquee dihapus oleh ISL, nama-nama besar masih mau mendarat. Robbie Keane, Jamie Galivan, Kalu Uche, Wes Brown, semua main di India pasca peraturan marquee dihapus. Hingga musim 2018/2019, ISL masih diwarnai mantan pemain kesebelasan Eropa seperti Miku (eks-Rayo Vallecano), Tim Cahill, dan Paulo Mechado (eks-Olympiacos).

Layaknya MLS, ISL mungkin mendapat kritik karena tidak menggunakan sistem promosi-degradasi. Akan tetapi dengan sistem franchise mereka terbukti sukses membangkitkan gairah sepakbola di India. Berhasil mendatangkan pemain-pemain ternama, memenuhi stadion, dan mendapatkan hak siar televisi.

Masalahnya, ISL bukan satu-satunya liga sepakbola utama di India. Dualisme seperti saat Indonesia memiliki komite penyelamat sepakbola bertarung dengan PSSI. Bedanya, ISL di India adalah liga yang lebih muda. Tak seperti ISL Indonesia yang lebih tua dibanding Liga Prima. Liga sepakbola yang lebih tua di India bernama I-League.

Berbeda dengan ISL, I-League menggunakan sistem promosi-degradasi. Mohun Bagan, East Bengal, dan Churchill Brothers adalah beberapa kesebelasan ternama dari I-League. Namun I-League tidak memiliki nilai jual seperti ISL. Pemain paling terkenal yang bermain di I-League 2018/2019 adalah bek Tim Nasional Kosta Rika Johnny Acosta.

Sama seperti Indonesia, FIFA meminta Federasi Sepakbola India (AIFF) untuk menyatukan kedua liga tersebut. Hanya satu yang boleh menyatakan diri mereka sebagai liga utama di India. Musim 2019/2020 menjadi tenggat waktu yang diberikan FIFA untuk menyatukan I-League dan ISL.

I-League Merasakan Diskriminasi

Foto: Hindustan Times

Musim 2018/2019 di India sudah berakhir sejak Maret. Chennai City juara I-League dan Bengaluru menjuarai ISL. Kini mereka hanya memiliki waktu sekitar lima sampai enam bulan untuk mencari solusi. Sialnya, hingga 26 April 2019, solusi itu tak terlihat. Kondisi sepakbola India justru semakin keruh.

“Tujuan utamanya adalah membuat tiga divisi. AIFF punya ide, namun kami masih belum bisa mencari solusi terkait sistem promosi-degradasi. Kami tak ingin membicarakan masa depan I-League. Nama divisi utama sepakbola India tidaklah penting,” kata CEO I-League Sunando Dhar.

“Namun kami percaya semua kesebelasan di sini layak untuk divisi utama. Real Kashmir contohnya. Mereka baru lahir pada 2016, menjuarai divisi dua di 2017/2018, dan terlihat sebagai kota yang peduli pada sepakbola. Pendukungnya juga banyak,” lanjut Dhar.

Dhar melihat ada sebuah diskriminasi dari AIFF terkait perlakuan mereka pada ISL dan I-League. Beberapa kesebelasan I-League gagal mendapatkan lisensi untuk tampil di AFC Cup. Peta rancangan sepakbola AIFF juga menunjukkan bahwa mereka lebih tertarik pada sistem franchise dengan menghapus promosi-degradasi pada 2020.

AIFF terlihat akan mementingkan kesebelasan ISL untuk mengisi divisi tertinggi sepakbola India. Hal inilah yang membuat beberapa kesebelasan I-League naik darah. “Semua kerja keras dan investasi kami selama ini membuat Neroca FC bisa naik ke I-League sejak 2017. Jika kami harus bermain di divisi dua lagi, lebih baik kami mundur dari sepakbola,” ungkap penghuni peringkat enam I-League 2018/2019, Neroca FC.

AIFF juga kabarnya berencana untuk memberikan hukuman vakum satu tahun untuk East Bengal karena menolak bermain di Piala Super. Turnamen yang mempertemukan peserta I-League dengan ISL menjelang awal musim kompetisi baru. Padahal East Bengal salah satu kesebelasan terbaik di India.

ISL mungkin berhasil membangkitkan gairah sepakbola di India. Sistem franchise mungkin melindungi peserta mereka dari pailit. Namun sebenarnya, secara finansial I-League lebih menguntungkan. ISL hanya mendapat jatah AFC Cup. Sementara I-League juga mendapat tiket ke AFC Champions League.

Pengakuan Belarungu

Foto: First Post

Mohun Bagan dan East Bengal sempat berpikir untuk pindah ke ISL pada 2019/2020. Tapi menurut Belarungu yang sudah meninggalkan I-League lebih dulu, kepindahan tersebut jadi malapetaka bagi klub. “Kami masih bermain I-League dua tahun lalu. Jadi kami tahu laporan keuangan I-League ataupun ISL. Sejauh ini, peserta ISL masih merugi,” ungkap CEO Belarungu Parth Jindal.

Beberapa kesebelasan ISL juga sebenarnya tidak mempermasalahkan sistem promosi-degradasi. Delhi Dynamos yang pernah dibela Roberto Carlos, John Arne Riise, Del Piero, dan Florent Malouda, adalah salah satu kesebelasan yang secara terbuka mengungkapkan opini terkait sistem tersebut.

“Saya sudah berkali-kali mengatakan ini. Dynamos tidak menolak promosi-degradasi. Kami hanya ingin liga yang benar. Apakah saya senang membayar dana franchise? Tidak! Tapi itu membuat semua kesebelasan di ISL punya kesempatan yang sama,” kata pemilik Dynamos Rohan Sharma.

Sharma juga tetap mempertahankan kepercayaannya pada sistem franchise. Lewat sosial media miliknya, ia juga membalas komentar Jindal yang menyebut keuangan Belarungu memburuk.

“Silahkan saja Belarungu menjilat. Tapi lihat bagaimana peserta ISL memiliki fasitas yang lebih baik dan bisa memaksimalkan pemain-pemain muda. Mereka juga merasakan hal itu. Sekarang mereka memiliki sponsor dengan nilai kontrak yang besar. Peserta I-League yang lain juga bisa merasakan hal yang sama,” tulis Sharma.

Jika kondisi sepakbola India terus seperti ini, FIFA mungkin akan memberikan hukuman kepada federasi mereka. Pembekuan dari kompetisi internasional layaknya Indonesia. Bila hal itu terjadi, momentum yang telah dibangun India akan hilang.

Dalam periode empat tahun (2014-2018) peringkat FIFA the Blue Tigers selalu menanjak. Mereka juga mulai mendapatkan kepercayaan dari FIFA untuk menggelar turnamen. Tapi jika dibekukan, semuanya sirnah.